JAKARTA - Angka Kemiskinan ekstrem meningkat warga Kampung Apung Jakarta Utara mengaku 'sudah bertahun-tahun tidak menerima bantuan sosial'.
Sejumlah warga di Kampung Apung, Muara Baru Jakarta Utara mengaku sudah bertahun-tahun tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah daerah. Padahal, mereka tergolong miskin ekstrem.
Menurut data terbaru BPS, angka kemiskinan ekstrem di DKI Jakarta mencapai 0,89% pada Maret 2022.
Angka tersebut naik 0,29% jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun sebelumnya, yakni 0,6%.
Kepala Bagian Umum Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Suryana mengatakan indikator seseorang dikategorikan miskin ekstrem adalah jika pendapatan per hari mereka berada di bawah Rp11.633 rupiah.
Menurut Suryana, kemiskinan ekstrem di Jakarta meningkat akibat daya beli masyarakat kelas bawah masih belum sepenuhnya pulih dari pandemi.
“Karena episentrum Covid kan ada di ibukota ya. Kalau flashback ke kemiskinan Maret 2020, itu pertama kalinya DKI Jakarta mengalami kenaikan kemiskinan setelah mulai Covid-19 itu dirasakan,” ujar Suryana, Selasa (31/01).
Dinas Sosial Provinsi Jakarta Utara mengatakan telah berupaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin dengan menggelontorkan sejumlah program bantuan sosial berbasis kartu, di antaranya Kartu Anak Jakarta (KAJ), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), dan program anak terdampak Covid-19.
Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto mengatakan, bantuan yang ada di DKI Jakarta banyak dalam mengatasi kemiskinan ekstrem.
"Dari jumlah bantuan yang ada, logikanya harus sudah enggak ada penduduk miskin ekstrem," ujar Tavip kepada media, 30 Januari 2023.
Akan tetapi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) sekaligus pakar spesialis bidang kemiskinan, Teguh Dartanto, menilai program bantuan sosial sebenarnya kurang efektif dalam menangani kemiskinan ekstrem di Indonesia.
“Katanya 'gantian-gantian', mana kapan gantiannya?”
Menelusuri jalan sempit menuju permukiman penduduk yang dijuluki Kampung Apung, Anda dapat melihat sederet rumah-rumah kayu yang berdempetan satu sama lain.
Sama seperti namanya, rumah-rumah tersebut berdiri di atas permukaan laut dengan bambu-bambu tipis dan dikelilingi oleh sampah yang berlumuran genangan air hitam.
Sebagian besar warga yang tinggal di kampung tersebut berprofesi nelayan. Mereka memilih untuk tinggal di rumah-rumah rapuh dan sempit di pesisir pelabuhan Muara Baru.
Namun kini, banyak di antara warga kampung tersebut menganggur, karena kehilangan sumber pencaharian. Cuaca buruk selama musim hujan angin adalah penyebabnya,.
Sejak kesulitan menangkap ikan, Padillah (58) dan suaminya mengumpulkan sampah plastik di sekitar pelabuhan Muara Baru, Ancol dan sekitarnya.
Hal tersebut mereka lakukan demi bertahan hidup dan menyekolahkan keempat cucu mereka.
“Kadang kalau dapat bisa Rp20.000 atau Rp30.000, tapi kadang enggak sama sekali. Dikit-dikit. Kan kalau angin hujan gini, sampah juga lari,“ ujarnya sambil menyetrika seragam sekolah cucu-cucunya.
Di samping Padillah, ada satu panci berisi sayur asem dan ikan bakar yang ia siapkan untuk cucu-cucunya makan sepulang sekolah.
Dari uang sebesar itu, ia mengaku tidak gampang untuk membeli bahan makanan - terutama beras, karena ada harga-harganya naik.
“Kalau buat makan ada, tinggal ngatur aja,“ kata Padillah.
“Ibu juga terus terang duitnya buat keponakan saya, buat cucu saya. Makan sehari-hari.“
Dengan kesulitan ekonomi yang ia hadapi, Padillah mengaku kecewa karena belum pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah sejak pandemi berakhir.
Saat itu, ia hanya pernah menerima bantuan tunai sesekali berupa Rp300.000 dari pemerintah, berupa Bantuan Sosial Tunai (BST) pandemi Covid-19.
Tetapi sejak itu, ia mengaku tidak pernah menerima bantuan dana lagi.
“Ingin dapat Bansos. Yang muda-muda mah pada dapet, yang tadinya dapet BLT (Bantuan Langsung Tunai) tuh, terus dapet, apa aja dapet.
“Tapi kalau ibu ya enggak, enggak sama sekali dikasih. Katanya mah 'gantian-gantian', mana kapan gantiannya?,“ ujar ibu itu sambil mengusap-usap air mata.
Tiba-tiba, ibu yang kesulitan berjalan itu merangkak menuju lemari kayunya untuk mengambil sesuatu. Ia kembali dengan membawa KTP-nya yang berdomisili Jakarta Utara.
“Lansia juga enggak dapet, bansos juga enggak dapet. Enggak dapet apa-apa sama sekali, nol. BLT juga enggak dapet,“ kata Padillah sambil memegang erat kartu identitasnya.
Selain Padillah, Elik dan suaminya, Aripin, juga mengaku sudah lebih dari tiga tahun tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah daerah.
Padahal, sekarang mereka sangat membutuhkan uang untuk membangun kembali rumah apung mereka yang roboh terbawa arus Banjir Rob.
”Untuk membangun rumah, perlu sekali saya dana ini. Buat bangun rumah, dan hidupin anak-anak. Ngumpulin sedikit-sedikit, kerja serabutan.
"Bongkar-bongkar ikan dari jaring, apa aja yang ada,” ujar Elik yang duduk di atas sebatang bambu sambil melihat suaminya berusaha membangun kembali rumah mereka.
Selain membangun rumah, mereka juga kesulitan membiayai uang sekolah kedua anak mereka yang masih duduk di bangku SD. Sementara yang paling kecil masih berumur dua tahun.
”Ya kalau sehari kadang Rp50.000, kasar-kasarnya Rp70.000. Ya kerja aja, serabutan. Bantu-bantu orang.
"Tapi kadang bisa enggak dapet sama sekali. Kadang bisa sampai berbulan-bulan pengangguran,” ujar Elik.
Aripin mengatakan dia dan istrinya merasa bingung karena tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Sedangkan tetangga-tetangga mereka banyak yang menerima tunjangan tersebut.
”Sekali waktu itu. Oh udah lama itu. Enggak ada lagi, tiga tahunan atau empat tahunan, udah lama,” kata Aripin yang sudah berhenti berlayar sejak cuaca buruk membuat kondisi berlayar terlalu berbahaya.
Mereka sudah mencoba untuk bertanya ke kantor kelurahan, namun mereka diminta bertanya langsung ke Pemprov DKI Jakarta.
”Ke orang DKI-nya, begitu katanya. Saya tanya di sini kan enggak bisa ditanyain. Sedangkan pusat DKI kan jauh, mau ke sana pakai apa?“ kata Aripin.
Menurut Elik, bantuan sosial hanya bisa membantu mereka bertahan selama empat hari. Soalnya, ongkos sekolah yang terus bergulir dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari semakin meningkat.
”Kalau kayak kita orang susah ini, yang rumahnya begini malah pada enggak dapet. Yang lain kan penghasilannya tentu, pada dapet,” ujar Elik.
Kepala Bagian Umum Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Suryana mengatakan tingkat kemiskinan ekstrem di Jakarta naik sebesar 0,29% dalam periode 2021 sampai 2022 menjadi 0,89%. Sementara pada 2021 angka kemiskinan mencapai 0,6%.
Ia mengatakan kemiskinan ekstrem di Jakarta meningkat akibat daya beli masyarakat kelas bawah yang masih belum sepenuhnya pulih dari pandemi.
“Intinya sih daya beli masyarakat pada kondisi itu, di kelompok bawah ya, di kelompok persentil satu itu belum meningkat daya belinya sehingga masih berada di posisi kemiskinan ekstrem,” kata Suryana.
Suryana menjelaskan bahwa indikator seseorang dikategorikan miskin ekstrem adalah jika pendapatan per hari mereka berada di bawah Rp11.633 rupiah. Artinya dalam sebulan, pengeluaran mereka hanya sekitar Rp350.000.
Berdasarkan data BPS, sebanyak 95.668 penduduk DKI Jakarta hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem.
Bahkan, persentase kemiskinan ekstrem paling banyak ditemukan di Jakarta Utara. Sebanyak 35.800 penduduk berdomisili Jakarta Utara masuk kategori miskin ekstrem.
“Banyaknya di Jakarta Utara tuh perbandingannya relatif dibandingkan daerah lain paling banyak ditemukan di Jakarta Utara,” katanya.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menyebut kemiskinan ekstrem atau keraknya kemiskinan adalah masalah yang sifatnya sangat struktural. Sehingga tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan bansos saja.
“Untuk kemiskinan ekstrem harus ada kebijakan yang sifatnya jangka panjang seperti PKH, Pendidikan dan Kesehatan yang dampaknya jangka panjang,“ ujar Teguh.
Dalam hasil riset yang ia lakukan pada 2013, data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua tahun sebanyak 6,6% dari penduduk Indonesia yang sebelumnya tidak tergolong miskin, jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
“Kemiskinan sifatnya bukan statis tetapi dinamis, orang dengan mudah naik dan turun kemiskinan,“ tambah Teguh, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEB UI.
Terkait mengapa kemiskinan ekstrem paling banyak ditemukan di wilayah Jakarta Utara, Kepala Suku Dinas Sosial Provinsi Jakarta Utara, Rosihan Arsyad mengatakan memang isu kemiskinan ekstrem tinggi di daerah tersebut sudah ada dari dulu dan sampai sekarang pun terus berlanjut.
“Iya memang dari dulu tuh, pernah dirapatkan di tingkat provinsi. Karena penanganan kemiskinan ekstrem itu tergantung,“ ujar Rosihan.
“Dinas Sosial hanya salah satu unit yang membantu untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Itu semua banyak faktor, kita hanya salah satu.“
Penggelontoran Bansos kurang efektif
Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto mengatakan, bantuan yang ada di DKI Jakarta banyak dalam mengatasi kemiskinan ekstrem.
"Dari jumlah bantuan yang ada, logikanya harus sudah enggak ada penduduk miskin ekstrem," ujar Tavip kepada media, 30 Januari 2023.
Akan tetapi, menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teguh Dartanto, program bantuan sosial (Bansos) yang digelontorkan pemerintah kurang efektif dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem.
Sebab, tunjangan tersebut hanya bersifat tunjangan sementara, bukan jangka panjang.
“Menurut saya Bansos efektif melindungi kelompok miskin dan hampir miskin agar tidak jatuh kedalam kemiskinan, tetapi memang Bansos belum efektif untuk menurunkan kemiskinan ekstrem,“ ujar Teguh.
Selain itu, kemiskinan di Jakarta sudah menjadi isu yang sangat struktural, sehingga bansos dalam hal ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem.
Ada pula permasalahan yang ia sebut sebagai exclusion error, yakni ketika orang yang seharusnya berhak mendapatkan bantuan sosial tidak mendapatkannya. Sehingga penyebarannya tidak selalu merata.
Meskipun, sambungnya, program tersebut sudah ada perbaikan dengan dilakukannya update secara berkala.
“Selain itu, masuk dan keluar kemiskinan itu sangat cepat, sehingga warga yang belum mendapatkan bansos bisa jadi sebelumnya tidak masuk dalam kategori miskin,“ tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menyatakan anggaran sebesar Rp500 triliun untuk pengentasan kemiskinan di "sejumlah instansi tertentu" tersedot untuk "studi banding dan seminar di hotel".
Sejumlah kalangan mengatakan "pemborosan anggaran" ini merupakan problem akut di birokrasi kementerian, lembaga tertentu, dan pemerintah daerah.
Alasannya, pegawai negeri sipil (PNS) disebut terbiasa mencari “plus-plusnya”.
Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, Rosihan Arsyad, menjelaskan mengapa masih ada warga yang belum mendapatkan Bansos, meski memenuhi syarat yang diperlukan: memiliki pendapatan di bawah rata-rata dan memiliki KTP berdomisili Jakarta.
Pasalnya, sang penduduk perlu terlebih dahulu mendaftarkan diri dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial sehingga dapat menerima Bansos dari pemerintah.
“Itu salah satu indikatornya, barangkali dia itu belum masuk di DTKS, sehingga belum bisa mendapatkan bantuan. Karena basis data untuk mendapatkan bantuan, mau KAJ, KLJ maupun dari Kemensos adalah dari DTKS,“ katanya.
Rosihan mengatakan bahwa empat kali dalam satu tahun, pusat data dan informasi dinas sosial akan membuka pendaftaran untuk warga mendaftarkan diri ke dalam DTKS. Hal ini merupakan salah satu upaya mereka untuk berupaya mengurangi angka kemiskinan.
“Nanti daftarnya ada sistemnya online, kemudian nanti di setiap kelurahan ada namanya petugas pendamping sosial. Itu yang akan membantu.
”Datang saja ke kelurahan, bilang 'pak, saya kok belum mendapat bantuan' nanti dijelasin sama pendamping sosial, di Kelurahan atau di Pelayanan Sosial Jakarta Utara di lantai dasar. Nanti kita jelasin dari A sampai Z.”
Dekan FEB UI dengan spesialisasi dalam bidang kemiskinan, Teguh Dartanto mengatakan bahwa perlu dilakukan evaluasi mendalam mencari penyebab kemiskinan ekstrem atau kemiskinan kronis yang berbeda dengan kemiskinan pada umumnya.
“Evaluasi penyebab harus berbeda di masing-masing daerah atau provinsi, desa dan kota,” kata Teguh.
Selain itu, Teguh menyatakan beberapa studi menunjukkan bahwa solusi untuk isu kemiskinan ekstrem adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam negara.
Hal ini dapat dilakukan dari aspek pendidikan dan kesehatan. Solusi tersebut, sambungnya, dapat membuahkan hasil yang bersifat jangka panjang.
”Perlu ada pendampingan berupa monitoring dan evaluasi berkala (terhadap) kelompok miskin ekstrem sehingga kita bisa melihat progressnya.”
Sementara, Padillah, yang tinggal di sebuah rumah apung berpagar hijau karat di paling ujung permukiman penduduk Muara Baru, masih menunggu gilirannya untuk mendapatkan Bansos yang dijanjikan pemerintah.
“Pengin tuh kayak orang-orang yang sampai mendapat enam karung. Orang-orang itu,” kata Padillah yang menatap pilu ke arah pintu keluar.
“Sedih sekali, pengin kayak orang-orang. Ditulis mah ditulis (namanya), dicatat mah dicatat. Tapi enggak pernah ada panggilan”. (*)
Tags : kemiskinan, warga miskin, miskin ekstrem, angka kemiskinan ekstrem meningkat, kemiskinan di jakarta, warga tidak menerima bansos, bantuan sosial, ekonomi, masyarakat, kemiskinan di indonesia,