"Kenaikan tajam angka infeksi virus corona (Covid-19) dan antrean pasien mengakibatkan beban tenaga kesehatan kian berat"
enaga kesehatan kini tak hanya menanggung kelelahan bertugas, tapi juga berpotensi mengalami burnout yang "menyebabkan imunitas menurun setelah divaksinasi", bahkan saat ini Indonesia telah mengalami "fungsional kolaps sistem pelayanan kesehatan", kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi.
Data dua pekan terakhir 108 dokter meninggal dunia akibat terpapar Covid-19, dan ini belum termasuk tenaga kesehatan lain seperti perawat dan bidan, ungkap mereka. Namun strategi penanganan yang disusun oleh pemerintah Indonesia dianggap belum mampu mengurai akar persoalan, kata Tim Mitigasi IDI. Satgas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan menyatakan pihaknya sudah mengerem laju penularan melalui PPKM Darurat seraya menyiapkan perlindungan bagi nakes.
Sementara di lapangan, Erlang Samoedro, salah satu dokter yang menangani pasien Covid-19 di RSUP Persahabatan, Jakarta, mengaku "masih harus berjibaku" menangani ratusan pasien setiap harinya. Deretan pasien Covid-19 yang tak henti berdatangan dan menunggu giliran perawatan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Persahabatan di Jakarta Timur, menjadi pemandangan rutin Dokter Erlang Samoedro, sejak bulan lalu.
Dalam saat bersamaan, menurutnya, ranjang-ranjang di ruang perawatan di salah satu rumah sakit rujukan pasien Covid-19 di Ibu Kota itu pun nyaris selalu terisi. "Sebulan belakangan ini kasus Covid-19 meningkatnya drastis, dalam waktu beberapa minggu saja sudah melebihi tahun lalu. Antrean di IGD, rawat inap, penuh semua," kata dokter spesialis paru kepada wartawan dirilis BBC News Indonesia, Minggu (18/07).
"Sampai, orang juga enggak kebagian untuk dapat [tempat tidur] di rumah sakit," imbuh dia.
Tak jarang, pasokan oksigen di rumah sakit ini pun sampai menipis. "Pasien-pasien pada kekurangan oksigen karena kebutuhan meningkat. "Tapi tidak sampai habis, cuma frekuensi menambah oksigen dari yang biasanya dua hari sekali menjadi sehari sekali," terang dia.
Gelombang kedua pandemi Covid-19 ini, menurut Erlang, "lebih parah jauh" dibanding lonjakan kasus pada puncak pertama wabah. Kesaksian Erlang sejalan dengan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang mencatatkan beberapa kali rekor penambahan kasus harian di atas 50.000 kasus sepanjang empat hari berturut.
Dengan jumlah kasus harian tertinggi terjadi pada Kamis (15/07) yakni 54.517 orang yang terinfeksi virus corona. Erlang pun menggambarkan, bila sebelum gelombang kedua biasa menangani 30 hingga 40 pasien dalam sehari, sejak bulan lalu ia harus menghadapi tiga kali lipat dari itu.
Jumlah pasien Covid-19 yang ia tangani bisa lebih dari 100 orang per hari. "Akhirnya shift-shiftan, karena enggak kuat menangani pasien sendirian. Jadi kami bagi pasiennya bahkan dengan spesialis lain," tutur dia.
Kendati telah kewalahan, Erlang menilai penambahan tempat tidur di ruang-ruang perawatan Covid-19 tetap diperlukan mengingat banyaknya pasien yang butuh pertolongan. Meskipun ia menyadari bahwa dengan begitu tenaga kesehatan akan menangani lebih banyak pasien. "Soalnya daripada orang-orang meninggal di jalan-jalan, di mobil ambulans juga, atau di rumah-rumah, jadi enggak dapat pelayanan kesehatan," ungkap dia.
Hanya saja Erlang meminta pemerintah juga menghitung kemampuan dan kapasitas tenaga kesehatan ketika menambah ruang-ruang perawatan. Mengingat sejumlah dokter pun mulai bertumbangan. Di RSUP Persahabatan tempatnya bertugas saja, sepertiga dari total 20 dokter tengah menjalani isolasi mandiri. Meski seluruh dokter telah mendapatkan vaksinasi lengkap dua dosis, tapi infeksi virus corona tetap membayangi.
Selain mempertimbangkan kapasitas tenaga kesehatan, Erlang juga menyinggung soal hak insentif yang belum juga penuh dibayarkan. "Dicairin insentifnya juga nakes-nakes. Saya sudah dapat, cuma belum semua. Banyak nakes-nakes lain juga yang belum," kata Erlang mengingatkan.
Dalam dua pekan 108 dokter meninggal dunia terpapar Covid-19
Di tengah pelbagai problem itu, dokter yang meninggal saat menangani Covid-19, jumlahnya terus naik seiring lonjakan kasus. Kelelahan hingga naiknya angka nakes yang meninggal saat bertugas menangani pasien Covid-19, menurut Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), tak telepas dari peningkatan kasus sebulan terakhir.
Catatan Tim Mitigasi PB IDI menemukan, dalam dua pekan pada Juli 2021 ini, 108 dokter meninggal terpapar Covid-19. Angka tersebut tergolong tinggi karena sudah lebih dari dua kali lipat dari jumlah kematian sebulan sebelumnya. "Untuk Juli ini, angkanya sudah melebihi 100% dari angka kematian dari bulan Juni lalu. Ini data-data yang dilaporkan, belum lagi data-data yang mungkin belum dilaporkan ke kami," terang Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi PB IDI Mahesa Paranadipa dalam diskusi virtual, Minggu (18/07).
Sehingga data hingga Minggu (18/07) mencatatkan total 545 dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19. Angka tertinggi di Jawa Timur (110), diikuti DKI Jakarta (83), Jawa Tengah (81), Jawa Barat (76) dan, Sumatera Utara (38). Mahesa menambahkan, timnya sudah menerbitkan perdoman perlindungan bagi dokter. Hanya saja lonjakan pasien Covid-19 yang belum pasti kapan berakhirnya itu, tak pelak, menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan imunitas dokter menurun. "Walaupun sudah divaksinasi, hampir sebagian besar dokter sudah divaksinasi sampai suntikan kedua. Namun karena lonjakan pasien yang cukup tinggi menyebabkan yang disebut overload beban kerja," jelas Mahesa.
"Overload beban kerja dalam waktu yang lama ini kami khawatirkan akan menimbulkan potensi syndroma burnout. Walaupun data dari lonjakan kasus di Kudus dan beberapa tempat itu terbukti efektifitas vaksinasi [...] tapi dengan lonjakan yang terjadi hari demi hari tentu daya imunitas dokter yang turun di lapangan tentu menemukan permasalahan," imbuh dia lagi.
Angka kematian bukan saja membayangi dokter, melainkan juga tenaga kesehatan lain seperti perawat hingga petugas laboratorium. Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 18 Juli 2021 mencatat sebanyak 7.392 perawat terkonfirmasi positif Covid-19 dan 445 orang meninggal dunia. Sementara laporan yang diterima Tim Mitigasi PB IDI menunjukkan sebanyak 42 apoteker, 223 bidan dan, 25 tenaga laboratorium meninggal akibat terpapar Covid-19.
Adapun data lain yang dihimpun koalisi sipil yang mengadvokasi wabah LaporCovid-19, tenaga kesehatan yang meninggal sejak Maret 2020 hingga Minggu (18/07/2021) tercatat 1.371 orang. Sebanyak 491 orang - jumlah tertinggi - di antaranya adalah dokter, perawat (441), bidan (224), apoteker (47), dokter gigi (46), petugas rekam radiologi (9), tenaga farmasi fisikawan medik (3) dan beberapa lagi lainnya.
Laporan kematian itu melonjak pada Juli, baru menginjak pertengahan bulan, tenaga kesehatan yang meninggal sudah mencapai 206 orang. Melejit dari Juni yang tercatat 89 orang. Kematian tenaga kesehatan (nakes) tertinggi ada di Jawa Timur, diikuti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. "Para tenaga kesehatan yang gugur melawan Covid-19 bukan hanya angka-angka. Mereka memiliki kisah dan relasi sosial di masa lalu. Mereka juga punya peran dalam kehidupan kita kini dan kelak. Mereka akan terus abadi," tulis LaporCovid-19 di laman Pusara Digital Tenaga Kesehatan.
Laporan mengenai memburuknya kondisi tenaga kesehatan ini pernah dipaparkan salah satunya melalui riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada September 2020 lalu. Penelitian itu menemukan sekitar 83% dari total 1.461 tenaga kesehatan yang disurvei mengalami burnout syndrome sedang hingga berat. 'Seruan alarm bahaya dari benteng terakhir' juga sempat diutarakan pada awal Juli 2021, mula ketika kasus Covid-19 merangkak naik di gelombang kedua wabah.
Sejak dua pekan lalu, koalisi sipil bersama organisasi profesi menyuarakan ihwal perlindungan terhadap nakes, sebab sudah banyak yang terpapar Covid-19 bahkan meninggal.
'Jangan memindahkan bencana ke rumah sakit'
Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib Khumaidi menyebut kondisi yang terjadi beberapa pekan belakangan sebagai "fungsional kolaps" sistem pelayanan kesehatan. Hal tersebut di antaranya ditunjukkan dengan penumpukan pasien di IGD, keterbatasan tempat tidur sampai harus membuka tenda-tenda darurat, keterbatasan oksigen, obat-obatan hingga alat kesehatan.
Karena itu, Adib mengusulkan modifikasi mitigasi risiko penanganan lonjakan kasus Covid-19 berdasarkan kondisi terkini. Pasalnya menurut dia, penuhnya fasilitas pelayanan kesehatan tak melulu harus dijawab dengan menambah kapasitas ruang perawatan. "Karena kalau kita bicara menambah bed, kebutuhan fasilitas itu bukan hanya tempat tidur saja. Kita juga butuh obat, alat kesehatan, oksigen, SDM. Kalau kita bicara di faskes yang sudah ada, itu akan lebih sulit dibandingkan kalau kita membuka rumah sakit lapangan," tutur Adib.
Dalam kesempatan lain pada diskusi 'Kondisi Dokter dan Strategi Mitigasi Risiko Mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan", Adib memaparkan bagan yang menampilkan alur sistem penanganan pasien hingga rujukan berjenjang yang dia tawarkan menangani lonjakan kasus. Dia mengusulkan, pemerintah Indonesia bisa menggunakan strategi community triage atau triase komunitas melalui masyarakat dan Satgas Covid-19 RT-RW.
Triase adalah sistem untuk menentukan pasien yang diutamakan untuk mendapat penanganan medis. Sehingga jika sistem triase komunitas itu berjalan, Adib meyakini penumpukan pasien Covid-19 yang kini terjadi akan bisa dicegah. "Triage community artinya masyarakat diberi pemahaman, kapan masyarakat bisa ke rumah sakit dan kapan bisa isolasi mandiri. Dan isoman ini pun harus terpantau tenaga medis dan tenaga kesehatan," terang Adib dalam diskusi virtual.
"Yang paling penting adalah, jangan memindahkan bencana ke rumah sakit," ucap Adib menambahkan.
Adib pun menyarankan, primary triage bisa dilakukan di luar UGD atau tenda, sementara secondary triage dilakukan di ruang UGD, baru kemudian jika memenuhi penilaian maka pasien akan dibawa ke rumah sakit. "Karena kalau kita menambah kapasitas perawatan dengan tenda, maka ini bisa berpotensi meningkatkan mobilitas dan mortalitas," jelas Adib.
Sementara solusi penuhnya kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan, menurut dia juga tak melulu dengan penambahan kapasitas ruang perawatan. Ia mengusulkan pemerintah lebih baik membangun RS Lapangan. "Tidak serta merta harus menambah kapasitas juga, karena itu kan harus diperhitungkan SDM dan alkesnya. Tapi kalau itu tidak memungkinkan [menambah ruang perawatan], alangkah lebih baiknya membuka RS Lapangan di lokasi yang overload tadi," saran Adib.
Membludaknya pasien tersebut diakui menjadi salah satu faktor kelelahan tenaga kesehatan. Di satu sisi nakes banyak yang terpapar Covid-19 dan berguguran, sedangkan lonjakan kasus dan penambahan pasien terus terjadi. Dewan Penasihat Tim Mitigasi PB IDI, Menaldi Rasmin menekankan perlunya pemantauan terhadap warga yang menjalani isolasi mandiri. Sebab fenomena isolasi mandiri atas inisiatif pribadi dia sebut juga menyumbang kelelahan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Isolasi mandiri, tutur Menaldi, harus dilakukan atas penilaian dokter sehingga kondisi pasien pun terukur. "Karena kalau isolasi mandiri atas pilihan pribadi, nanti dia datang malam-malam, padahal dokter yang jaga malam hari itu terbatas. Lalu dia bertumpahan di dalam ruangan, segala macam," terang Menaldi membeberkan kondisi sistem pelayanan.
"Dokternya bekerja sepanjang hari, tidak minum, tidak makan, bahkan tidak bisa ke belakang karena bajunya seperti itu. Apa yang terjadi? Dokternya sakit. Ada yang meninggal dunia. Dan itu dokter jaga semua. Kita kurangi itu. Dengan begitu sistem berjalan, dokter pun akan berkurang risikonya," tambah dia lagi.
Dengan menekan risiko kematian tersebut, tutur Menaldi, tenaga kesehatan termasuk dokter pun berpeluang menyelamatkan lebih banyak pasien. Di tengah lonjakan kasus dan ketidakpastian pandemi ini yang juga penting menurutnya adalah "menjaga dan merawat tenaga kesehatan yang ada". "Kalau 108 dokter meninggal dalam waktu dua minggu, lalu kita bicara soal tambahan tenaga, dari mana lagi kita mau tambahan tenaga?" tukas Menaldi mempertanyakan.
Bagaimana respons pemerintah?
Merespons risiko kematian tersebut, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan bakal memastikan perlindungan bagi tenaga kesehatan. Ia menyebut setidaknya ada empat strategi untuk melindungi nakes di tengah penanganan lonjakan kasus. "Memastikan APD dan protokol pencegahan infeksi di fasyankes dijalankan, memberikan vaksinasi dosis ke-3 pada nakes, menyiapkan akomodasi bagi nakes, dan keempat adanya insentif nakes," kata Nadia.
Sementara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebut pemerintah masih berupaya mengerem laju penularan kasus salah satunya melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pemerintah Indonesia juga tengah menyiapkan 12 RS Lapangan Covid-19 di Jawa Bali untuk kapasitas sekitar 2.000an tempat tidur. "Sambil bangun, sambil berjalan. Yang RS Darurat di Jawa-Bali sekitar 20an yang diset-up untuk 9.000 pasien," tutur Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19, Alexander Ginting.
Selain itu menurut Alex, pemerintah juga mengurangi perburukan kondisi melalui pemantauan pasien isolasi mandiri melalui telemedicine. Meski ia mengakui program ini masih terhambat banyaknya pasien yang tak familier menggunakan teknologi telemedicine. "Banyak yang isolasi mandiri ini tidak terjangkau di samping dia tidak mahir bertelemedicine, juga banyak juga yang menyembunyikan diri karena takut distigma," tutur dia.
Yang menjadi problem saat ini, sambung Alex, semakin banyak pasien Covid-19 bergejala ringan yang memburuk kondisinya sehingga banyak yang membutuhkan penanganan rumah sakit. Sedangkan kapasitas ruang perawatan dan nakes kerapkali tak mencukupi. "Nah ini kuncinya di isolasi mandiri. Isolasi mandiri ini kan rata-rata ringan, ini yang harus dicegah agar jangan jadi sedang, ini yang dicegah supaya bisa perbaikan dalam dua minggu. Kalau tidak, akan tumpah ruah di rumah sakit," jelas Alex lagi.
Adapun pemetaan kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan di masing-masing daerah diklaim Alex sudah tersedia. Hanya saja, menurut Alex, tidak semua kepala dinas memiliki kemampuan membaca dan menganalisis data tersebut hingga menghasilkan kebijakan penanganan yang tepat. "Sebenarnya itu soal leadership bagaimana membaca statistik. Misalnya saya kepala dinas Depok, lalu saya lihat di Cinere angka bergerak naik, lalu di Cimanggis naik, maka saya akan tahu sejumlah dokter ini akan saya geser-geser," kata Alex mengilustrasikan.
"Itu dari SDM. Lalu lihat lagi dari segi logistiknya, bagaimana. Begitulah tugasnya kepala dinas, melakukan orkestrasi" sambung dia.
Untuk penambahan tenaga kesehatan sendiri, Alex menuturkan, pemerintah tengah mengumpulkan relawan tenaga kesehatan dari dokter muda dan dari swasta untuk menambah sumber daya manusia. Sembari menunggu maka untuk sementara konversi dokter juga diterapkan di seluruh rumah sakit. "Misalnya dia dokter tidak mengurus Covid-19, tapi kan pernah jadi dokter umum, maka rumah sakit memberikan penugasan ke dia, untuk menerima pasien di UGD. Tentu akan didampingi senior-seniornya yang pernah menangani Covid-19," terang Alex.
"Kalau krisis nakes, enggak lah. Yang terjadi itu overload, over-capacity di ruang IGD, ruang isolasi dan ICU. Tapi low capacity di daerah poliklinik penyakit dalam, stroke, anak. Sehingga dokter-dokter lain digeser ke ICU dan lainnya untuk visit dan pendampingan," imbuh dia lagi.
Sebelumnya melalui konferensi pers pada Senin (12/07), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan perlu lebih banyak dokter dan perawat seiring penambahan tempat tidur rumah sakit Covid-19 menghadapi lonjakan kasus. Ia mengidentifikasi ada kebutuhan sedikitnya 16.000-20.000 perawat dan sekitar 3.000 dokter.
Menkes Budi pun menjamin pemerintah memperhatikan perlindungan bagi para tenaga kesehatan. Salah satunya kata dia, dengan menyuntikkan dosis ketiga vaksinasi menggunakan vaksin moderna. "Bagi mereka yang akan dimulai secepat-cepatnya untuk melindungi mereka sebagai salah satu garda terdepan kita yang harus kita lindungi," tutur Budi melalui siaran pers virtual melalui YouTube Sekretariat Presien.
Di lapangan, dokter Erlang Samoedra yang sehari-hari bertugas di RSUP Persahabatan saban hari masih harus berjibaku dengan ratusan pasien. Ia sudah mendapatkan vaksinasi lengkap dua dosis dan berharap segera mendapatkan booster. Sekalipun hampir 17 bulan bergulat dengan wabah, kekhawatiran terbesar di benaknya kini adalah ketakutan akan tertular virus corona. "Makanya, setiap dua minggu sekali saya swab, untuk cek bahwa saya enggak terpapar," ucap dokter yang tahun ini berusia 47 tersebut.
Mendengar dan menyaksikan kesakitan hingga kematian pasien Covid-19 mau tak mau mengingatkannya pada kematian. "Yang pasti takut mati juga," imbuh dia.
Erlang masih berharap pemerintah tergerak menetapkan pembatasan ketat guna mengerem aliran kasus Covid-19 yang terus membanjiri fasilitas pelayanan kesehatan. "Secepatnya diturunkan lah [penambahan kasus Covid-19], dengan cara ya, mau enggak mau dilakukan pembatasan sosial massal. Kalau enggak, [lonjakan pasien] ini akan berlanjut terus," ucap dia berharap. (*)
Tags : Angka Infeksi Covid-19 Naik Tajam, Fungsi Fasilitas Kesehatan Kolaps, Nakes Kelelahan,