LINGKUNGAN - Untuk mengatasi perubahan iklim, kita perlu mengurangi jejak karbon. Tapi seperti apa gaya hidup rendah karbon yang sesungguhnya, dan bisakah itu benar-benar dicapai hanya dengan pilihan pribadi?
Menjelang akhir 2020, Carys Mainprize menargetkan resolusi untuk tahun yang akan datang: menjalani kehidupan sepanjang tahun dengan batas dua ton karbon: jumlah itu setara dengan sekitar setengah emisi tahunan rata-rata mobil berbahan bakar bensin di AS.
Tantangan itu tidaklah mudah. Mainprize tinggal di Inggris, di mana rata-rata jejak konsumsi karbon tahunan per orang lebih dari empat kali target yang dia tetapkan: 8,5 ton setara karbon dioksida (CO2e), yang mencakup CO2, metana, dan gas rumah kaca lainnya.
Mainprize, yang merupakan seorang staf komunikasi di organisasi nirlaba di bidang iklim, mulai meriset soal jejak karbon yang bisa dia kurangi. Dia ingin tahu apa yang harus dia korbankan, dan jika memungkinkan, untuk tinggal di Inggris dengan jejak karbon pribadi yang setara dengan apa yang perlu kita semua capai pada dekade berikutnya untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.
Survei terbaru menunjukkan bahwa banyak orang ingin berpartisipasi dalam aksi iklim, namun mempraktikkan gaya hidup yang sangat rendah karbon bisa menjadi rumit. Itu bisa berarti mengubah sejumlah aspek kehidupan sehari-hari, terutama bagi kelompok masyarakat yang lebih kaya.
Tetapi eksperimen seperti yang dilakukan oleh Mainprize dapat memandu kita mengenai langkah ke depan soal seperti apa masyarakat yang berkelanjutan itu sesungguhnya, dan perubahan berskala lebih luas seperti apa yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Jadi seperti apa dunia ini jika kita yang saat ini mengeluarkan lebih banyak emisi berhasil mengurangi emisi kita ke tingkat yang lebih aman?
Dalam beberapa hal, dua ton adalah angka yang sewenang-wenang. Setelah melakukan sejumlah riset, Mainprize menyadari bahwa itu adalah target yang cukup ambisius untuk dicapai.
Dalam bukunya tentang jejak karbon, How Bad Are Bananas, peneliti Mike Berners-Lee menyarankan pembaca untuk mencapai target gaya hidup dengan lima ton jejak karbon untuk saat ini, yang menurutnya sudah merupakan “langkah maju yang signifikan” bagi sebagian besar orang Inggris.
Di beberapa negara dengan emisi yang lebih tinggi, target itu bahkan mungkin lebih sulit dicapai – di AS, Kanada, dan Australia, misalnya, emisi per kapita mencapai 16-17 ton CO2e per tahun.
Sebuah laporan pada tahun 2021 dari Oxfam menemukan bahwa pada 2030 emisi rata-rata global harus mencapai hanya 2,3 ton CO2 per tahun untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius (laporan tersebut tidak mencakup emisi gas rumah kaca lainnya), turun dari rata-rata 4,6 ton saat ini.
“Apa yang terlihat saat ini adalah ada beberapa kelompok pendapatan global yang jauh melebihi [target 2,3 ton],” kata Tim Gore, kepala program iklim dan ekonomi sirkular di institut Kebijakan Lingkungan Eropa, lembaga think tank berkelanjutan, dan penulis laporan Oxfam.
“Beberapa, setidaknya 50% dari populasi global, saat ini berada di bawah level tersebut dan masih akan berada di bawah level tersebut pada 2030.”
Laporan lainnya dari Hot or Cool Institute, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Berlin memperkirakan bahwa pada 2040, emisi gaya hidup per kapita harus menjadi 1,5 ton CO2e, kemudian pada 2050 hanya 0,7 ton CO2e.
Pada 2019, ketika aktivis Rosalind Readhead yang berbasis di London memutuskan mencoba hidup hanya dengan satu ton karbon selama satu tahun, dia mengacu pada laporan ini.
“Laporan itu sangat berarti bagi saya, karena saya akhirnya memiliki landasan ilmiah untuk memulai misi satu ton ini,” kata dia.
Readhead membulatkan target 0,7 ton menjadi satu ton karena menyadari bahwa sulit untuk menjalani kehidupan rendah karbon dengan infrastruktur yang tersedia saat ini.
Perjuangan seperti itu menyoroti persoalan sistemik di jantung masalah iklim: sangat sulit untuk hidup rendah karbon apabila produk, infrastruktur, dan masyarakat di sekitar Anda menghasilkan emisi tinggi.
Faktanya, hanya sedikit orang yang berpendapat bahwa upaya mengurangi emisi karbon harus ditopang oleh aksi individu sehingga banyak produk, infrastruktur, sistem dan keputusan politik yang memengaruhi kehidupan kita juga perlu diubah demi mengurangi emisi.
Saat mencoba untuk hidup dengan dua ton emisi karbon, Mainprize menyadari dirinya dihadapkan pada beberapa contoh dari hal ini.
Dia tidak memiliki kuasa atas penyekatan di rumah yang dia sewa, dan tidak ada persyaratan bagi pemiliknya untuk memasang ini. Dia juga masih bergantung pada mobil untuk bekerja dan merasa membeli mobil listrik terlalu mahal.
“Jelas bahwa individu dalam berbagai peran sosialnya dapat berkontribusi signifikan untuk mengurangi emisi,” kata Joyashree Roy, profesor ekonomi di Universitas Jadavpur di Kolkata, India.
Tapi kalau mereka tidak didukung oleh infrastruktur yang tepat, insentif teknologi dan kebijakan, Roy mengatakan mereka tidak bisa mencapai kontribusi maksimalnya. Misalnya, “bagaimana seseorang bisa berjalan kaki di kota yang tidak menyediakan jalur pejalan kaki yang aman dan layak?”
Namun, mungkin ada dikotomi yang salah dalam diskusi mengenai perubahan perilaku individu versus perubahan sistem, kata Direktur Pelaksana Hot or Cool Institute.
“[Kita membutuhkan] perubahan individu dan sistem,” kata Akenji: kebijakan pemerintah, preferensi masyarakat, dan perilaku konsumen, semuanya bisa saling memengaruhi.
Emisi dua ton?
Menurut Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), dengan kebijakan, infrastruktur, dan teknologi yang tepat untuk memungkinkan perubahan gaya hidup dan perilaku kita, kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca secara menyeluruh dengan substansial pada 2050.
IPCC juga mengatakan bahwa dunia perlu mencapai emisi nol karbon dengan capaian yang terbatas pada 2050 demi menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Di negara-negara kaya, ini berarti kebanyakan orang perlu beralih ke gaya hidup dengan emisi karbon yang jauh lebih rendah. Tetapi perubahan untuk mencapainya tidak selalu menyusahkan atau negatif.
Penelitian telah menunjukkan bahwa layanan publik yang baik memungkinkan kesejahteraan yang lebih baik pula dengan penggunaan energi yang lebih rendah.
Salah satu perubahan besarnya adalah mengubah cara kita bepergian. Akenji membayangkan kombinasi transportasi umum dengan sistem mobilitas mikro (seperti skuter listrik dan drone) yang membuatnya efisien dan efektif untuk dijangkau orang-orang.
Mobil pribadi, dengan emisi yang sangat besar dan seringkali lowong, akan ditinggalkan dan tempat-tempat parkir diubah menjadi ruang publik hijau yang bisa menjadi tempat orang-orang bermain, bersantai, atau berolahraga.
Angkutan umum berkualitas tinggi ini akan dialiri listrik dari sumber energi terbarukan, kata Gore. Ini semua akan dilengkapi dengan bersepeda dan berjalan kaki atau bentuk mobilitas lainnya yang membuat orang aktif, sehingga bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan.
Ini akan memerlukan perubahan besar dalam perencanaan kota di banyak tempat di seluruh dunia yang dirancang untuk mobil pribadi, kata Gore.
Ini juga bisa berarti jalanan dan pasar-pasar lokal di mana orang bisa berbelanja dengan berjalan kaki atau bersepeda akan kembali. Jumlah penerbangan akan berkurang secara substansial, tambahnya, karena perjalanan jarak jauh yang ditopang oleh meluasnya layanan kereta api berkecepatan tinggi.
Perumahan, adalah salah salah satu yang paling mudah untuk mengurangi karbon, sehingga perubahan besar akan terlihat demi mencapai target dua ton emisi per orang. Itu bisa dimulai dengan peningkatan besar-besaran renovasi untuk efisiensi energi di rumah.
"Kita akan menghemat uang setiap rumah tangga sambil menurunkan emisi kita, dan mungkin menciptakan banyak pekerjaan bagi orang-orang yang melakukan renovasi dalam prosesnya, juga menambah nilai aset perumahan masyarakat," kata Gore.
"Itu mudah,” sambungnya.
Badan Energi Internasional (IEA) berpendapat bahwa pengeluaran masyarakat yang ditargetkan dengan tepat untuk mendukung isolasi dan efisiensi energi lainnya bisa mengurangi emisi karbon.
Dalam upayanya untuk hidup dengan satu ton karbon per tahun, Readhead menyadari bahwa menyalakan ketel gasnya hanya selama 45 menit menghabiskan seluruh anggaran karbon hariannya. Namun, ketika dia kemudian memasang kaca sekunder di jendelanya, dia ternyata nyaris tidak perlu menyalakan pemanas sama sekali.
Sementara itu, untuk cuaca panas, semua rumah baru akan dirancang ulang untuk meminimalkan kebutuhan AC mereka, kata Lucas Chancel, seorang ekonom di Sekolah Ekonomi Paris.
Perubahan berskala besar lainnya ada pada pola makan kita –terutama dengan beralih ke pola makan nabati, kata Julia Steinberger, profesor ekonomi ekologi di Universitas Lausanne di Swiss.
“Pola makan ini biasanya juga lebih murah. Hanya memerlukan sedikit eksperimen dan pembiasaan, memasak berbahan lentil, kacang-kacangan, tahu, dan protein nabati lainnya dibandingkan daging atau susu – namun bisa diterapkan oleh semua orang.”
Menurut Gore, daging dan produk susu akan dipandang sebagai kemewahan atau suguhan pada acara khusus, dibandingkan sebagai makanan yang dikonsumsi dua atau tiga kali sehari.
Sebuah laporan berskala besar pada 2019 yang mengamati “diet ramah Bumi” bertujuan menetapkan pola makan yang optimal demi menyeimbangkan kesehatan manusia dengan planet ini.
Makanan yang disarankan terdiri dari setengah piring sayur dan buah-buhan, dengan banyak kacang-kacangan. Pola makan vegan dan vegetarian bisa membantu memenuhi persyaratan itu, namun beberapa daging dan produk susu masih bisa disertakan.
Diet juga merupakan hal yang sangat pribadi bagi orang-orang.
Dalam eksperimen dua tonnya, Mainprize, yang sudah menjadi vegetarian, menemukan bahwa berhenti mengonsumsi susu dan keju cukup mudah dilakukan. Sebaliknya, Readhead merasa harus berjuang untuk sepenuhnya berhenti mengonsumsi daging, terutama selama musim dingin yang kini lebih dingin ketika dia mencoba memakan daging yang rendah karbon, seperti ayam dan rusa.
Ada pula jenis konsumsi lainnya.
"[Dunia rendah karbon] adalah dunia di mana kita, secara keseluruhan, mengonsumsi lebih sedikit 'barang'," kata Chancel.
Kita mungkin bisa mengonsumsi lebih banyak pengalaman terkait budaya, seperti festival, teater, atau kelas dansa, tetapi “soal barang-barang, apa pun yang berbobot, diproduksi dengan materi dan energi, kita harus mengonsumsinya lebih sedikit,” kata dia.
Ini bukan berarti kita harus membuang semua barang elektronik dan pakaian kita, tetapi ini adalah dunia di mana produksinya didasarkan pada energi terbarukan, bukan bahan bakar fosil, di mana kualitas yang lebih baik, produk yang tahan lama akan menguasai pasar sehingga kita hanya perlu membeli lebih sedikit barang.
Ini berarti kita perlu lebih fokus pada reparasi dan daur ulang, kata Gore, dibandingkan misalnya membeli ponsel baru setiap tahun.
Uni Eropa telah mengadopsi “hak untuk memperbaiki” barang habis pakai yang bertujuan untuk memastikan lebih banyak produk bisa diperbaiki dan dijamin oleh huku, sehingga memberi orang pilihan yang lebih baik untuk memperbaiki produk yang bisa diperbaiki, bahkan jika produk tersebut telah habis garansinya.
Upaya seperti ini bisa membantu untuk mulai membangun “ekonomi perbaikan” dengan meminta perusahaan membuat produk mereka dapat memperbaiki dan menyediakan manual serta suku cadang dengan harga terjangkau, kata Gore.
Di saat orang-orang masih bepergian untuk liburan, mereka pun umumnya menjadi lebih lokal, lebih banyak pertimbangan, dan tidak sekonsumtif biasanya, kata Akenji.
“Sering juga hal-hal yang kita anggap sebagai liburan ternyata lebih berupa peluang untuk mengonsumsi, dan itu tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan kita,” tuturnya.
“Apa yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan kita adalah melepaskan pola pikir berlibur untuk memulihkan diri, namun dengan terhubung dengan orang-orang yang Anda cintai, atau menemukan hal-hal lain yang biasanya tidak Anda lakukan.”
Pekerjaan pun dapat berubah di dunia rendah karbon. Kontrak kerja dapat berbeda dibandingkan saat ini, dengan lebih banyak yang bekerja dari rumah dan jam kerja yang lebih pendek dan lebih fleksibel.
Meski demikian, masih banyak pekerjaan yang untuk dilakukan di dunia rendah karbon –sebuah laporan baru-baru ini memperkirakan peralihan ke ekonomi hijau dapat menciptakan 18 juta pekerjaan.
Namun ini bukan berarti standar yang lebih rendah bagi kehidupan dan kesejahteraan bagi orang-orang di negara-negara kaya. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan energi dan karbon yang melampau tingkat tertentu ternyata tidak selalu menandakan standar hidup yang lebih tinggi.
“Sebagian kecil emisi energi sangat penting [untuk kesejahteraan] pada tingkat yang rendah, namun pada tingkat yang lebih tinggi, tidak lagi,” kata Steinberg, yang ikut menulis dalam penelitian tersebut.
Di beberapa wilayah di dunia, tentu saja, penggunaan energi dan emisi per kapita seharusnya meningkat. Gagasan bahwa negara-negara dengan emisi lebih tinggi dan lebih kaya harus menurunkan emisi mereka demi memungkinkan hal ini sering dianggap sebagai kebutuhan untuk memberi mereka “ruang karbon” yang adil.
Dalam upayanya untuk hidup dengan satu ton karbon pada konteks saat ini, Readhead menjadi berupaya mencari apa yang dia sebut sebagai “carbon freebies”, yakni aktivitas bebas karbon yang dia sukai.
"Anda bisa bermeditasi, berada di alam, berhenti melakukan sesuatu dan menikmati dunia, mencium aroma bunga, mencari makan, menikmati seni, berjalan, bersepeda, berkebun," katanya.
"Mendengarkan atau memainkan musik akustik, menyanyi, menari, semua hal yang kami lakukan sebagai anak-anak: ini adalah hal-hal yang sangat kami sukai."
Dia merasa bahwa kenangan hidupnya sebelum ada telepon dan komputer seperti kembali lagi.
“Saya hanya duduk-duduk sambil mengobrol dengan teman-teman. Bersenang-senang,” katanya.
Apakah Mainprize dan Readhead berhasil mencapai tujuannya masing-masing? Pada akhirnya, Mainprize secara tidak sengaja kehilangan spreadsheet yang dia gunakan untuk melacak karbonnya sekitar bulan ketujuh, tetapi sampai saat itu mengira dia "tepat di bawah rata-rata bulanan dari total yang seharusnya".
Dia juga mencatat bahwa ada beberapa barang yang dia beli –seperti selimut listrik—yang tidak bisa dia ketahui jejak karbonnya, sehingga tidak dimasukkan.
Sementara itu, Readhead juga merasa dia berhasil mencapai target satu tonnya, namun dia tidak bisa mencapai target yang lebih rendah lagi.
"Saya membutuhkan semua karbon itu."
Akenji mengatakan dia merasa terinspirasi oleh orang-orang seperti Readhead dan Mainprize yang benar-benar mencoba dan menguji bagaimana caranya hidup secara berkelanjutan.
"Meskipun mungkin sulit bagi mereka untuk mencapai ambang itu, apa yang sebenarnya mereka lakukan telah mencontohkan kita soal perubahan yang harus kita lakukan, di masa depan, agar gaya hidup dengan satu ton emisi karbon lebih mudah dicapai dan menjadi umum”. (*)
Tags : perubahan iklim, atasi perubahan iklim, pengurangan jejak karbon, lingkungan,