LEMBAGA PENELITIAN Belanda dijadwalkan merilis hasil akhir riset bertajuk "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950" pada Kamis 17 Februari 2022 di Amsterdam.
Dari kacamata Indonesia, periode itu dikenal sebagai Revolusi Nasional, Perang Kemerdekaan ketika Republik Indonesia masih berkonflik dengan Belanda yang hendak merebut kembali Indonesia dengan senjata, walau RI sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949 ketika Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan.
Penelitian oleh Institut Belanda untuk Studi Perang, Holokos dan Genosida (NIOD), Insititut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang diluncurkan pada tahun 2016.
Penelitian ini juga dibantu oleh sejarawan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi mitra khusus untuk studi regional. Namun tim sejarawan Indonesia - terdiri dari 12 orang - melakukan penelitian sendiri secara independen.
"Ketika kami diajak, kami mengajukan syarat kepada mereka bahwa kami bersedia melakukan penelitian ini dengan syarat kami memperoleh independensi, mulai dari penentuan topik, merekrut peneliti, kemudian penggunaan metodologi, perspektif dan seterusnya. Kami juga tidak akan mengintervensi peneliti Belanda," kata koordinator dan fasilitator penelitian tim sejarawan, Dr. Abdul Wahid dirilis BBC News Indonesia.
Adapun tim peneliti Belanda belum bersedia memberikan keterangan sebelum peluncuran laporan mereka. Namun dalam situs penelitiannya disebutkan terdapat sejumlah daerah konflik yang dikaji, antara lain meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, Sumatra tengah dan Bali.
Sejak peluncurannya, penelitian - yang antara lain bertujuan untuk mengkaji kondisi dan tingkat kekerasan sejak Jepang kalah dari Sekutu dan kemudian diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga akhir Revolusi - diselimuti pro dan kontra. Tak terkecuali, riset tentang 'bersiap' yang dianggap memihak kepentingan Belanda, sementara kolonialisme tidak digugat lagi.
Sejak kapan perang Belanda digugat dan apa pemicunya?
Masalah aksi militer Belanda di Indonesia yang dulu dinamai wilayah Hindia Belanda, telah berulang kali diajukan di negara itu untuk dijernihkan, meskipun tidak pernah tuntas dan timbul tenggelam.
Debat terbuka tentang dugaan kekerasan yang dilakukan serdadu Belanda dalam upaya menguasai kembali Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1969 ketika seorang veteran perang Johan Engelbert (Joop) Heuting dalam wawancara di sebuah program televisi secara gamblang mengungkap aksi kekerasan.
Kesaksian Heuting itu berkaitan dengan penyusunan program doktoralnya dan ia membeberkan pengalamannya ketika bertugas sebagai wajib militer di Indonesia pada tahun 1947. Wilayah tugasnya antara lain adalah Jawa Timur, dan ia terlibat dalam penyerangan ke Yogyakarta pada bulan Desember 1948. Selama itu, ia menyaksikan eksekusi dan berbagai kekerasan terhadap orang-orang Indonesia yang ditangkap.
Sontak wawancara tersebut mengundang reaksi keras, terlebih dari kalangan veteran Hindia Belanda yang merasa disalahkan. Bagaimanapun kesaksian Heuting telah mengarah ke diskusi politik atas topik itu.
Dan terbitlah catatan resmi dari pemerintah Belanda yang disebut Excessennota atau catatan berlebih atau keterlaluan, dengan narasi 'memang betul ada yang berlebihan namun Angkatan Bersenjata secara keseluruhan berperilaku benar'. Penggunaan kata-kata berlebih dimaknai sebagai upaya menghindari penggunaan istilah kejahatan perang.
Selagi pemerintah Belanda berusaha mempertahankan narasi resminya itu, walau acapkali muncul informasi yang mematahkannya baik melalui laporan investigasi maupun film dokumenter, di jalur hukum operasi militer Belanda sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga terus digugat. Upaya ini dimotori oleh ketua yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry M. Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld mulai tahun 2008.
Buahnya, pada September 2011, sembilan keluarga korban pembantaian Rawagede memenangkan gugatan ganti rugi terhadap negara Belanda. Pengadilan menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian terhadap setidaknya 431 warga di Rawagede, yang sekarang bernama Balongsari di Jawa Barat, pada Desember 1947.
Putusan pengadilan soal pembantaian Rawagede ini membuka kasus-kasus lain yang terjadi antara periode 1945-1949, termasuk insiden yang dalam sejarah Indonesia dikenal dengan Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan.
Akan tetapi, sejarawan senior Rushdy Hosein, yang tidak terlibat dalam proyek penelitian sejarah Belanda ini, mengingatkan bahwa pemberian ganti rugi kepada keluarga korban tidak ada sangkut pautnya dengan keindonesiaan mereka.
"Belanda itu punya pegangan bahwasanya mereka yang terkorban pada periode itu adalah orang yang berada di wilayahnya," kata Rushdy Hosein yang pernah menjadi guru sejarah di Kementerian Luar Negeri dan di Pusat Sejarah TNI.
"Sebagaimana kita ketahui, setelah Agresi Belanda I, daerah-daerah seperti Rawagede itu adalah wilayah Belanda. Jadi Belanda membayar ganti rugi itu kepada - menurut mereka - penduduk wilayah Belanda juga," imbuhnya.
Bagaimanapun, tuntutan hukum keluarga korban sudah diakui oleh tim peneliti sebagai salah satu pendorong ketertarikan publik terkait dengan sepak terjang Belanda dalam perang yang dilancarkan di Indonesia.
Faktor pendorong lainnya, pada 2016, isu aksi militer Belanda semakin mencuat menyusul penerbitan buku sejarawan Swiss-Belanda Remy Limpach, De brandende kampongs van Generaal Spoor atau Pembakaran Kampung oleh Jenderal Spoor.
Jenderal Simon Spoor merupakan panglima militer yang sekaligus menjadi salah satu wakil kekuasaan di Hindia Belanda, Indonesia sekarang.
Berdasarkan hasil risetnya, Limpach menarik kesimpulan bahwa Angkatan Bersenjata Belanda melakukan hal yang ia gambarkan sebagai "kekerasan ekstrem dan massal" selama perang dengan rentang waktu 1945-1950. Ia juga tak luput menyebut bahwa kekerasan juga dilakukan oleh orang Indonesia di berbagai daerah.
Tak pelak, kesimpulan itu menimbulkan polemik dan tarik ulur.
Dari mana dananya?
Diakui penyelenggara penelitian bahwa buku Pembakaran Kampung-kampung oleh Jenderal Spoor "akhirnya mendorong Pemerintah Belanda untuk mendanai sebuah program penelitian mandiri dan mendalam ihwal perang di Indonesia."
Kesediaan mengucurkan dana riset bermakna pemerintah Belanda sekarang "kembali mempertanyakan posisi resmi pemerintah yang sejak tahun 1969 menganggap bahwa tidak pernah terjadi 'kekejaman sistematis' dari pihak militer Belanda selama perang berlangsung, serta 'Angkatan Bersenjata Belanda secara keseluruhan bertindak sesuai dengan aturan selama berada di Indonesia'", sebagaimana dimuat di situs penelitian itu.
Jumlah dana yang diumumkan pada 2016 adalah 4,1 juta euro atau sekitar Rp67 miliar. Dana digunakan untuk membiayai penelitian selama empat tahun baik di Belanda maupun Indonesia.
Apa yang diteliti?
Dalam situs program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950 disebutkan riset mencakup delapan sub-proyek "yang melihat secara menyeluruh sifat, penyebab, dan dampak kekerasan yang dilakukan oleh Belanda selama rentang waktu tersebut di atas."
Koordinator dan fasilitator penelitian tim sejarawan dari UGM, Dr. Abdul Wahid memandang kesempatan penelitian ini sebagai peluang positif untuk duduk bersama dengan para peneliti Belanda. Tujuannya adalah mendiskusikan serta berbagi informasi tentang periode itu, termasuk apa saja yang sudah diteliti dan yang tidak kalah penting adalah perspektif yang dikembangkan oleh masing-masing negara.
Di luar proyek Belanda ini, Departemen Sejarah UGM sebelumnya sudah melakukan banyak penelitian tentang masa kolonial dan pasca kolonial "tapi memang periode '45 sampai '50 ini adalah salah satu periode yang paling sukar untuk duduk bersama".
Sejauh ini, lanjutnya, belum pernah dilakukan upaya serius untuk mengkaji rentang waktu itu.
"Dan inilah kesempatan yang besar - kami melihatnya begitu - di saat juga terjadi perubahan besar di masyarakat Belanda yang mencoba melihat lebih terbuka lagi tentang periode ini. Dan pada saat yang sama, kami melihat ada kebutuhan juga di kita untuk melihat periode ini," jelas Abdul Wahid.
Dari payung penelitian - jika dilihat dari konsep historiografi Indonesia- istilah dekolonisasi tidak dikenal.
Menurut Dr. Abdul Wahid, dekolonisasi merupakan istilah internasional, dan kali ini digunakan dari sudut pandang Belanda sebagai bekas penjajah. Tapi tim peneliti Indonesia juga mendesakkan istilah-istilah kunci.
"Proklamasi dan kemerdekaan itu harus dicantumkan karena itu bagi Indonesia adalah segala-galanya, sebagai awal dari peristiwa yang mengikuti di belakangnya."
Tradisi Belanda mengenal aksi polisionil yang tidak pernah diterima Indonesia. Indonesia mengenalnya sebagai agresi militer.
"Nah, hal-hal seperti itu yang kita bahas secara terbuka dengan semangat kita saling belajar dan memahami," jelasnya dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan.
Yang tidak luput menyertai pembahasan perbedaan konsep-konsep itu adalah konteks permasalahannya seperti apa sehingga dapat ditarik kesimpulan mengapa suatu peristiwa terjadi.
Tim yang dipimpin Dr. Abdul Wahid tidak memusatkan perhatian pada dugaan kekerasan serdadu Belanda, melainkan pada isu isu lain yang selama ini belum banyak disentuh. Sebagai contoh, bagaimana perempuan memaknai kemerdekaan pada periode itu.
Apa yang dimaksud dengan 'bersiap' dan mengapa sensitif?
Di antara sub-penelitian yang menjadi perdebatan hangat adalah masa 'bersiap', rentang waktu setelah akhir masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai tahun 1946.
Tim peneliti di situsnya mendiskripsikan periode bersiap "dalam historiografi Belanda kerap ditafsir sebagai masa kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia terhadap (Indo-) Belanda."
Indo-Belanda merujuk pada orang-orang berdarah Indonesia-Belanda. Adapun pihak Indonesia merujuk pada para pejuang atau gerilyawan.
Walau namanya dalam bahasa Indonesia, istilah itu tidak dikenal dalam historiografi Indonesia.
Periode bersiap dikenang Belanda sebagai masa yang kacau balau ketika kaum gerilyawan di masa Revolusi Nasional mengeluarkan aba-aba 'siap' guna melancarkan serangan terhadap musuh-musuh.
Selain Indo-Belanda, sejatinya kekerasan juga banyak menimpa orang-orang kulit putih pada umumnya, kelompok masyarakat yang dianggap pro-Belanda seperti Tionghoa, Maluku, Manado atau mereka yang dituduh menjadi antek-antek Belanda, kata sejarawan senior Dr. Rushdy Hosein.
Ditambahkan, ketika Jepang menyerah kepada tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan artinya masa penjajahannya di Indonesia berakhir maka itu menyebabkan semacam kevakuman penguasa di Indonesia. Momen itu langsung digunakan untuk segera menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI, dua hari kemudian.
Tak lama kemudian Belanda datang hendak menaklukkan kembali Indonesia bersamaan dengan tentara Sekutu yang mendarat untuk melucuti serdadu Jepang.
Itu terjadi di tengah semangat kemerdekaan yang meluap, bercampur dengan perasaan antipenjajahan, anti-Barat dalam kondisi sosial dan keamanan yang masih kacau pula.
Maka banyak orang dibunuh. Rumah-rumah dijarah.
"Wajar pada saat itu ada eufori kemerdekaan. Pada saat itu orang-orang bersenjata tanpa izin - banyak - bercampur, orang yang baik dengan orang yang jahat sukar dibedakan," jelas Dr. Rushdy Hosein.
Pandangan Belanda yang telah mengakar adalah bahwa para pemimpin Indonesia ketika itu, baik di tingkat nasional maupun lokal, tidak mampu mengendalikan kekerasan.
Namun dalam konteks itu, masih kata Dr. Rushdy Hosein, yang absen dari narasi versi Belanda ini adalah penjajahan atas bangsa Indonesia yang sudah berdaulat tidak dipermasalahkan, dan tidak ada pengakuan bahwa perlawanan yang dilancarkan merupakan upaya pejuang untuk mengusir kekuatan kolonial.
Dr. Abdul Wahid selaku koordinator dan fasilitator penelitian untuk sub-proyek studi regional dalam program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950, mengatakan terminologi bersiap mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia belakangan seiring dengan perkembangan media sosial.
"Kita tahu itu adalah konsep yang sangat sensitif, sangat emosional bagi teman-teman di komunitas Indo di Belanda," katanya kepada BBC News Indonesia.
"Dalam konteks Indonesia, kita punya istilah-istilah lain. Jangan-jangan ini suatu realitas yang dibaca secara berbeda. Ada istilahnya, kalau dalam tradisi historiografi kita ada istilah daulat, gedoran."
Oleh karena itu, Dr. Abdul Wahid menekankan perlunya saling mendengarkan, saling belajar dan bertukar, sebagaimana dilakukan dalam proyek penelitian kali ini.
Apa pentingnya penelitian bagi Indonesia?
"Kami memaafkan tapi kami tidak akan melupakan." Itulah sikap Indonesia pada umumnya yang digambarkan pakar sejarah senior Rushdy Hosein tentang kekerasan bahkan sampai di luar peri kemanusiaan, baik di pihak Indonesia maupun Belanda.
Sikap itu dipelihara sejauh ini, setidaknya sebelum ada penelitian besar-besaran oleh Belanda. Tapi Rushdy khawatir penelitian dapat mengganggu pendirian itu. Terlebih proyek penelitian tidak melibatkan lebih banyak perguruan tinggi di Indonesia. Dilihat dari komposisinya, penelitian juga condong ke Belanda.
"Dia lebih banyak ngomong kepada proyek-proyek atau pemikiran-pemikiran yang diolah oleh Belanda, tidak pada Indonesia.
"Akibatnya, bahan-bahan yang masuk juga tidak lengkap, menurut pandangan kami," kata Rushdy seraya menambahkan selama ini bukti-bukti sejarah Indonesia sudah banyak dipegang Belanda, jauh lebih banyak dibanding dokumentasi Indonesia.
Sejarawan UGM Sri Margana, yang juga tidak terlibat dalam penelitian pemerintah Belanda ini, menilai riset merupakan bagian dari usaha kejujuran terhadap sejarah masing-masing.
Kendati demikian ia mewanti-wanti bahwa mustahil untuk mengharapkan titik temu.
"Tapi yang namanya historiografi dan konflik yang melibatkan dua kelompok, memang tidak dapat dipertemukan. Yang bisa kita ketahui adalah masing-masing fakta yang menunjukkan itu. Dan tidak harus dipertemukan.
"Indonesia sebagai pihak tersendiri berhak punya persektif sendiri. Kemudian orang Belanda juga punya hak untuk punya perspektif sendiri. Sehingga sebetulnya tidak perlu dipertemukan. Bahwa kita memahami sudut pandang itu sebagai perbedaan posisi pada masa itu."
Apa pentingnya bagi Belanda?
Sebagaimana dirintis oleh veteran perang Joop Heuting pada tahun 1969 bahwa Belanda mungkin mempunyai semacam tanggung jawab moral terhadap kekerasan di Indonesia selama periode 1945-1950, sejumlah pihak berharap program penelitian pemerintah Belanda kali dapat menjernihkan permasalahan.
Bagi sejarawan senior Belanda, Martin Bossenbroek, meski ia tidak turut dalam program penelitian ini, hasil riset akan menambah dokumentasi sejarah.
"Tentu saja luar biasa bahwa begitu banyak penelitian sejarah yang mendalam telah dilakukan dan dipublikasikan secara luas. Tidak diragukan lagi, semakin banyak pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik, semakin baik," jelas penulis buku De wraak van Diponegoro atau Pembalasan Diponegoro itu.
Menurutnya, terdapat empat wacana dalam masyarakat Belanda dalam mengolah masa lalu kolonialnya.
Pertama, wacana korban dari orang Belanda baik yang Indis (orang Belanda kelahiran Indonesia maupun Indo. Mereka menderita ketika Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda ketika itu. Penderitaan mereka berlangsung di zaman Revolusi, dan bahkan berlanjut setelah mereka tiba di negeri Belanda. "Artinya, ini bermuatan emosi," katanya.
Yang kedua adalah wacana perbuatan buruk tentara Belanda pada tahun 1945-1950 kepada penduduk Indonesia sehingga harus ada yang bertanggungjawab dan hal ini bermuatan moral.
Wacana ketiga, menurut peneliti tentang sejarah masyarakat di Universitas Utrecht tersebut, menyangkut warisan atau peninggalan sejarah, yakni semua orang Belanda (dari unsur Indo dan Indis) yang menghargai ikatan dengan tanah leluhur.
Adapun yang keempat wacana bermuatan rasional melalui banyak penelitian mengenai hubungan sejarah Belanda dan Indonesia, meskipun dari kacamata yang berbeda.
"Keempat alur narasi tersebut belakangan menjadi lebih rumit dari sebelumnya, sehingga satu kesatuan pandangan yang bulat tentang masa lalu kolonial -- tidak seperti di Indonesia -- tampak jauh." Itulah kesimpulan Martin Bossenbroek.
Kami di Yayasan Ermelo, lembaga keveteranan di Indonesia khususnya veteran Siliwangi, sejak tahun 1995 mengadakan kerja sama dengan Divisi 7 Desember Belanda (divisi pasukan Belanda yang ditugaskan di Indonesia dan bermusuhan dengan tentara Siliwangi di Jawa Barat).
Hubungan itu sudah sampai pada kesepakatan bahwasanya kami berusaha untuk tidak terlibat lagi dalam konflik-konflik berkepanjangan antara Indonesia dan Belanda. Misalnya, mengenai peristiwa-peristiwa antara akhir 1945 atau 1946 sampai tahun 1949 atau 1950.
Pada tahun 1995, puluhan veteran Indonesia diundang ke Belanda dalam rangka ulang tahun ke-50 Divisi 7 Desember.
Ada hal-hal baik yang dimunculkan. Kami ingin memberlakukan apa yang namanya wappen broeder, sesama pejuang, sesama pemanggul senjata. Pihak Belanda telah berjuang baik membaktikan semua jasanya kepada negeri Belanda. Kami juga demikian, memberlakukan ini di negeri kami.
Hal itu membawa citra yang bagus sekali. Kami berusaha mengangkat program-program baru yang bisa dikerjakan bersama, misalnya mengangkat kapal terbang air di Kali Brantas.
Sayangnya fisik veteran Indonesia tidak sebaik fisik veteran Belanda. Jadi banyak dari mereka pada tahun 2010 sudah tak beraktivitas. Banyak yang meninggal, banyak yang sakit, banyak yang pikun.
line
Merujuk pada poin kedua yang disampaikan Bossenbroek bahwa dengan adanya 'kelakuan buruk' tentara Belanda maka harus ada yang bertanggungjawab, kalangan veteran Belanda khawatir penelitian "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia, 1945-1950" dapat mengarah ke kejahatan perang.
Oleh sebab itu, kaum veteran, kelompok masyarakat Indo dan Indis mendesak agar kekerasan yang dilakukan gerilyawan Indonesia juga masuk dalam penelitian.
Kaum veteran dalam hal ini juga mencakup para mantan serdadu KNIL atau tentara kerajaan Hindia-Belanda yang dibentuk untuk mengontrol wilayah jajahan. Mereka umumnya berdarah campuran Belanda-Indonesia, Indis (orang Belanda yang lahir di Indonesia), orang-orang Maluku, Manado, dan Tionghoa. Selain itu, KNIL juga merekrut tentara bayaran dari beberapa negara, seperti Prancis, Jerman, Belgia, dan Swiss.
Sebagian merasa sangat ketakutan jika sampai mendapat penilaian buruk perihal peran mereka, sebagian lainnya merasa khawatir tunjangan pensiun mereka bakal dihentikan jika dianggap sebagai penjahat perang.
"Saya perhatikan bahwa penelitian ini populer di kalangan orang Indo dan Maluku. Kami semua menantikan hasilnya, tetapi saya juga mendengar kekhawatiran dari sana-sini. Dan apa artinya ini bagi kami di masa depan?" kata Rocky Tuhuteru, direktur Yayasan Pelita, kepada Radio 1 NOS (Nederlands Omroep Sticting).
Yayasan Pelita adalah salah satu organisasi yang membantu para anggota KNIL terutama yang berlatarbelakang Maluku dan Indo.
Berbagai kekhawatiran itu ditepis oleh Fridus Steijlen, peneliti dari KITLV. Ia menegaskan penelitian tidak bermaksud memberikan cap kepada kelompok tertentu.
"Namun sepenuhnya untuk memberikan konteks pada kekerasan yang terjadi dan menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Sebuah penelitian harus menjernihkan mengapa sebuah peristiwa terjadi sebagaimana adanya". (*)
Tags : Belanda, Sejarah, Indonesia,