PEKANBARU - Akivis melaporkan para pejabat di Riau menerima dana insentif pungutan pajak ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
"Pemberian dana insentif pungutan pajak daerah di Riau nilainya fantastis mencapai ratusan miliar".
"Kami laporkan 2 (dua) dugaan Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian dana insentif pungutan pajak daerah di Riau ke Jampidsus Kejagung," kata Direktur Eksekutif lembaga swadaya masyarakat (lsm) Benang Merah Keadilan, Idris pada media, Senin (22/9) kemarin.
Tetapi Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana, meluruskan kalau pemberian dana insentif pungutan pajak daerah itu bukan tergolong pelanggaran hukum.
"Di negara mana pun orang bekerja pada jasa finansial tetap diberi jasa lebih."
"Dari awal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) mendorong pemerintah daerah untuk memberikan insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah berbasis kinerja," kata Larshen Yunus menyikapi aduan aktivis itu.
Ia merujuk pada Pasal 146 UU HKPD, daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai daerah di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD paling tinggi 30% dari total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Belanja pegawai daerah dimaksud termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, kepala daerah, dan anggota DPRD. Dalam hal persentase belanja pegawai dimaksud sebesar 30%," ungkap Larshen.
"Jadi daerah harus menyesuaikan porsi belanja pegawai paling lama 5 tahun terhitung sejak tanggal UU HKPD diundangkan," sebutnya.
"Malah jika daerah tidak melaksanakan ketentuan alokasi belanja daerah tersebut, daerah dapat dikenai sanksi penundaan dan/atau pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya".
"Sesuai dengan Pasal 104 UU HKPD, instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu," sebutnya mengulang bunyi pasal itu.
"Pemberian insentif ditetapkan melalui APBD dengan mempedomani ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif,” kata Larshen.
Selain itu, pemerintah daerah dapat memberikan insentif sebagai tambahan penghasilan bagi instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi yang mencapai kinerja tertentu.
"Ini guna menindaklanjuti terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), khususnya dalam menggali dan mengelola seluruh potensi Pajak dan Retribusi," sebutnya.
Kembali seperti disebutkan Benang Merah Keadilan, kalau pihaknya tetap melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di Pemprov Riau terkait pemberian Dana Insentif Pungutan Pajak Daerah yang nilainya fantastis mencapai ratusan miliar itu.
"Kami sudah menyampaikan laporan itu yang diserahkan secara resmi ke kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI. Laporan 2 (dua) dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian dana insentif pungutan pajak daerah di Riau ke Jampidsus Kejagung," ungkap Idris.
Dia menceritakan, tentang laporan korupsi tersebut berawal dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Riau tahun 2024, dimana Pemprov Riau menganggarkan belanja pemberian insentif bagi ASN atas pemungutan pajak daerah sebesar Rp127.281.563.790.
Kemudian, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas LKPD menemukan adanya pemberian insentif kepada Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau sebesar Rp837.810.475 menyalahi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 2010.
Idris menguraikan kronologinya, bahwa insentif pemungutan pajak itu diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 22 tahun 2021 ditandatangani oleh Gubernur Riau Syamsuar dan Pj Sekdaprov Masrul Kasmy, pada 29 Juni 2021.
Pergub itu tetap mengacu kepada PP 69 tahun 2010 dimana dengan jelas menyebutkan bahwa Sekdaprov tidak boleh menerima insentif pungutan pajak jika aturan tentang remunerasi tambahan penghasilan (TPP) sudah berlaku.
Selanjutnya 5 bulan kemudian, tepatnya pada 30 Desember 2021, terbit Pergub Nomor 59 Tahun 2021 tentang Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Pemprov Riau, yang ditandatangani oleh Gubernur Riau Syamsuar dan Sekdaprov (Definitif) SF Haryanto.
"Artinya, sejak awal tahun 2022, Sekdaprov, SF Haryanto saat itu, resmi tidak boleh menerima insentif itu karena dia sendiri sudah menandatangani Pergub TPP pada Desember 2021," terang Idris.
Kemudian, tahun 2025, BPK menemukan, pemberian insentif tahun 2024 itu menyalahi aturan PP Nomor 69 tahun 2010 karena Sekdaprov sudah menerima TPP sebesar Rp90.020.983 per bulan sesuai Pergub Riau.
Ternyata saat jadi temuan BPK, tidak ada pengembalian dalam rekomendasi.
Yang menarik, ada respon aneh dari Bapenda Riau berupa pernyataan resmi disejumlah media yang menyangkal bahwa pemberian insentif terhadap Sekdaprov yang menjadi temuan BPK itu, diklaim tidak menyalahi aturan.
Hal ini menjadi pemantik pihaknya melaporkan agar kasus ini diusut tuntas.
Senada dengan respon rekan-rekan lain seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau juga meminta kasus ini diusut.
"Kami resmi melaporkan karena uang dengan jumlah fantastis dengan sengaja diberikan kepada Sekdaprov dengan cara menyalahi aturan. Dan tidak ada pengembalian," kata Idris.
"Jadi uang itu uang apa? Sedekah? Sumbangan? Masih banyak rakyat Riau yang butuh sedekah atau sumbangan dari Pemprov. Itu sebabnya, kami mengurai kekusutan kasus ini," sambungnya.
Data Benang Merah, ada 3 (tiga) nama yang menerima Insentif atas jabatan Sekdaprov pada tahun 2024 dalam temuan BPK, yaitu SF Haryanto selaku Sekdaprov Definitif. Kemudian, Indra dan Taufiq OH sebagai Pj Sekdaprov.
"Kita meminta penegak hukum mengusut bahwa pelanggaran terhadap aturan PP Nomor 69 tahun 2021 itu, diduga kuat memenuhi unsur tindak pidana korupsi yaitu memperkaya diri atau orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi," kata Idris.
"Aktor intelektual dibalik pemberian melanggar aturan ini harus dijerat."
"Ini lah laporan pertama kami ke Kejagung yaitu Pemberian Insentif kepada Sekdaprov Riau dengan pasal memperkaya diri atau orang lain," sebut Idris.
"Untuk sementara, data Insentif Sekda tahun 2024 ini yang kita serahkan. Untuk peristiwa pada tahun sebelumnya, biar lah menjadi urusan Kejagung. Jika diminta, kita siap tambahkan," sambungnya.
Pihaknya mencurigai adanya respon aneh dan nekat Bapenda atas temuan BPK itu.
Respon ini memantik pihaknya menyelidiki dan menginvestigasi mekanisme pemberian Insentif kepada ASN sebesar Rp127.281.563.790.
"Respon Pemprov Riau aneh dan nekat. Seolah ingin memproteksi atau menutupi sesuatu perbuatan atau seseorang, sebutnya.
"Kalau tidak ada proses hukum, respon ini bisa tertular ke OPD lain ketika menghadapi BPK dan merusak citra BPK dan merubah paradigma ASN terhadap BPK. Akhirnya, kita selidiki seluruhnya," kata Idris.
Benang Merah juga menemukan adanya unsur lain yang jauh lebih fatal, yaitu pada mekanisme Pemberian Insentif sebesar Rp127 miliar itu, terdapat unsur kesengajaan melanggar Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2024.
Dimana menurut Permendagri, Pemberian Insentif kepada ASN Provinsi Riau yang berhak, terkecuali Sekdaprov, seharusnya mengintegrasikan pembayaran insentif dan honorarium ke dalam formulasi penganggaran TPP ASN.
"Ini lah laporan kedua di Kejagung, yaitu Pemberian Insentif bagi ASN sebesar Rp127.281.563.790, yang diduga melanggar Permendagri Nomor 15 tahun 2023. Ternyata dipecah. TPP lain, Insentif Pungutan Pajak lain," sambungnya.
"Hasil investigasi, kami menemukan sejumlah fakta baru, analisa yuridis, sehingga diduga kuat ada unsur perbuatan yang diatur dalam Pasal 12 UU Korupsi. Ini lebih berat dan fatal. Kita meminta agar diusut pemberian terhadap ASN Pemprov Riau, kecuali Pihak Lain non ASN," kata dia.
Seluruh dokumen dan data pendukung, fakta di lapangan, analisa yuris termasuk pernyataan Kepala Bapenda disejumlah media, diserahkan ke Kejaksaan Agung dalam bentuk dokumen dan file digital di dalam sebuah perangkat flash disk. Idris meminta agar Kejaksaan Agung konsisten.
"Kita minta Kejaksaan Agung konsisten dalam kinerjanya dan tidak goyah atas pendekatan-pendekatan dari pihak-pihak yang tidak ingin kasus ini diusut," katanya.
"Dari investigasi ini, kami meyakini unsur tindak pidana korupsi sudah terpenuhi. Dan, kami akan memonitor dan tidak akan menyerah sampai terungkap," sebutnya lagi.
Menanggapi laporan Benang Merah Keadilan itu, Larshen Yunus, kembali menyebutkan bahwa insentif pungutan pajak bertujuan menambah semangat kerja bagi pejabat atau pegawai pemerintah daerah. Sekaligus menambah pendapatan daerah, serta memperbaiki pelayanan kepada masyarakat.
Jadi PP No 69 Tahun 2010 itu telah memjelaskan Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Insentif itu bukan upah pungut. Bahkan Mendagri saja tak terima itu lagi. Pejabat Polri tak ada lagi. Betul-betul untuk aparat daerah,” tandas Larshen.
Namun menurut Larshen, tidak semua kepala daerah/wakil kepala daerah maupun Sekda bisa menerima insentif. Pasalnya, khusus insentif untuk kepala daerah/wakil kepala daerah dan sekda hanya diberlakukan untuk daerah yang belum memberlakukan remunerasi.
Lebih lanjut dalam aturan baru itu ditetapkan pula bahwa insentif paling tinggi untuk provinsi adalah tiga persen dari setiap rencana penerimaan PDRB di APBD.
Adapun untuk kabupaten/kota, insentifnya dipatok maksimal lima persen.
Jadi upah pungut tersebut sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2002 tentang Pedoman.
Upah pungut itu sudah berlangsung lama, sejak 1976. Menurut dia, nilai tambah dari upah pungut tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah lebih kurang 10 persen per tahun.
"Jika hal itu dinilai sudah tak cocok, pemerintah berhak merevisi. Cantolan pemberian upah pungut pajak mungkin dilakukan dalam revisi UU Pajak atau Retribusi," kata Larshen.
Menurut Larshen, KPK setuju pemberian upah untuk petugas pemungut dapat dibenarkan. Jadi di negara mana pun, orang yang bekerja di dalam jasa finansial akan diberi jasa lebih. (*)
Tags : pajak, pajak daerah, insentif pajak, riau, dana insentif pungutan pajak, pejabat terima dana insentif pajak,