"Ancaman overpopulasi saban tahunnya terus meningkat, tahun depan jumlah manusia di bumi diperkirakan mencapai delapan miliar"
ada akhir tahun ini, populasi manusia di Bumi diperkirakan akan mencapai delapan miliar. Untuk menandai momentum itu, salah satu isu yang paling kontroversial di era kita, yaitu, apakah jumlah manusia sudah terlalu banyak?
Pada suatu masa, lembah itu adalah lahan basah yang tenang dan berawa.
Rerumputan dan pohon palem membentuk bayangan kabur di permukaan air yang ada di bawahnya.
Ikan-ikan mengintai dengan waspada di tepi hutan bakau. Orangutan mencari buah dengan jari-jari kasar.
Keadaan ini menggambarkan Pulau Sumatra pada sekitar 72.000 SM.
Kemudian raksasa yang tertidur terbangun dari mimpinya.
Gunung berapi Toba meletus, dalam peristiwa yang dianggap sebagai bencana terbesar dalam 100.000 tahun terakhir.
Serangkaian ledakan menggelegar menyemburkan 9,5 kuadriliun kilogram abu, yang mengepul di awan dan menggelapkan langit, merayap sekitar 47km ke atmosfer.
Setelah itu, area yang luas di seluruh Asia diselimuti lapisan debu setebal 3-10cm.
Debu vulkanis mencekik sumber air dan menempel pada vegetasi – bahkan, endapan dari Toba telah ditemukan hingga Afrika Timur, 7.300km ke arah barat dari awal letusan.
Tetapi yang terpenting, beberapa ilmuwan percaya, peristiwa itu menjerumuskan dunia ke dalam musim dingin vulkanik selama beberapa dekade – dan hampir membuat spesies kita punah.
Kembali ke tahun 1993, sekelompok tim peneliti Amerika mempelajari genom manusia untuk petunjuk masa lalu.
Mereka menemukan tanda-tanda "kemacetan populasi" besar, yaitu sebuah momen ketika jumlah manusia menyusut begitu drastis, sehingga semua generasi berikutnya di luar Afrika secara signifikan memiliki hubungan kekerabatan.
Studi selanjutnya mengungkapkan bahwa di era genting ini, terjadi antara 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu, jumlah manusia mungkin hanya mencapai 10.000 orang
Angka itu setara dengan populasi permukiman sepi di kota kecil seperti Wisconsin saat ini, atau jumlah yang menghadiri pernikahan drive-through di Malaysia pada tahun 2020.
Bagian dunia yang paling tidak terpengaruh adalah Afrika, di mana keragaman genetik tetap tinggi hingga hari ini.
Di benua ini, ada perbedaan genetik yang lebih besar antara kelompok-kelompok tertentu daripada di antara orang Afrika dan orang Eropa.
Beberapa orang berpikir ini bukanlah suatu kebetulan – mereka percaya bahwa letusan Gunung berapi Toba yang menyebabkannya.
Gagasan ini diperdebatkan dengan hangat, tetapi, tidak diragukan lagi sebagian besar umat manusia adalah keturunan dari nenek moyang yang jumlahnya relatif sedikit.
Putar cepat ke 74.000 tahun kemudian usai letusan Gunung Toba, spesies manusia mengalami ledakan populasi.
Manusia menjajah hampir setiap habitat di planet ini dan mengerahkan pengaruh ke sudut-sudut yang paling terpencil sekalipun.
Pada tahun 2018, para ilmuwan menemukan kantong plastik di kedalaman laut sejauh 10.898 meter, di dasar Palung Mariana
Sementara peneliti lain baru-baru ini menemukan "bahan kimia selamanya" buatan manusia di Gunung Everest.
Tidak ada bagian dunia yang masih asli – setiap danau, hutan, dan ngarai telah disentuh oleh aktivitas manusia.
Pada saat yang sama, jumlah dan kecerdasan manusia telah memungkinkan kita meraih prestasi yang tidak dapat dimimpikan oleh hewan lain.
Manusia mampu membelah atom, mengirimkan peralatan kompleks satu juta mil (1,6 juta km) jauhnya untuk mengamati planetgalaksi, hingga berkontribusi pada keanekaragaman seni dan budaya yang luar biasa.
Setiap hari, manusia secara kolektif mengambil 4,1 miliar foto dan bertukar antara 80 hingga 127 triliun kata.
Pada 15 November 2022 nanti, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan akan ada delapan miliar manusia di bumi ini– nyaris 800.000 kali lebih banyak dari jumlah yang selamat dari bencana Toba.
Bertambahnya populasi manusia secara pesat ini telah menimbulkan perdebatan.
Beberapa orang melihat peningkatan manusia sebagai kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya – ternyata, ada aliran pemikiran yang menganggap Bumi benar-benar membutuhkan lebih banyak orang.
Pada 2018, miliarder teknologi Jeff Bezos meramalkan sebuah masa depan di mana populasi manusia akan mencapai tonggak desimal baru, satu triliun manusia yang tersebar di Tata Surya kita – dan mengumumkan bahwa dia merencanakan cara untuk mencapainya.
Sementara yang lain – termasuk penyiar Inggris dan sejarawan alam Sir David Attenborough – telah melabeli besarnya populasi ini sebagai "wabah di Bumi".
Dalam pandangannya, hampir setiap masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini, mulai dari perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati, tekanan air dan konflik lahan, berawal dari reproduksi kita yang merajalela selama beberapa abad terakhir.
Kembali pada 1994 – ketika populasi global hanya 5,5 miliar – tim peneliti dari Stanford University, California, menghitung bahwa jumlah ideal spesies kita adalah antara 1,5 hingga 2 miliar orang.
Jadi, apakah dunia kelebihan penduduk saat ini? Dan apa yang mungkin terjadi di masa depan saat umat manusia memegang dominasi global?
Kekhawatiran kuno
Pada akhir 1980-an di Irak tengah, tim arkeolog dari Universitas Baghdad sedang menggali reruntuhan perpustakaan di kota kuno Sippar.
Di tengah pasir, debu, dan dinding antik, mereka menemukan 400 lempeng tanah liat.
Lempeng itu merupakan catatan ilmiah yang terlupakan dan terkubur selama lebih dari tiga setengah ribu tahun, masih berada di rak sama yang pernah dibuat oleh warga Babilonia.
Terdapat empat catatan yang istimewa dalam temuan itu. Ini berisi bagian yang hilang dari cerita yang ditemukan dalam fragmen pada lempeng terpisah yang tersebar di Mesopotamia, yang masih menarik sejarawan hari ini.
"Dua belas ratus tahun belum berlalu [sejak penciptaan umat manusia], ketika tanah diperluas dan jumlah manusia berlipat ganda..." kata Atra-hasis – puisi epik yang dicap ke tanah liat oleh seorang juru tulis anonim sekitar abad ke-17 SM seperti dirilis BBC Future.
Ini adalah versi Mesopotamia tentang kisah Banjir Besar yang ada di mana-mana, ditemukan dalam bentuk yang tak terhitung jumlahnya di banyak budaya di seluruh dunia, di mana peradaban dihancurkan oleh dewa – dan mungkin berisi salah satu penyebutan paling awal tentang overpopulasi dalam catatan sejarah.
Dalam kisah kuno, para dewa menjadi kesal dengan semua "kebisingan" dan "kegemparan" yang diciptakan oleh gerombolan manusia, serta "tanah yang melolong seperti banteng" karena tekanan yang mereka alami oleh tuntutan spesies kita.
Dewa atmosfer, Enlil, memutuskan untuk melepaskan beberapa bencana untuk menurunkan jumlah manusia.
Enlil menciptakan wabah, kelaparan, dan kekeringan selama interval 1.200 tahun.
Untungnya, dewa lain menyelamatkan manusia – kali ini.
Tapi, kemudian Enlil malah merencanakan banjir besar... dan kisah klasik pembuatan kapal pun terjadi.
Saat puisi Atra-hasis itu ditulis, populasi global diperkirakan antara 27 dan 50 juta orang
Jumlah itu setara dengan populasi saat ini mendiami Kamerun atau Korea Selatan, atau 0,3-0,6% dari total manusia pada hari ini.
Kemudan di Yunani Kuno, para filsuf kembali merenungkan masalah overpopulasi lagi.
Plato memiliki beberapa pandangan keras.
Setelah periode pertumbuhan yang cepat, di mana populasi Athena berlipat ganda, dia meratap: "Yang tersisa sekarang seperti tengkorak tubuh yang terkikis karena penyakit; tanah yang subur telah hanyut dan hanya kerangka telanjang yang tersisa."
Plato tidak hanya percaya pada kontrol populasi ketat yang dikelola oleh negara – dia akhirnya menyimpulkan bahwa kota yang ideal tidak boleh memiliki lebih dari 5.040 warga
Dia pun berpikir mendirikan koloni adalah cara yang baik untuk mengurangi kelebihan penduduk – juga pentingnya moderasi konsumsi.
Dalam magnum opus Plato, The Republic, yang ditulis sekitar tahun 375 SM, dia menggambarkan dua negara kota imajiner – wilayah administratif yang diatur hampir seperti negara kecil.
Yang satu sehat, sementara yang lainnya "mewah" namun “sakit”.
Di kota kedua, penduduk berfoya-foya dan makan berlebihan, menyerahkan diri mereka pada konsumerisme sampai mereka "melampaui batas kebutuhan mereka".
Sayangnya, negara kota yang bobrok secara moral ini akhirnya mengambil alih tanah tetangga yang sehat, dan tentu saja, melalui perang.
Negara mewah itu tidak dapat mempertahankan populasinya yang besar dan rakus tanpa sumber daya tambahan.
Plato telah menghadapi perdebatan yang masih berkecamuk hingga hari ini: apakah populasi manusia masalahnya? atau apakah sumber daya yang dikonsumsinya?
Butuh lebih dari lima abad setelah kematian Plato, ledakan populasi manusia dalam skala global menjadi kenyataan.
Penulis Tertullian, yang tinggal di kota Romawi Kartago, menuliskan tentang banyaknya manusia yang pada akhirnya menjadi perusak.
Pada tahun 200 M, ketika total populasi manusia telah mencapai 190-256 juta – sekitar jumlah yang saat ini mendiami Nigeria atau Indonesia – ia percaya bahwa seluruh dunia telah dijelajahi, dan manusia telah menjadi beban di planet ini.
“Karena alam tidak bisa lagi menopang kita,” tulisnya.
Selama 1.500 tahun ke depan, populasi manusia global meningkat lebih dari tiga kali lipat. Akhirnya, kekhawatiran Plato dan Tertullian menjadi kepanikan.
Masuklah Thomas Malthus, seorang pendeta Inggris dengan kecenderungan pesimisme.
Dalam karyanya yang terkenal, An Essay on the Principle of Population, yang diterbitkan pada 1798, ia memulai dengan dua pengamatan penting – bahwa semua orang perlu makan, dan mereka suka berhubungan seks.
Ketika dibawa ke kesimpulan logis, dia menjelaskan, fakta-fakta sederhana ini pada akhirnya akan mengarahkan tuntutan manusia untuk melampaui persediaan planet ini.
"Populasi, jika tidak dikendalikan, meningkat dalam rasio geometris. Penghidupan meningkat hanya dalam rasio aritmatika. Jika Anda memahami angka, kekuatan pertama akan lebih besar dibandingkan dengan yang kedua," tulis Malthus.
Dengan kata lain, manusia dapat menghasilkan lebih banyak keturunan, tetapi kemampuan kita untuk menghasilkan makanan tidak serta merta melaju dengan kecepatan yang sama.
Pada saat esai Malthus diterbitkan, ada 800 juta orang di planet ini.
Baru pada tahun 1968, kekhawatiran modern tentang kelebihan populasi global muncul ketika seorang profesor di Universitas Stanford, Paul Ehrlich, dan istrinya, Anne Ehrlich, menulis The Population Bomb.
Kota Delhi di India adalah inspirasinya.
Saat kembali ke hotel dengan taksi pada suatu malam, mereka melewati daerah kumuh yang semarak oleh banyaknya aktivitas manusia di jalanan.
Lalu mereka menulis pengalaman itu dengan cara yang telah banyak dikritik – terutama karena populasi London pada saat itu lebih dari dua kali lipat populasi Delhi.
Pasangan itu menulis buku mereka karena kekhawatiran tentang kelaparan massal yang mereka yakini akan datang, terutama di negara-negara berkembang - tetapi juga di tempat-tempat seperti Amerika, di mana orang mulai memperhatikan dampak yang mereka alami terhadap lingkungan.
Karya mereka - telah banyak dipuji atau dikritik, tergantung pada pandangan Anda – memicu banyak kecemasan saat ini tentang kelebihan populasi.
Tentu saja, diskusi tentang jumlah manusia tidak bisa sepenuhnya dari akademis. Karena, kerap kali ini menjadi alasan pembenaran untuk penganiayaan, pembersihan etnis dan genosida.
Dalam setiap kasus, para pelaku bermaksud mengurangi populasi kelompok orang tertentu, seperti dari kelas sosial, agama atau etnis tertentu – alih-alih umat manusia secara keseluruhan.
Selama berabad-abad mendatang, eugenika terus disamarkan sebagai kontrol populasi – seperti pada sterilisasi paksa terhadap orang-orang dari kelompok etnis minoritas di Amerika tahun 1970-an.
Alasan ini juga digunakan untuk membatasi kebebasan individu.
Pada tahun 1980, China memperkenalkan kebijakan satu anak yang kontroversial, yang secara luas dilihat sebagai pelanggaran invasif terhadap hak seksual dan reproduksi penduduknya.
Masa depan yang kontroversial
Karena sejarahnya yang kontroversial inilah, rekayasa populasi menjadi isu yang terpolarisasi.
Saat ini, setiap kebijakan yang melibatkan kuota atau target untuk menambah atau mengurangi populasi manusia hampir dikutuk secara universal, kecuali oleh segelintir organisasi ekstremis.
Tapi di sisi yang lain, ada kelompok yang melihat tingkat kesuburan lebih rendah di beberapa daerah sebagai krisis.
Misalnya, seorang ahli demografi yang sangat prihatin dengan penurunan tingkat kelahiran di Inggris sehingga dia menyarankan untuk mengenakan pajak pada keluarga yang tidak memiliki anak.
Pada 2019, rata-rata ada 1,65 anak yang lahir di negara itu adalah perempuan.
Ini di bawah tingkat penggantian – jumlah kelahiran yang diperlukan untuk mempertahankan ukuran populasi yang sama – sebesar 2,075, meskipun populasi secara keseluruhan masih tumbuh karena migrasi dari negara lain.
Pandangan lain melihat bahwa memperlambat pertumbuhan populasi global juga dapat dicapai melalui cara yang sepenuhnya sukarela – seperti menyediakan kontrasepsi bagi mereka yang menginginkannya.
Dengan cara ini, para pendukung pandangan ini percaya bahwa kita tidak hanya dapat memberi manfaat bagi planet tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga termiskin di seluruh dunia.
Salah satu organisasi yang percaya pada pendekatan ini adalah Population Matters yang berbasis di Inggris, yang berkampanye untuk mencapai populasi global yang berkelanjutan.
Mereka mengadvokasi untuk mengatasi tekanan konsumerisme – terutama oleh negara maju.
Mereka mendesak setiap orang untuk mengambil tanggung jawab individu atas krisis lingkungan, juga bekerja untuk mengakhiri kemiskinan dan ketidaksetaraan global melalui penghapusan utang dan bantuan luar negeri.
"Kami menyesalkan segala bentuk pengendalian populasi atau pemaksaan, dan pembatasan pilihan," kata direktur lembaga ini, Robin Maynard.
“Ini tentang memungkinkan akses, pilihan, dan memenuhi hak. Dan itu sebenarnya cara paling efektif bagi setiap orang untuk membuat keputusan yang baik, bagi mereka dan bagi planet ini."
Akhirnya, ada pula "solusi" fatalistik untuk pertanyaan tentang populasi abadi: yakni tidak melakukan apa-apa.
Pandangan ini berpusat pada dinamika populasi global yang sangat tidak stabil – yang diperkirakan akan tumbuh signifikan, tetapi kemudian akan menyusut.
Berbagai teori menyebut perkiraan bervariasi, tetapi manusia diperkirakan akan mencapai "puncak" sekitar tahun 2070 atau 2080, di mana akan ada antara 9,4 miliar hingga 10,4 miliar orang di planet ini – tetapi setelah itu populasi diproyeksikan menurun.
Dalam buku "Planet Kosong: Kejutan Penurunan Populasi Global", penulis menyajikan visi masa depan yang sangat berbeda, di mana dunia bergulat dengan tantangan dan peluang baru yang dapat dihadirkan oleh depopulasi.
Tantangan lingkungan
Sebuah kamera merekam di antara pepohonan hutan Madagaskar. Lalu tiba-tiba: sosok putih memantul dan melintasi bingkai kamera. Ia lalu berlari menjauh.
Hewan itu adalah sifaka – lemur pemalu dan sukar dipahami dengan tungkai panjang, bulu pucat dan wajah hitam, seperti boneka beruang kurus.
Pertemuan singkat itu adalah bagian dari film dokumenter BBC, Samudra Hindia dengan Simon Reeve, dan pembawa acara dengan segera menceritakan kejutan menggembirakan ini ke depan kamera.
Bagaimanapun, ini bukan alam liar – ini adalah cagar alam Berenty di Madagaskar Selatan, sepetak kecil hutan yang dikelilingi oleh perkebunan komersial di semua sisinya, dan salah satu tempat tersisa, rumah bagi makhluk langka ini.
Film dokumenter ini menyoroti tentang "mitos hutan belantara" yang menunjukkan bahwa masih ada lahan luas dan belum tersentuh manusia di luar sana.
Pandangan itu dapat menimbulkan kesalahpahaman ketika orang-orang disuguhkan video megah dunia alam yang mengesampingkan keberadaan manusia sepenuhnya.
Citra satelit adalah alat yang sangat ampuh untuk menghancurkan gagasan ini: dari udara akan terlihat, alam telah diadaptasi sedemikian rupa untuk mengakomodir manusia.
Sejauh mata memandang, tanah serupa tambal sulam ladang pertanian, dijalin dengan jalanan dan deretan bangunan.
Beberapa lanskap telah diubah sedemikian rupa hanya dalam beberapa dekade, oleh pembangunan atau penggundulan hutan, sehingga hampir tidak dapat dikenali.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), 38% dari permukaan tanah planet ini digunakan untuk menanam makanan dan produk lainnya (seperti bahan bakar) untuk manusia atau ternak mereka - total lima miliar hektar tepatnya.
Dan meskipun nenek moyang kita hidup di antara raksasa, berburu mamut, mega-wombat, dan burung gajah seberat 450kg, hari ini kita adalah spesies vertebrata yang paling dominan di darat.
Berdasarkan beratnya, manusia menyumbang 32% dari vertebrata darat, sementara hewan liar hanya berjumlah 1% dari total. Peternakan menyumbang sisanya.
Badan amal pelestarian hutan belantara WWF telah menemukan bahwa populasi satwa liar menurun dua per tiga antara tahun 1970 hingga 2020.
Faktanya, ketika dominasi kita meningkat, perubahan lingkungan telah terjadi secara paralel – dan sejumlah ahli lingkungan terkemuka, dari ahli primata Jane Goodall, yang terkenal dengan studinya tentang simpanse, hingga naturalis dan presenter TV Chris Packham, telah menyuarakan keprihatinan mereka.
Pada tahun 2013, Sir David Attenborough menjelaskan pandangannya dalam sebuah wawancara dengan Radio Times
"Semua masalah lingkungan kita menjadi lebih mudah untuk diselesaikan dengan lebih sedikit orang, dan lebih sulit - pada akhirnya tidak mungkin - untuk diselesaikan dengan lebih banyak orang."
Bagi sebagian orang, kekhawatiran atas jejak lingkungan yang dibuat umat manusia telah membuat mereka memutuskan untuk memiliki sedikit atau tidak memiliki anak.
Duke dan Duchess of Sussex mengumumkan pada 2019 bahwa mereka tidak akan memiliki lebih dari dua anak demi planet ini.
Pada tahun yang sama, Miley Cyrus juga menyatakan bahwa dia belum akan memiliki anak karena Bumi sedang "marah".
Semakin banyak perempuan bergabung dengan gerakan anti-kelahiran dan melakukan "BirthStrike", sampai krisis iklim ditangani.
Tren ini didukung oleh penelitian dari tahun 2017, yang menghitung bahwa hanya memiliki satu anak lebih sedikit di negara maju dapat mengurangi emisi karbon tahunan seseorang sebesar 58,6 ton "setara CO2" atau CO2e – lebih dari 24 kali penghematan dari tidak memiliki mobil.
Satu studi tahun 2019, yang dipimpin oleh Jennifer Sciubba, seorang profesor Studi Internasional di Rhodes College, Tennessee, menganalisis tingkat pertumbuhan penduduk di lebih dari 1.000 wilayah di 22 negara Eropa antara tahun 1990 hingga 2006.
Sciubba membandingkan pertumbuhan itu untuk melihat bagaimana pola penggunaan lahan perkotaan dan emisi karbon dioksida berubah dalam periode yang sama.
Tim menyimpulkan bahwa banyaknya jumlah manusia memiliki "efek yang cukup besar" pada parameter lingkungan ini di Eropa Barat, tetapi ini bukan faktor terpenting di Eropa Timur.
Tapi faktanya, banyak pemerhati lingkungan juga percaya bahwa masalah yang kita hadapi saat ini sebagian besar disebabkan oleh konsumsi, alih-alih kelebihan populasi.
Pada tahun 2021, sebuah penelitian menemukan bahwa di AS, pertumbuhan penduduk dan penggunaan sumber energi tak terbarukan sama-sama merusak lingkungan.
Penelitian yang lain menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam di China dari tahun 1980 hingga 2017 menyebabkan emisi karbon yang lebih tinggi.
Lalu penelitian yang juga menarik menjelaskan, meskipun penggunaan sumber daya alam dan urbanisasi di China sama-sama meningkatkan tingkat kerusakan lingkungan, ini sebagiannya diimbangi oleh ketersediaan "modal manusia" – yakni, pengetahuan dan keterampilan populasi manusia.
Apakah masalahnya pada jumlah manusia terlalu banyak, atau sumber daya yang terbatas, atau bahkan keduanya?
“Saya bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana lebih banyak manusia bisa lebih baik bagi lingkungan", kata Sciubba, yang menulis buku "8 Miliar dan terus bertambah: Bagaimana Seks, Kematian, dan Migrasi Membentuk Dunia kita".
Dia menyarankan satu cara untuk melihatnya adalah dengan menganggap manusia dan lingkungan sebagai entitas yang sama, “Ya, itu argumen yang sangat sulit untuk dibuat".
Namun, Sciubba ingin menunjukkan bahwa gagasan tentang ancaman “bom populasi" yang akan menghancurkan planet ini, seperti yang disarankan oleh buku Ehrlichs, sudah ketinggalan zaman.
"Saat itu [ketika ditulis], saya pikir ada 127 negara di dunia di mana perempuan rata-rata memiliki lima anak atau lebih dalam hidup mereka," katanya.
Di era itu, tren populasi benar-benar terlihat seolah-olah eksponensial – dan dia merasa ini menanamkan kepanikan populasi pada generasi tertentu yang masih hidup sampai sekarang.
"Tapi hari ini hanya ada 8 [negara dengan tingkat kesuburan di atas lima]," kata Sciubba. "Jadi saya pikir penting bagi kita untuk menyadari bahwa tren itu berubah."
Peluang ekonomi
Pada tahun 2012, pemerintah Singapura menemukan cara yang tidak biasa bagi warganya untuk merayakan kemerdekaan – dan menyebarluaskan instruksi penting melalui lagu rap.
"... Mari kita buat manusia kecil [bayi] yang terlihat seperti Anda dan saya. Jelajahi tubuh Anda seperti safari malam, saya seorang suami yang patriotik, Anda seorang istri yang patriotik, Biarkan saya datang ke kamp Anda dan membuat kehidupan... ," begitu bunyi sepenggal liriknya.
Lagu ini dirilis di tengah kekhawatiran tentang tingkat kesuburan yang sangat rendah di Singapura, hanya 1,1 kelahiran per wanita pada tahun 2020.
Ini adalah contoh ekstrem dari apa yang telah menjadi tren umum di negara-negara kaya, di mana orang menikah kemudian dan memilih untuk memiliki lebih sedikit anak. Di Singapura, hal itu memicu kekhawatiran tentang konsekuensinya bagi perekonomian negara.
Ini adalah konsep kunci dalam ekonomi: semakin banyak orang, maka semakin banyak barang atau jasa yang dapat mereka hasilkan dan semakin banyak yang dapat mereka konsumsi – jadi pertumbuhan penduduk sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Namun, pertumbuhan penduduk yang lebih lambat tidak selalu diikuti dengan kejatuhan ekonomi.
Ambil contoh Jepang, yang mendahului tren global di negara-negara kaya dan mencapai tingkat kesuburan di bawah tingkat penggantian pada awal 1966, ketika tiba-tiba turun dari sekitar dua menjadi 1,6.
"Saya tidak berpikir bahwa ekonomi Jepang telah menurun sejauh digambarkan orang, jika Anda melihat standar hidup mereka," kata Andrew Mason, profesor emeritus di departemen ekonomi di University of Hawaii.
"Mereka telah banyak berinvestasi dalam sumber daya manusia - jadi mereka memiliki lebih sedikit anak, tetapi mereka mementingkan pendidikan dan memiliki sistem perawatan kesehatan yang sangat baik."
Mason juga menunjukkan bahwa tabungan dan investasi juga umum di Jepang: "Jadi ada peningkatan modal [moneter] dan produktivitas yang lebih tinggi juga. Jika Anda menggabungkan hal-hal itu... Saya pikir Jepang adalah studi kasus yang bagus tentang mengapa tidak perlu panik [tentang penurunan angka kelahiran]."
Dan ada cara lain untuk menumbuhkan ekonomi suatu negara.
Mason mengatakan bahwa imigrasi dapat menyediakan sumber pekerja baru yang bermanfaat, tanpa menambahkan jumlah manusia secara total.
Tetapi imigrasi juga menjadi subjek yang diperdebatkan dan sangat dipolitisasi di beberapa negara.
“Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan [secara historis] sangat resisten terhadap imigrasi," kata Mason.
Ada perasaan yang berkembang bahwa obsesi global untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan segala cara sudah ketinggalan zaman dan harus ditinggalkan sama sekali.
“Salah satu hal yang membuat saya frustrasi tentang debat kelebihan penduduk adalah banyak komentar keluar dari mulut orang yang sama – bahwa mereka tidak ingin terlalu banyak orang, tapi mereka juga ingin memastikan ekonomi selalu stabil dan berkembang," kata Sciubba.
"Di dunia di mana ada lebih sedikit orang, kita benar-benar membutuhkan perubahan pola pikir yang menganggap pertumbuhan sama dengan kemajuan," katanya.
Masa depan yang lebih bahagia
Namun, demografi memengaruhi lebih dari sekadar lingkungan dan ekonomi.
Demografi juga merupakan kekuatan tersembunyi dalam membentuk kualitas kehidupan masyarakat di seluruh dunia.
Menurut Alex Ezeh, seorang profesor Kesehatan Global di Drexel University, Pennsylvania, jumlah absolut orang di suatu negara bukanlah faktor yang paling penting.
Sebaliknya, tingkat pertumbuhan atau penurunan populasinyalah yang menjadi kunci prospek masa depan suatu negara – ini menentukan seberapa cepat segala sesuatunya berubah.
Ambil contoh Afrika, di mana Ezeh menjelaskan bahwa ada tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat berbeda saat ini, tergantung di mana Anda melihat.
"Di sejumlah negara, khususnya di Afrika Selatan [salah satu dari lima wilayah yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa], tingkat kesuburan benar-benar turun dan penggunaan kontrasepsi meningkat - laju pertumbuhan populasi melambat, yang dalam beberapa hal merupakan berita bagus," kata Ezeh.
Pada saat yang sama, beberapa negara Afrika Tengah masih memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, sebagai akibat dari kesuburan yang tinggi dan rentang hidup yang lebih lama. Di beberapa tempat, angkanya jauh di atas 2,5% per tahun.
“Ini sangat besar," kata Ezeh. “Populasi akan berlipat ganda setiap 20 tahun di sejumlah negara."
Salah satu faktor yang telah terbukti dapat memperlambat laju pertumbuhan penduduk adalah pendidikan perempuan, yang memiliki efek samping meningkatkan usia rata-rata melahirkan.
"Seiring berjalannya waktu, perempuan mendapatkan akses pendidikan, mereka memiliki posisi di luar keluarga, pekerjaan, semua itu bersaing dengan melahirkan anak," kata Ezeh.
Namun, Ezeh menekankan manfaat pendidikan terlepas dari dampaknya terhadap ukuran populasi – terlebih ini adalah salah satu dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan PBB.
Intinya, kebijakan harus diterapkan untuk kepentingan masyarakat, dan jika kebijakan itu mengarah pada perubahan demografis yang menguntungkan, itu hanya bonus.
"Saya pikir salah satu hal yang kita tahu pasti, adalah... [ketika orang mengatakan bahwa] populasi Afrika diproyeksikan menjadi x pada tahun y, [itu] bukanlah sebuah takdir," kata Ezeh.
Manusia yang terus berkembang
Bagaimanapun, populasi manusia kemungkinan akan terus bertambah untuk beberapa waktu, terlepas dari segala upaya yang mungkin dilakukan untuk menguranginya.
Masa depan ini bermuara pada fenomena yang dikenal sebagai "momentum demografi", di mana populasi muda akan terus tumbuh, di sisi lain, tingkat kematian dan migrasi tetap sama.
Ini karena perubahan populasi bukan hanya tentang angka kelahiran – struktur populasi juga memiliki dampak, khususnya jumlah perempuan usia subur.
Sebuah studi pada 2014 menemukan bahwa, bahkan jika terjadi tragedi global besar seperti pandemi mematikan atau bencana perang dunia, atau bila setiap negara menerapkan kebijakan satu anak, populasi kita masih akan tumbuh hingga 10 miliar orang pada tahun 2100.
Bahkan dengan bencana dalam skala sedemikian rupa yang menyebabkan dua miliar orang tewas dalam periode lima tahun di pertengahan abad ini, kita masih akan melihat populasi tumbuh hingga 8,5 miliar orang pada tahun 2100.
Apa pun yang terjadi, para penulis menyimpulkan, kemungkinan besar manusia akan terus tumbuh sampai setidaknya abad berikutnya.
Dengan jumlah umat manusia yang semakin dominan di tahun-tahun mendatang, menemukan cara untuk hidup bersama dan melindungi lingkungan adalah tantangan terbesar spesies kita. (*)
Tags : Hak asasi, Alam, Ancaman Overpopulasi, Jumlah Manusia Meningkat, Jumlah Manusia di Bumi Delapan Miliar,