Seni Budaya   2020/07/19 10:26:00 PM WIB

Apakah Seni Barat Benar-benar 'Terinspirasi' Budaya Timur?

Apakah Seni Barat Benar-benar 'Terinspirasi' Budaya Timur?

SENI BUDAYA – Harem, pesta, dan monyet. Pipa-pipa shisha panjang terjalin seperti ular di sekitar tangan telanjang yang pucat, dan penjaga berturban berkeliaran tanpa tujuan di dekatnya.

Jika gambaran ini familiar bagi Anda, tidak mengejutkan. Sebuah gerakan seni terkenal abad ke-19 bertanggung jawab atas penggambaran dunia Arab yang tercetak di pikiran Anda.

Gerakan seni orientalis mencapai puncaknya pada abad ke-19 saat kekuasaan Kekaisaran Ottoman melemah dan ambisi kolonial Prancis dan Inggris bangkit di dunia berbahasa Arab. Gerakan ini membawa kawasan di selatan Mediterania dan timur Yunani ke dalam imajinasi budaya Barat yang tidak pernah dilihat sebelumnya.

Perdagangan, perjalanan, dan invasi era itu didokumentasikan dalam bentuk karya artistik oleh pelukis seperti Eugène Delacroix, Jean-Lèon Gérôme, dan John Frederick Lewis.

Karya seni mereka terus dipamerkan di museum dan galeri di seluruh dunia. Tetapi seperti yang ditunjukkan oleh pameran baru di British Museum, catatan visual ini bukan karya objektif yang berusaha menggambarkan dunia Arab yang lebih luas dengan akurat. Karya visual mereka menggambarkan bahwa ‘Timur’ adalah negeri dongeng pemakan teratai, yang akan memvalidasi ide-ide eksploitatif dan fetishisasi kehidupan Timur yang dibayangkan Eropa dan AS selama berabad-abad.

“Selalu penting untuk menganggap serius budaya visual, tidak peduli bagaimana perasaan kita tentang karya seni itu,” kata Elisabeth Fraser, profesor sejarah seni di University of South Florida.

“Banyak dari apa yang kita sebut sebagai Orientalisme menyajikan gambar-gambar stereotip dan tentu saja ini perlu dilihat secara kritis. Kesadaran diri historis semacam ini seharusnya membuat kita memikirkan dengan hati-hati mengenai gambaran Islam saat ini.”

Pameran British Museum melihat bagaimana Islam dan perluasan seni Islam diperlihatkan di Barat. Nampak jelas dari lukisan-lukisan orientalis abad ke-19 bahwa ubin, guci, karpet, dan perabotan yang terinspirasi oleh desain geometris Islam dan sejarah seni sangat dikagumi kecantikannya.

Tetapi seni Islam telah memasuki Eropa jauh sebelum kolonialisme Prancis dan Inggris. Pameran dimulai pada 1500-an, ketika perdagangan dengan Kekaisaran Ottoman dan Safawi (kini Iran) mencapai puncaknya.

Foto. Lukisan berjudul “Di dalam madrasah”, karya Ludwig Deutsch. Ini adalah contoh lukisan bergaya orientalisme abad 19.

Bahkan sebelum ini, negara-negara Muslim tetangga Eropa sudah jadi objek keingintahuan. Dan dengan Palestina sebagai tempat kelahiran agama Kristen, Timur Tengah adalah titik fokus budaya, dengan pasokan utusan Kristen dan peziarah yang tak putus.

Umat Muslim Umayyah juga telah menyerbu dan berhasil menaklukkan sebagian Spanyol sejak tahun 711 M. Kini Alhambra di Granada menjadi tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi di Spanyol. Sisilia dan Malta pun ditaklukkan dari abad ke-9 hingga ke-11.

Secara teori, budaya Eropa telah lama berhubungan dengan Islam, seni Islam dan arsitektur Islam.

Pada sekitar periode yang sama, gerakan agama Kristen dari Reformasi dan Kontra-Reformasi berebut otoritas. Maka, tidak mengherankan bahwa terjemahan Al-Quran dicari oleh para teolog Eropa untuk digunakan dalam perdebatan mereka, sesuatu yang kini sedang diteliti lebih lanjut.
Pandangan pasca-kolonial

Ubin Andalusia, keramik Turki, dan karpet Persia merupakan barang mewah yang didambakan, dan mengilhami pengerjaan kerajinan tangan di seluruh Eropa, salah satunya, Venesia.

Namun yang ingin dibongkar oleh pameran ini adalah bagaimana, dalam seni orientalis, banyak dari barang-barang ini hanyalah alat peraga, penanda untuk membantu menunjukkan betapa eksotisnya figur atau bangunan pada gambar di hadapan penonton.

Istilah Orientalisme berkembang menjadi istilah publik ketika akademisi Palestina-Amerika, Edward Said menerbitkan karyanya pada tahun 1978. Karya berjudul Orientalisme itu menyatakan bahwa wacana dan perilaku Barat secara sistematis menganggap dunia timur sebagai sesuatu yang “liyan”.

Di dalamnya, Edward Said berkata: “Orang Arab, misalnya, dianggap sebagai penunggang unta, teroris, berhidung bengkok, lintah darat dengan kekayaan berlebih-lebihan yang nampak menghina peradaban yang nyata. Selalu ada asumsi yang mengintai bahwa meskipun konsumen barat adalah minoritas secara angka, mereka berhak memiliki atau membelanjakan (atau keduanya) sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka, tidak seperti orang Oriental, adalah manusia sejati.”

Seni orientalis, bagi Said, adalah bagian dari tradisi budaya stereotip dunia Arab yang ia lihat meluas hingga saat ini. Itu membuat pameran seperti di Museum British menjadi lebih menarik, menampilkan seni ini dengan pandangan kritis pasca-kolonial.

Pameran ini menganalisis bagaimana benda-benda seni Islam ditampilkan dalam lukisan-lukisan, mengeksplorasi bagaimana Rudolf Ernst, seorang pelukis Austria abad ke-19, mendapat inspirasi dari perjalanannya di Spanyol selatan, Turki dan Afrika Utara.

Ernst mengambil foto dan membuat sketsa tentang perjalanannya dan menggunakan alat peraga di studionya untuk membantu menciptakan adegan.

Bukan hal yang aneh dalam seni Orientalis ketika alat peraga dari berbagai negara dan berbagai periode waktu di dunia Arab atau Islam akan digunakan secara berdampingan.

Tetapi tidak semua seniman ingin melakukan perjalanan. Seniman Italia, Cesare Dell’Acqua dengan senang hati hanya mengandalkan imajinasinya dan buku bergambar etnografis untuk menciptakan penggambarannya tentang Timur.

Beberapa orang menyukai gagasan ‘menjadi penduduk asli’ sambil mempertahankan hak-hak barat mereka. Rudolf Ernst kadang-kadang akan mengenakan fez (topi khas Turki) saat ia melukis.

Saat melukis dirinya, seniman Inggris John Frederick Lewis mengenakan apa yang ia sebut pakaian ‘Timur Tengah’ di Kairo, termasuk selempang warna-warni yang dengan cerdas dipamerkan di samping lukisan. Akan tetapi selempang itu benar-benar kontemporer, dari India. Istri Lewis memberikan selempang itu ke museum V&A di London, mengklaimnya berusia 1000 tahun dan dari Konstantinopel.

Lewis telah menghabiskan satu dekade hidupnya untuk tinggal di Kairo. Tapi apakah para seniman ini menjelajahi atau tinggal di dunia Arab atau tidak, materi populer tetap konsisten di seluruh karya, terutama yang menggambarkan penjaga bersenjata atau harem.

Beberapa lukisan di pameran menggambarkan penjaga dengan kostum mewah bersandar di dinding, minum teh atau merokok. Catatan dalam pameran menjelaskan: “masyarakat lokal sering digambarkan hidup santai dan bebas dari tanggung jawab, memperkuat stereotip yang menyesatkan”.

Namun gambaran dalam karya seni Orientalis yang paling terkenal tentu saja adalah lukisan tentang harem.

Meskipun pameran ini hanya mendedikasikan sesudut kecil untuk memamerkan lukisan-lukisan perempuan Orientalis, tapi mereka menyediakan sebuah ruangan khusus untuk karya seni yang diciptakan oleh para seniman perempuan Arab modern sebagai tanggapan terhadap warisan imajinasi negatif tentang mereka.

Semua harem, teorinya, hanya boleh terlihat di ruang domestik pribadi yang hanya akan mencakup perempuan dan anggota keluarga laki-laki mereka. Itu berarti tidak ada orang asing, dan tentu saja tidak ada pelancong asing yang betul-betul memiliki pengalaman menyeluruh dengan harem di dunia Timur.

Harem, yang kalau dilihat dari tampilan semua lukisan telanjang dari era ini, tujuannya adalah untuk menggoda fantasi pria barat.

Sebuah catatan di samping salah satu lukisan yang dipamerkan menyebut invasi para seniman yang ingin melukis adegan harem merupakan “metafora untuk pendekatan orientalis di wilayah ini,”. Dan para perempuan ini tampaknya tersedia untuk konsumsi seperti juga bagaimana negara-negara mereka rela dijajah kekuatan kolonial.

Edward Said menulis tentang apa yang disebutnya ‘feminisasi dunia Timur’ dalam Orientalisme, dan bukan kebetulan bahwa sejumlah edisi buku itu menampilkan harem telanjang abad ke-19 di sampul depan.

Women of Algiers in Apartment oleh Delacroix, salah satu karya seni paling terkenal dari seluruh periode ini sama sekali bukan harem wanita Muslim Aljazair, tetapi wanita Yahudi. Ini karena pelukisnya (tentu saja) tidak diizinkan mengakses ke ruang pribadi perempuan Muslim, tetapi seorang pedagang mengizinkannya membuat sketsa harem Yahudi-nya.

Odalisques, yang biasanya merupakan lukisan sosok telanjang sendirian atau tokoh telanjang diapit oleh pelayan, juga menguntungkan. Seniman Prancis Jean-Auguste-Dominique Ingres secara teratur melukis perempuan-perempuan seperti itu meskipun tidak pernah mengunjungi Timur Tengah atau Afrika Utara.

Pameran ini mencatat bahwa interior kaya yang terlihat dalam lukisan-lukisan ini adalah untuk memancing voyeurisme penikmat lukisannya, yang ingin mengintip ke ruang pribadi ini.

“Menempatkan perempuan telanjang di interior seperti itu membuat gambar dapat diterima oleh masyarakat Eropa dan Amerika Utara yang sopan. Jika tidak dilakukan seperti itu, mereka akan melihatnya sebagai sesuatu yang cabul. “

Sebuah pertukaran budaya

Sama seperti Said yang mengeksplorasi penggambaran Timur Tengah sebagai sesuatu yang pasif dan feminin, dinamika kekuatan satu arah ini juga mengurangi pertukaran budaya antara Timur dan Barat.

Jelas bahwa aspek kolonialisme dari Orientalisme mengambil jauh lebih banyak daripada yang pernah mereka berikan dari subjek yang mereka gambarkan.

Pameran Museum Inggris berupaya menjelaskan berapa banyak seni dan arsitektur Islam diterima dalam budaya Eropa selama ratusan tahun. Elisabeth Fraser setuju bahwa hubungan itu telah lama pasif, tetapi sekarang “para peneliti mengakui bahwa situasinya jauh lebih rumit dari itu”.

Judul pameran, Inspired by the East (Terinspirasi oleh Timur), tidak membawa-bawa ‘Orientalisme’, yang mungkin memang istilah yang bermasalah. Tapi pameran juga mengabaikan seberapa banyak Timur Tengah dan Afrika Utara terilhami oleh, dan memang bereaksi terhadap, praktik seni Barat.

Peta-peta Persia tentang London dan Roma dalam pameran menunjukkan bagaimana para pelancong dari Timur sama terpesonanya dengan kebiasaan budaya Eropa. Gambar-gambar yang dibuat oleh fotografer Ottoman Pascal Sebah menunjukkan bagaimana seniman lokal menggunakan mode barat dan pasar untuk menggambarkan kota mereka sendiri.

Ruang terakhir menampilkan empat seniman kontemporer: Inci Eviner, Layla Essaydi, Shirin Neshat dan Raeda Saadeh. Mereka semua memang terbukti telah membuat karya inovatif sebagai respons langsung terhadap gerakan Orientalis, tapi ada lebih banyak seniman kontemporer yang bekerja dan mencoba mengubah pandangan Orientalis.

Salah satunya adalah Yumna Al-Arashi, seorang fotografer dan pembuat film Yaman-Amerika yang karya-karya penuh kontemplasinya mencakup dari film hingga sampul Vogue. Dia banyak mendapatkan pengikut di media sosial untuk penggambarannya tentang perempuan Arab yang merusak tradisi Orientalis dari pandangan laki-laki kolonial.

“Representasi tubuh dan sensualitas dan kewanitaan kami dicuri,” katanya kepada BBC Culture, merujuk pada topik ini.

Dia juga menyebutkan seri potret perempuan dengan tato wajah, tato yang dia lihat pada nenek buyutnya sendiri tetapi tidak pernah terlihat di semua lukisan dan foto-foto wanita telanjang yang sedang berbaring yang memadati seni barat.

“Saya mengambil foto, wawancara dan membuat beberapa potret yang indah, untuk menghormati mereka dan generasi yang hilang dalam pandangan kolonial. Itu adalah budaya matriarki besar di wilayah ini. “

Referensi yang bahkan lebih langsung ke seni orientalis adalah Shedding Skin karya Arashi, yang menggambarkan kembali adegan hammam. Hammam adalahpemandian terpisah gender yang secara budaya berbeda dengan Afrika Utara dan sering digabung dengan adegan harem sebagai alasan untuk menunjukkan perempuan telanjang di seni Orientalis.

Dalam Shedding Skin, ia menggambarkan hammam yang ditujukan untuk mata perempuan, bukan laki-laki. Setiap perempuan yang menjadi model tidak hanya tahu pekerjaan Al-Arashi tetapi juga mengajukan diri untuk berpose. Ini adalah bagian konsensual dan kesadaran diri pada perempuan yang sudah sangat jauh berubah dari zaman Women of Algiers karya Delacroix.

“Saya ingin menciptakan kembali pencahayaan Renaisans Prancis yang penuh pengaturan romantis itu,” katanya.

“Tujuannya adalah untuk memikat orang ke dalam film yang menggunakan gambaran yang biasa kita tonton. Hammam biasanya tidak terlihat seperti itu, orang-orang berteriak, ada pencahayaan yang kuat. Dalam suatu cara saya ingin menggunakannya sebagai permainan untuk membuat orang memperhatikan dan menjadi bagian atas gambar itu “.

Dia menyebutkan perpecahan dan betapa sulitnya tumbuh besar sebagai Muslim di AS: “Yang kita perlukan adalah bersatu sebagai perempuan di ruang-ruang ini. Saya memiliki pengalaman hammam yang indah di Timur Tengah. Itu benar-benar menyentuh saya, ruang-ruang ini di mana Anda melakukan percakapan dengan orang-orang asing.”

Dalam kata pengantar edisi Orientalisme 2003, Edward Said menulis bahwa “baik istilah Oriental maupun konsep Barat tidak memiliki stabilitas ontologis. Masing-masing terdiri dari upaya manusia, sebagian untuk meyakinkan, sebagian lagi untuk membedakan diri dari Yang Lain.”

Dengan memberi judul pada sebuah pameran ‘Terinspirasi oleh Timur’, British Museum ingin berkontribusi terhadap hubungan dualisme Timur dan Barat, di mana benda-benda yang dipinjamkan ternyata tidak efektif atau bermanfaat sama sekali.

Meskipun Timur Tengah dan Afrika Utara adalah taman bermain kolonial untuk kekuatan barat, sastra, seni dan arsitektur di seluruh Eropa merupakan bukti tradisi seni Islam yang kaya dan yang telah lama ada sebelum penjajahan abad ke-19 dan, dengan penuh syukur, telah bertahan lebih lama darinya. Jadi apakah seni Barat benar-benar ‘terinspirasi’ oleh Timur? Atau justru berutang budi padanya? [*]

Tags : budaya barat, budaya barat terinspirasi budaya timur, budaya timur, Index, seni budaya,