"Sebuah studi tepat waktu, transparan, dipimpin oleh pakar dan berbasis sains diharapkan para pemimpin G7 dari para ilmuwan untuk menyelidiki asal-usul virus yang menyebabkan Covid-19"
ni bukan pertama kalinya para pemimpin politik yang kuat menyatakan dukungan pada penyelidikan asal-usul virus yang menyebabkan pandemi saat ini. Presiden AS Joe Biden baru-baru ini memerintahkan pejabat intelijennya untuk melipatgandakan upaya dan memberikan laporan dalam 90 hari, termasuk melihat secara mendetail kemungkinan bahwa virus corona berasal dari laboratorium China.
Hipotesis kebocoran laboratorium yang kontroversial, yang pernah ditolak dan disebut oleh banyak orang sebagai teori konspirasi, baru-baru ini muncul kembali, memperumit hubungan yang sudah sulit antara China dan Barat. China telah berulang kali menolak teori itu dan menyebutnya "kampanye kotor" dan bentuk "pengalihan kesalahan" dari negara-negara Barat.
Satu setengah tahun sejak Covid-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan, pertanyaan bagaimana virus itu muncul masih menjadi misteri. Apa sains di balik pencarian ini - dan mengapa hal ini harus melampaui kepentingan politik dan asal-usul virus harus ditemukan?. Virus SARS-CoV-2 pertama kali terdeteksi di China pada akhir 2019 dan pada Juni 2021, telah menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan lebih dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi dan 3,9 juta kematian.
Beberapa kasus awal terkait dengan pasar basah di Kota Wuhan, tempat klaster pertama infeksi Covid-19 tercatat. Selama beberapa bulan terakhir, para ilmuwan telah mencapai konsensus luas bahwa virus menyebar sebagai akibat dari "zoonotic spillover" atau "virus yang melompat" dari hewan yang terinfeksi ke manusia, sebelum menjadi sangat menular dari manusia ke manusia.
Namun, teori lain yakin bahwa virus tersebut mungkin lolos dari fasilitas riset biologi utama, yang terletak relatif dekat dengan pasar, yakni Institut Virologi Wuhan (WIV). Di tempat itu, para ilmuwan sudah mempelajari virus corona pada kelelawar selama lebih dari satu dekade. Pada awal pandemi, klaim kontroversial ini dipromosikan oleh Presiden AS, saat itu adalah Donald Trump.
Beberapa melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa virus itu bisa saja buatan manusia untuk digunakan sebagai senjata biologis. Penelitian sejak saat itu memberikan bukti yang menentang gagasan virus yang direkayasa. "Teori-teori tentang asal-usul SARS-CoV2 buatan manusia telah didiskreditkan seluruhnya", tulis sekelompok ilmuwan dalam American Journal of Tropical Medicine and Hygiene dirilis BBC.
Virus tidak mengandung "sidik jari genetik atau urutan genetik yang 'direkayasa' dari virus yang sudah ada sebelumnya", kata mereka. Pejabat penyakit menular AS Dr Anthony Fauci juga baru-baru ini mendiskreditkan gagasan itu, dengan mengatakan bahwa "orang China sengaja merekayasa sesuatu sehingga mereka bisa bunuh diri... Saya pikir itu agak keterlaluan". Namun pandangan bahwa virus mungkin secara tidak sengaja menyebar sebagai akibat dari insiden laboratorium yang dirahasiakan, baru-baru ini kembali menimbulkan daya tarik.
Pencarian asal usul
Beberapa ilmuwan mendukung gagasan untuk melihat kedua teori yang saling bersaing - teori kebocoran laboratorium dari virus yang awalnya dikumpulkan dari alam liar, melawan teori adanya lompatan virus alami (infeksi mungkin telah menyebar dari kelelawar ke manusia secara langsung atau melalui hewan perantara seperti trenggiling atau mamalia lain yang belum teridentifikasi).
Yang pertama "masih merupakan kemungkinan valid yang tidak boleh diabaikan," tulis para ilmuwan dari Austria, Jepang, Spanyol, Kanada, AS, dan Australia pada bulan Maret. Organisasi Kesehatan Dunia menerbangkan sekelompok ahli ke China awal tahun ini untuk menyelidiki asal-usul virus. Namun laporan yang mereka susun tidak menarik kesimpulan apa pun tentang dari mana Sars-CoV-2 berasal dan, bagi banyak orang, menghasilkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Pada bulan Mei, 18 ilmuwan terkemuka menulis surat di majalah Science yang mengajukan kasus ini untuk diselidiki lebih lanjut. "Kita harus menganggap serius hipotesis tentang penyebaran [virus] alami dan [kebocoran] laboratorium sampai kita memiliki data yang cukup," tulis mereka.
Mereka juga menekankan bahwa "penyelidikan yang tepat harus transparan, objektif, berdasarkan data", serta "tunduk pada pengawasan independen". Profesor Akiko Iwasaki, seorang ahli imunologi di Yale School of Medicine, adalah salah satu penulis surat tersebut. Dia bersikeras bahwa memahami asal-usul virus ini sangat penting untuk mencegah pandemi di masa depan. "Jika virus ditemukan langsung berpindah dari kelelawar ke manusia, kita perlu mengambil tindakan untuk meminimalkan kontak di masa depan dan untuk meningkatkan pengawasan infeksi virus dari manusia yang telah kontak dengan kelelawar", katanya.
Sementara itu, "jika virus secara tidak sengaja bocor dari laboratorium, kita perlu melihat lebih dekat bagaimana itu terjadi dan menerapkan langkah-langkah keamanan lebih untuk mencegah kecelakaan seperti itu."
Profesor David Robertson, seorang ahli virus di Universitas Glasgow, memiliki pandangan yang sama. "Bahkan jika institut di Wuhan terlibat, kita masih perlu tahu dari mana virus itu berasal, dari mana mereka mendapatkannya. Tetapi virus yang mereka hadapi [sebelum pandemi] tidak cukup dekat dengan SARS-Cov-2 untuk menyebutnya sebagai asal virus [yang menyebabkan pandemi]," kata Prof Robertson.
Dia menolak memperlakukan "teori kebocoran laboratorium dan asal-usul alam seolah-olah mereka setara". Meskipun kedua skenario itu mungkin, katanya, penyebab alaminya jauh lebih mungkin. Berdasarkan petunjuk ilmiah yang sejauh ini tersedia, sebagian besar ilmuwan, seperti Profesor Robertson, saat ini lebih meyakini gagasan tentang penyebab natural.
Namun, ada kelompok minoritas yang berpendapat bahwa bukti untuk mendukung teori kebocoran laboratorium lemah hanya karena belum dieksplorasi secara mendalam. Bagi orang yang percaya tentang lompatan virus, sejarah epidemiologi memberikan bukti: sebagian besar penyakit menular dimulai dengan satu "lompatan" virus - seperti yang terjadi pada influenza, HIV, Ebola, atau Mers.
Keberadaan virus corona yang mampu menginfeksi manusia pada kelelawar China telah didokumentasikan dengan baik sebelum pandemi, sebagian berkat penelitian di laboratorium Wuhan. Ahli teori kebocoran laboratorium, di sisi lain, menganggap mencurigakan bahwa wabah awal terjadi di kota yang merupakan rumah bagi beberapa laboratorium dengan sistem keamanan tinggi, yang menampung virus corona berbahaya.
Mereka mengutip laporan intelijen AS yang mengatakan bahwa tiga ilmuwan di WIV jatuh sakit pada musim gugur 2019, sebelum virus mulai menyebar - klaim yang dibantah keras oleh otoritas China. Lebih penting lagi, teori kebocoran laboratorium didasarkan pada fakta bahwa virus corona yang paling mirip dengan Sars-CoV-2 yang telah terdeteksi di alam, yang dikenal sebagai RaTG13, hanya punya 96% kesamaan genom - jadi mengapa virus yang lebih mirip masih belum ditemukan pada hewan 18 bulan kemudian, tanya mereka.
Hentikan pandemi di masa depan!
Ketika korban manusia terus meningkat, sebagian besar ilmuwan mendukung pencarian asal usul sebagai cara untuk menghentikan pandemi di masa depan agar tidak terjadi. Seperti yang ditulis oleh editor senior Scientific American Josh Fischman dalam artikel baru-baru ini, "ada lebih banyak virus penyebab penyakit di luar sana," jadi mendapatkan jawaban akan "sangat berarti karena dengan mengetahui bagaimana itu terjadi, kita akan fokus pada pencegahan situasi serupa."
Dan temuan ini tidak hanya berdampak pada dunia kedokteran dan kesehatan masyarakat. Mencari tahu asal usul apa yang dulu disebut "virus China" dapat membantu menghilangkan prasangka stereotip dan menghindari asumsi rasis. "Spekulasi bahwa ilmuwan China yang ceroboh menyebarkan virus, yang umum diutarakan pada pemerintahan Trump, telah memicu gelombang rasialisme anti-Asia yang luar biasa di AS, berkontribusi pada ratusan tindakan kekerasan," tulis Fischman.
Mungkin ada implikasi jangka panjang untuk ekonomi dan penelitian ilmiah juga. Lompatan virus jika dikonfirmasi dapat menyebabkan dibuatnya peraturan yang lebih ketat untuk pasar basah, yang populer di seluruh Asia, serta pedoman baru untuk pertanian dan eksploitasi komersial satwa liar.
Namun, jika proposisi kebocoran laboratorium terbukti benar, itu akan menantang beberapa asumsi terkait penelitian tingkat tinggi yang dilakukan hari-hari ini - khususnya, apa yang disebut eksperimen "gain-of-function", yakni patogen dibuat lebih berbahaya untuk mensimulasikan skenario wabah yang berbeda. Dan itu bisa mengarah pada peraturan baru di laboratorium biosafety, yang telah lama diminta oleh para ahli di seluruh dunia.
China juga telah mendorong teori lain, bahwa virus corona mungkin telah memasuki negara itu melalui pengiriman daging beku, sebuah teori yang didukung oleh penelitian dari salah satu ahli virologi terkemuka. Jika teori ini dikonfirmasi, tentu akan berimplikasi pada perdagangan internasional, transportasi makanan, dan perusahaan komersial lainnya.
Akankah kita mendapatkan jawaban yang pasti?
Sains mengoreksi diri sendiri: saat bukti baru muncul, teori-teori lama terus-menerus direvisi dan dibalikkan. Jadi mungkin kita tidak pernah sampai pada jawaban yang konklusif dan bahkan jika kita mengetahuinya, seringkali itu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menentukan dari mana penyakit baru berasal.
Misalnya, asal kelelawar Sars tidak dikonfirmasi hingga 2017, 15 tahun setelah wabah itu menewaskan sekitar 800 orang. Profesor Robertson melihat pengalamannya meneliti asal usul HIV, virus human immunodeficiency yang menyebabkan AIDS.
HIV menjadi perhatian global pada 1980-an dan sejak itu telah menginfeksi sekitar 76 juta orang. Terlepas dari penelitian yang tak kenal lelah, baru pada pertengahan 2000-an asal mula virus dikaitkan dengan simpanse liar. "Awalnya ada sangat sedikit sampel dari simpanse dengan HIV1, butuh waktu lama untuk mencari tahu di mana kita harus mengambil sampel," kata ahli virologi itu.
Dia berpikir pencarian mungkin sama beratnya kali ini, karena "virus corona tambahan telah ditemukan di Yunnan, China dan virus baru di Asia Tenggara". Yang paling penting, bukti yang tersedia di sekitar virus SARS-CoV-2 "tidak berubah sejak musim semi 2020," tulis jurnalis sains Adam Rogers.
"Bukti itu selalu tidak lengkap dan mungkin tidak akan pernah lengkap," tulisnya dalam artikel Wired.
"Sejarah dan sains menunjukkan penyebaran virus melalui lompatan hewan jauh lebih mungkin daripada kebocoran laboratorium. Jadi sekarang yang kita bicarakan adalah bagaimana orang membingkai pandangan mereka di sekitar bukti lemah yang kita miliki."
Inilah sebabnya mengapa pencarian ini tidak pernah bisa lepas dari politik yang telah membentuknya sejak awal, kata Rogers. "Setiap upaya yang bermaksud baik untuk memahami asal mula virus dapat diubah menjadi alat politik," menurut Prof Iwasaki.
Banyak yang setuju dengannya dan ada risiko bahwa proses tersebut akan semakin membebani hubungan AS-China selama bertahun-tahun yang akan datang. "Saya sangat menyadari konsekuensi potensial dari permainan saling menyalahkan, terutama menjadi ilmuwan perempuan dari Asia. Hal terakhir yang ingin kami lakukan adalah menimbulkan lebih banyak kebencian anti-Asia."
Lingkungan penelitian
Lalu ada pertanyaan yang penting bagi para ilmuwan di seluruh dunia: dapatkah penyelidikan tentang asal virus benar-benar menciptakan lingkungan penelitian yang lebih aman?. Bahkan jika kebocoran laboratorium terbukti dan langkah-langkah keamanan baru diterapkan, itu tidak dapat menjamin kejadian serupa tidak akan terjadi lagi, kata para ahli.
Virus dan kuman lain telah keluar dari fasilitas penelitian dan menginfeksi manusia di masa lalu - seperti flu Rusia pada tahun 1977 dan wabah Sars 2004, misalnya. Risiko tampaknya melekat pada pekerjaan laboratorium dengan keamanan tinggi, yang sangat dibutuhkan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Dan ketika pandemi terus memakan korban, beberapa orang berpendapat bahwa sementara waktu, melihat asal-usul virus mungkin penting, tapi bukan prioritas. "Sebagai seorang dokter, prioritas saya adalah menyelamatkan nyawa," kata Dr Marie-Marcelle Deschamp, yang merawat pasien Covid-19 di sebuah klinik di Port-au-Prince, Haiti, di mana kasus baru-baru ini meningkat tiga kali lipat.
Para ilmuwan memiliki tugas yang lebih mendesak, kata dokter garis depan, yang menjalankan kelompok kesehatan nirlaba Gheskio. "Kami memiliki sumber daya yang terbatas dan saya perlu menghentikan orang terinfeksi, jadi secara realistis, mengetahui asal-usul virus tidak akan segera membantu pekerjaan saya," kata Dr Deschamp.
Namun dalam jangka panjang, dia setuju bahwa memiliki lebih banyak pengetahuian soal ini dapat membantu mencegah darurat kesehatan global lainnya. "Ada kebutuhan untuk memahami apa yang terjadi dari mana semua itu berasal". (*)
Tags : Covid-19, Wabah Virus Corona, Asal Virus Corona,