Redaksi   2021/07/26 13:34 WIB

Bisakah Pandemi Ini Berakhir?

Bisakah Pandemi Ini Berakhir?

COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 180 juta orang dan menyebabkan empat juta kematian secara global setelah diumumkan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ada harapan besar vaksinasi bisa mengubah dunia menjadi normal seperti sedia kala, melonggarkan segala pembatasan yang telah membentuk kehidupan kita selama 16 bulan belakangan.

Para ilmuwan, di sisi lain, semakin yakin bahwa virus corona tidak akan hilang dalam waktu dekat. Pada Januari, sebuah jurnal ilmiah yang dipublikasikan oleh Nature bertanya kepada 100 orang imunolog, virolog, dan pakar kesehatan dari seluruh dunia apakah Sars-Cov-2 bisa dimusnahkan. Nyaris 90% dari responden menjawab 'tidak'. Ada bukti, Bahkan disebutkan, bahwa virus corona akan menjadi endemi dan akan terus bersirkulasi di sejumlah tempat di dunia.

Ini bukan hal tak biasa menyangkut perjuangan manusia melawan penyakit, namun virus corona terbukti telah membuat tantangan tersendiri bagi kita. Menghapuskan penyakit menular bukan sesuatu yang biasa dilakukan setiap hari. Sama sekali tidak. Faktanya, hingga hari ini WHO mengumumkan hanya dua penyakit yang disebarkan virus telah dihapuskan secara resmi, cacar dan sampar sapi.

Dan hanya cacar - penyakit kuno yang telah menyebar sebagai epidemi sepanjang sejarah manusia dan menyebabkan nyaris 500 juta kematian di abad ke-20 hingga penghapusannya pada 1980-an - yang mirip dengan Covid-19 dalam hal penyebaran geografis. Sejumlah keadaan unik membantu penghapusan cacar, sebagian besarnya melalui perkembangan vaksin yang memotong penyebaran virus cacar. Sayangnya, vaksin-vaksin Covid-19 yang telah dikembangkan sejauh ini belum bisa memberikan efek sama.

Seperti disebutkan David Heyman, Profesor Epidemiologi dan Penyakit Menular di London School of Health and Tropical Medicine, vaksin-vaksin saat ini dalam beberapa keadaan, tidak mencegah penularan. Mereka hanya mengubah infeksi dan membuat penyakitnya lebih tak berbahaya. Orang-orang yang sudah divaksin masih dapat menularkan virus ini ke orang lain. Paul Hunter, Professor of Medicine di University of East Anglia, Inggris, menganalisis lebih lanjut dan meyakini vaksin-vaksin yang ada sekarang tidak akan mencegah seseorang terinfeksi Covid-19 di masa depan. Dan Covid tidak akan pernah hilang.

Paul Hunter memprediksi sekaligus menilai tidak dapat dihindari, semua orang akan tertular Covid beberapa kali dalam hidup, terlepas dari apakah sudah divaksin atau belum. Sementara Profesor Heymann adalah satu dari banyak ahli yang meyakini Covid-19 akan menjadi penyakit endemik, artinya virus akan terus menyebar di sejumlah tempat dan populasi dunia untuk bertahun-tahun ke depan.

Ini bukan hal baru. Virus flu dan empat jenis virus corona lain yang menyebabkan flu biasa, misalnya, juga endemik. WHO memperkirakan sekitar 290.000 hingga 650.000 orang di seluruh dunia meninggal dunia karena penyakit yang terkait dengan flu setiap tahun. Tetapi penyakit-penyakit ini sudah bisa ditangani, dengan korban kematian yang bisa dikalkulasi.

Para ilmuwan menduga - dan para politisi berharap - Covid-19 akan serupa. Dalam skenario ini, virus Covid-19 akan terus ada tapi orang-orang telah mengembangkan semacam imunitas melalui vaksinasi dan infeksi alamiah. Dengan begitu, kasus-kasus berat karena Covid-19 akan menjadi lebih sedikit, dan tingkat pelayanan rumah sakit juga tingkat kematian tidak akan setinggi sekarang.

Professor Heymann menyebut Covid-19 sebagai "virus yang sangat tidak stabil". Permasalahannya, hingga saat ini masih belum tahu apakah Covid-19 akan seperti itu. Saat virus ini berduplikasi di dalam sel-sel manusia, virus bermutasi dari waktu ke waktu. Dan beberapa mutasi yang dihasilkannya menyebabkan kekhawatiran. Heymann juga mengungkapkan kekhawatiran akan Covid-19 bisa berkurang seiring waktu dengan cara-cara lain.

Mengutip seperti disebutkan Trudy Lang, Profesor Kesehatan Global di Oxford University, virus punya "misi" tersendiri menyebarkan diri ke sebanyak mungkin orang, mutasi virus adalah hal yang biasa. Mutasi virus-virus flu sangat umum terjadi, sampai-sampai komposisi dari vaksin flu ditinjau ulang oleh jejaring badan kesehatan setiap tahun. Ada pula berbagai penyakit lain, seperti tetanus, yang membutuhkan dosis booster sepanjang hidup kita.

Sejauh ini, virus corona telah berkembang menjadi setidaknya empat varian besar - termasuk yang paling mudah menular, varian Delta. Varian ini pertama kali teridentifikasi di India dan saat ini menjadi alasan lonjakan kasus di Eropa, Asia, dan Amerika. Data terakhir dari Layanan Kesehatan Inggris menunjukkan bahwa 82% dari seluruh pasien yang terinfeksi varian ini di antara Februari sampai Juni dan membutuhkan perawatan di rumah sakit belum divaksin atau baru divaksin satu dosis.

Layanan Kesehatan Inggris (NHS) telah merencanakan dosis ketiga atau booster vaksin sebelum musim dingin, yang akan diberikan kepada lebih dari 30 juta orang. Sementara di Amerika Serikat, Institut Kesehatan Nasional telah memulai uji klinis dengan orang-orang yang sudah divaksin penuh untuk mempelajari apakah suntikan booster akan menambah antibodi dan memperpanjang proteksi.

Kenyataannya, para ilmuwan masih belum tahu berapa lama imunitas dari vaksin Covid-19 yang ada sekarang bisa bertahan. Ini disebabkan, seluruh vaksin masih baru dan para peneliti masih menganalisis respons imun tubuh pada tipe-tipe vaksin berbeda. Profesor Heymann menilai belum ada yang tahu apakah orang-orang butuh vaksin secara terus-menerus. Menurutnya, Covid-19 adalah virus yang berbeda dengan flu, dan merupakan kesalahan membuat orang berpikir sebaliknya pada saat ini.

Beberapa negara dan wilayah telah mencoba mengetatkan aturan perjalanan saat tingkat infeksi dan layanan rumah sakit naik. Meskipun langkah ini terbukti membantu melambatkan penyebaran virus dan meringankan beban sistem kesehatan, lockdown membawa konsekuensi ekonomi, termasuk meningkatnya jumlah pengangguran. Para ahli juga melihat, karantina wilayah masih akan menjadi bagian dari skenario endemik dan tergantung pada kesuksesan program vaksinasi dalam mengurangi tingkat keterisian rumah sakit di setiap negara.

Dalam beberapa bulan terakhir karantina wilayah, baik secara lokal maupun nasional, di seluruh dunia seperti Australia, misalnya, me-lockdown tujuh kota, sementara Bangladesh memilih untuk membatasi pergerakan di seluruh negara. Namun seperti disebutkan Nicholas Thomas, profesor di bidang keamanan kesehatan di City University Hong Kong, sejauh yang memungkinkan, karantina wilayah akan menjadi bagian dari langkah penting bagi pemerintah sebuah negara dalam menghadapi penyebaran kasus.

Beberapa aturan dalam menghadapi pandemi memicu kontroversi, seperti kewajiban memakai masker. Tapi kebijakan ini sangat disarankan oleh para ilmuwan, sebagai salah satu cara menahan penyebaran Covid-19, bahkan di area dengan tingkat vaksinasi tinggi. Ahli perilaku publik Christina Gravert dari University of Copenhagen mengemukakan, ketika ada lonjakan kasus tidak bisa langsung memberlakukan karantina wilayah. Tapi sangat masuk akal untuk terus menghimbau orang-orang yang sakit untuk menjauh dari transportasi publik dan bekerja dari rumah, atau setidaknya memakai masker saat berada di sekitar orang lain.

Masker telah umum dipakai di beberapa negara Asia, tapi tidak di bagian dunia yang lain. Survei tentang kemungkinan negara-negara Barat mewajibkan penggunaan masker cukup meragukan. Amerika Serikat, contohnya, mengangkat kewajiban pemakaian masker pada April, dan tingkat pemakaiannya pada orang-orang yang sudah divaksin secara penuh menurun dari 74% ke 63%, menurut Indeks Coronavirus Axios-Ipsos.

Survei yang sama menemukan tingkat pemakaian masker juga menurun di antara orang-orang yang belum divaksin. Beberapa pihak mendukung agar pemerintah mengimbau pemakaian masker di dalam ruangan sebagai bagian dari kampanye kesehatan publik, tapi beberapa pihak lain mengatakan ini sepenuhnya terserah kepada masing-masing individu. Beberapa orang juga mengatakan pemakaian masker adalah tanda kesopanan umum, terutama di transportasi publik atau tempat-tempat ramai. (*)

Tags : Covid-19, Wabah Virus Corona, Pandemi Mendunia, Bisa kah Pandemi Berakhir,