Kesehatan   2023/11/30 18:50 WIB

Pelepasan Teknologi Nyamuk Wolbachia untuk Membunuh DBD, 'Tapi Masih Menuai Pro Kontra Ditengah Masyarakat'

Pelepasan Teknologi Nyamuk Wolbachia untuk Membunuh DBD, 'Tapi Masih Menuai Pro Kontra Ditengah Masyarakat'
Nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan demam berdarah. 

KESEHATAN - Pelepasan nyamuk Wolbachia yang ditujukan untuk menangani kasus Demam Berdarah (DBD) di Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng, Bali, ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Wayan Widia, mengatakan penundaan itu diputuskan lantaran terjadi pro dan kontra di masyarakat.

Bahkan sebuah petisi yang menolak pelepasan nyamuk Wolbachia dibuat secara daring pada awal November dan sejauh ini mendapatkan dukungan 1.650 orang.

Direktur Pusat Kedokteran Tropis, dr. Riris Andono Ahmad, yang juga salah satu peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, berkata penolakan masyarakat terhadap teknologi baru Wolbachia bisa dipahami.

Akan tetapi, sambungnya, berdasarkan penelitian dan penilaian 20 pakar ternama di Indonesia menyatakan risiko dari teknologi Wolbachia dalam 32 tahun ke depan relatif bisa diabaikan. 

Penyebaran 200 juta telur nyamuk Wolbachia di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng rencananya dilaksanakan pada 13 November lalu.

Program uji coba yang direstui Kementerian Kesehatan ini bertujuan untuk menekan angka penularan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes aegypti.

Akan tetapi, sebagian masyarakat Bali menolak.

Seorang warga di Denpasar Barat, Hartini Hidayat, minta supaya ada pengujian terlebih dahulu sebelum dilepas di masyarakat.

Sebab dari video yang beredar di media sosial seperti YouTube dan TikTok menyebutkan dampak jangka panjang dari penyebaran nyamuk Wolbachia adalah munculnya pandemi.

"Yang saya dengar, kita akan mengalami lagi pandemi dengan kondisi lebih besar dari Covid-19 kemarin," ucap Hartini seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (22/11). 

"Jadi kalau menurut saya harus diuji coba dulu. Kalau memang sudah yakin bisa melawan DBD, baru [nyamuk Wolbachia] disebar. Kalau belum yakin, jangan. Takutnya malah penyakit lain tumbuh dan membahayakan keselamatan manusia," sambungnya.

Namun sikap berbeda ditunjukkan Diana Suciawati, seorang ibu dengan dua anak perempuan yang tinggal di Denpasar Selatan.

Ia setuju dengan program ini dilanjutkan di Bali, apalagi sudah ada hasilnya ketika dilaksanakan di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

"Kalau tidak ada efek buruknya patut dicoba apalagi kalau sudah case study yang sama di Indonesia. Daripada tidak dicoba apalagi ini untuk melindungi anak-anak dan sudah [masuk] musim hujan," tutur Diana.

Sementara I Wayan Puspa Negara, selaku Ketua Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali, berkata video viral di TikTok dan tersebar di grup WhatsApp menimbulkan kebingungan dan keresahan.

"Kami sebagai destinasi pariwisata tidak boleh ada ketakutan [seperti ini]," ucapnya. 

Video yang dimaksud salah satunya berasal dari rekaman diskusi Prof Richard Claproth dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Video itu diunggah di YouTube empat pekan lalu dan telah disaksikan setidaknya 75.000 kali.

Di situ, mereka mempertanyakan urgensi Indonesia terlibat dalam program uji coba Wolbachia lantaran kasus DBD dalam 10 tahun terakhir diklaim menurun dan menuding ada agenda terselubung di balik penyebaran nyamuk Wolbachia.

Kemudian tuduhan bahwa nyamuk Wolbachia bisa mengakibatkan penyakit Japanese Encephalitis, berdampak pada ekosistem, atau bisa memicu pandemi.

Direktur Pusat Kedokteran Tropis yang juga salah satu peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, dr. Riris Andono Ahmad, mengatakan kasus DBD pertama kali ditemukan pada 1968 di Surabaya dan setelahnya menyebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Dari tahun ke tahun, kata dia, kasus DBD nyaris tak pernah turun.

Merujuk data Kementerian Kesehatan sejak 2012-2015, jumlah kasus DBD naik dari 90.245 hingga 129.500 kasus.

Kemudian pada 2016 melonjak drastis menjadi 204.171 kasus. 

Pada 2017-2018 turun di angka 65.602 kasus dan pada 2019 kembali naik hingga 138.127 kasus.

Lalu di tahun 2020 jumlah kasus DBD turun di angka 108.303 dan setahun setelahnya kembali turun menjadi 73.518.

Terakhir pada tahun 2022 kasus DBD tercatat sebanyak 143.184.

Dia menjelaskan, selama ini pengendalian penyakit DBD mengandalkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Akan tetapi upaya itu, klaimnya, tak mempan karena kasus DBD tetap meningkat.

Kegiatan PSN yang diketahui publik bisa disebut 3M: menguras dan menutup tempat penampungan air, serta mendaur ulang berbagai barang yang berpotensi jadi tempat berkembang biak aedes aegypti.

Tetapi tak cuma itu, ada prasayarat lain yang harus dilakukan.

"PSN bisa berhasil dengan beberapa syarat, karena nyamuk aedes aegypti luar biasa pintar hidup dekat manusia. Sehingga kalau benar-benar ingin menurunkan populasi nyamuk harus melakukan PSN secara kontinu, minimal satu minggu sekali, meluas, sampai akhir zaman," ucap dr Riris Andono Ahmad kepada BBC News Indonesia. 

Hal lain yang jadi persoalan adalah perubahan iklim membuat habitat nyamuk aedes aegypti meluas.

"Dengan wilayah yang dingin jadi menghangat, habitat aedes aegypti semakin meluas. Itu menyebabkan risiko penularan DBD makin besar. Ini yang dihadapi di Indonesia," sambungnya.

Itu mengapa dia menilai kebijakan yang dipunya pemerintah untuk menekan penyakit DBD tidak cukup ampuh. Butuh strategi pendamping untuk mengendalikan kasusnya, yakni menggunakan teknologi Wolbachia.

Dilakukan dengan cara melepas nyamuk berbakteri Wolbachia.

Pelepasan nyamuk berbakteri Wolbachia dilakukan dengan cara meletakkan telur nyamuk tersebut di lingkungan tempat tinggal masyarakat.

Telur nyamuk berbakteri Wolbachia akan menetas menjadi nyamuk dewasa dan berkembang biak dengan nyamuk aedes aegypti liar.

Wolbachia bisa menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Hal ini menyebabkan nyamuk berbakteri Wolbachia tidak dapat menularkan virus dengue ke manusia.

Dokter Riris Andono Ahmad mengatakan sebelumnya teknologi baru ini diterapkan sejumlah ahli dari Kemendikbud-Ristek dan Kemenkes membentuk sebuah tim independen pada 2016.

Para ahli tersebut terdiri dari pakar virologi, lingkungan, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi untuk dimintai pendapat merujuk pada keilmuan yang dimiliki.

"Jadi berdasarkan pengalaman mereka apa yang salah dari teknologi ini dan seberapa besar dampaknya? Itu kuncinya."

Selama enam bulan bekerja, kesimpulan mereka adalah risiko dari teknologi Wolbachia dalam 32 tahun ke depan relatif bisa diabaikan.

Dan ketika diuji coba pada 2017 di Yogyakarta, katanya, terbukti berhasil menurunkan kasus DBD sebesar 77% dan angka rawat inap karena DBD sebesar 86%.

Kemudian pada 2021 panel ahli dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan penggunaan teknologi ini.

"Jadi menurut saya teknologi ini aman karena evidence-nya mengatakan begitu sehingga risikonya bisa kita abaikan."

Salah satu yang dikhawatirkan dari penyebaran nyamuk Wolbachia yakni bisa menimbulkan penyakit lain seperti penyakit radang otak Japanese Encephalitis.

Dokter Riris Andono Ahmad menjelaskan nyamuk aedes aegypti menularkan virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD, cikungunya, dan yellow fever.

Adapun penyakit Japanese Encephalitis berasal dari nyamuk culex.

"Kebetulan di Bali memang daerah endemik Japanese Encephalitis karena reservoir dari virus JE adalah babi," ungkapnya.

"Di Bali populasi babi relatif tinggi. Pada hewan babi, virus Japanese Encephalitis tidak menyebabkan gangguan apapun, tapi ketika ada banyak populasi babi, virusnya bersikulasi ya otomatis ada penularan virus Japanese Encephalitis di Bali."

"Jadi sumbernya berbeda."

Yang terjadi justru, ungkapnya, penggunaan fogging atau pengasapan dengan bahan insektisida -yang mencemari lingkungan- tidak lagi diperlukan setelah adanya nyamuk Wolbachia.

Di Yogyakarta saat ini kegiatan fogging nyamuk turun 80%.

Merujuk pada penelitian sejak 2011, bakteri Wolbachia hanya bisa bertahan hidup pada sel serangga.

Ketika uji coba nyamuk Wolbachia dilakukan di Yogyakarta, tim peneliti mengamati dampak pada manusia.

Kata Dokter Riris Andono Ahmad, manusia yang terpapar gigutan nyamuk Wolbachia tidak menunjukkan respons kekebalan terhadap bakteri Wolbachia.

"Karena bakteri Wolbachia hanya bisa hidup di dalam sel serangga, begitu keluar dari sel akan mati."

"Jadi kalau nyamuk Wolbachia menggigit manusia, yang akan masuk ke sel manusia cairan ludahnya saja dan cairan ludah bukan sel. Jadi ya tidak mungkin masuk ke tubuh manusia, itu secara teoritis."

Untuk memastikan, tim melakukan penelitian rutin di Sleman, Yogyakarta, dengan cara mengambil sampel darah warga untuk mengecek antibodi mereka.

Hasilnya, tidak ada antibodi Wolbachia.

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memahami kekahwatiran masyarakat yang menolak pelepasan nyamuk Wolbachia.

Pengalaman serupa, kata dia, juga terjadi di Bantul dan Sleman saat pertama kali dilakukan.

Menurutnya, pemerintah daerah dan para ahli di sana mesti memberikan penjelasan yang utuh ke masyarakat tentang program ini.

Agar tidak ada dugaan pemerintah menyembunyikan sesuatu.

"Sebab setiap teknologi bari akan menimbulkan kekhawatiran, teknologi ini kalau dipikir counter intuitive [bertentangan secara intuitif]. Umumnya kita membunuh nyamuk, tapi malah menyebarkan..."

"Sosialisasi yang baik akan menjawab keraguan masyarakat."

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Wayan Widia, mengaku tidak tahu sampai kapan penundaan program ini dilakukan.

Yang pasti, pihaknya akan melakukan sosialisasi kembali.

Dia juga berkata Dinkes Provinsi Bali sudah memperoleh rekomendasi dari Kementerian Kesehatan mengenai program Wolbachia.

Kendati pihaknya juga tidak ingin melakukan kegiatan apabila situasi tidak kondusif.

"Karena adanya pro dan kontra, kita kan tidak ingin juga terjadi keributan di bawah, kita mengharapkan pelaksanaan kegiatan ini bisa kondusif dan berjalan aman."

Terkait video viral yang meresahkan masyarakat, Wayan Widia berkomentar:

"Kita tidak bisa juga menyalahkan video itu. Kita perlu juga melakukan kajian apakah benar seperti itu. Nah untuk itu mungkin nanti para ahlinya yang bisa menjawab, yang menggagas daripada kegiatan ini."

Di Bali, program pelepasan nyamuk Wolbachia ditangani Yayasan Save The Children.

Direktur Humanitarian dan Resiliensi Save the Children Indonesia, Fadli Usman, mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemda, lembaga kemasyarakatan dan budaya, serta pemangku kepentingan lainnya terkait dengan keberlangsungan program penanganan DBD ini.

Dengan begitu, ada partisipasi masyarakat secara sukarela untuk mendukung Bali Bebas DBD. (*) 

Tags : Teknologi Nyamuk Wolbachia, Pelepasan Nyamuk Wolbachia Ditentang, Teknologi Nyamuk Wolbachia untuk Tangani DBD, Teknologi Nyamuk Wolbachia Menuai Pro Kontra Ditengah Masyarakat, Penelitian medis, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,