KABAR bahwa sejumlah artefak telah dicuri dari British Museum, London membuat banyak orang bertanya-tanya apa saja hambatan yang ada untuk menghentikan para pencuri mengambil beberapa harta karun paling berharga di dunia.
Direktur British Museum, Hartwig Fischer, mengundurkan diri dari posisinya pada akhir pekan ini, setelah insiden pencurian koleksi di museum itu baru-baru ini.
Dalam sebuah pernyataan, dia mengatakan jelas bahwa museum "tidak merespons secara komprehensif sebagaimana mestinya" ketika diberitahu tentang pencurian pada tahun 2021.
Museum tersebut, salah satu lembaga kebudayaan paling bergengsi di Inggris, berada di bawah tekanan sejak awal bulan ini terungkap bahwa sejumlah harta karun dilaporkan "hilang, dicuri, atau rusak".
Awal pekan ini, museum tersebut memecat seorang anggota stafnya setelah beberapa harta karun dilaporkan hilang, dan Polisi Metropolitan London melakukan penyelidikan.
Barang-barang yang dicuri bukan barang yang baru-baru ini dipajang, melainkan yang digunakan untuk penelitian.
Sejumlah pakar karya seni berkata kepada BBC, meskipun dengan pengamanan ketat, pencurian benda bersejarah dari museum adalah hal biasa. Hal demikian pernah beberapa kali terjadi di Indonesia, salah satu kasus paling parah terjadi di Sulawesi Tenggara pada 2021.
Menurut para pakar seni, benda-benda antik yang dicuri dari museum dapat kemudian dijual di pasar gelap, dileburkan, atau dijadikan koleksi pribadi. Kadang-kadang, mereka dijual dengan harga jauh lebih murah dari nilai aslinya.
Pencurian artefak terjadi "setiap hari di seluruh dunia," menurut Christopher Marinello, pengacara dan pendiri Art Recovery International. Organisasi tersebut berspesialiasi dalam penemuan dan pemulihan karya seni yang dicuri di seluruh dunia.
Namun Marinello berkata amatlah "mengejutkan" ketika institusi besar, seperti British Museum, kecolongan.
Ini bukan pertama kalinya mereka kecolongan. Pada tahun 2002, museum tersebut melakukan evaluasi keamanan setelah patung dari Yunani berusia 2.500 tahun dicuri oleh seorang pengunjung.
Si pencuri mengambil patung kepala setinggi 12 cm yang terbuat dari marmer itu dan pergi tanpa terdeteksi.
Pada saat itu, museum mengatakan tidak ada penjaga permanen yang bertugas di Galeri Arkaik Yunani — ruangan museum tempat patung itu dicuri — meskipun lokasinya terbuka untuk umum.
British Museum juga mengatakan telah meninjau pengamanan untuk koleksi-koleksinya, dan menginvestasikan banyak sumber daya, setelah cincin Cartier senilai £750.000 (Rp14,7 miliar) hilang dari koleksi aset warisannya.
Cincin tersebut belum dipamerkan kepada publik. Koleksi museum itu dilaporkan hilang ke polisi pada tahun 2011, namun detail mengenai pencuriannya tidak dibuka ke publik sampai 2017.
Di Indonesia, setidaknya ada sebelas kasus pencurian koleksi museum dalam rentang 2010-2020, menurut catatan seorang pakar.
Bahkan salah satu museum terbesar di Indonesia, Museum Nasional, sudah beberapa kali kecolongan. Insiden yang barangkali paling terkenal terjadi pada tahun 1960 ketika kelompok pimpinan Kusni Kasdut memboyong sejumlah koleksi emas dan permata setelah mengecoh penjaga museum dengan menyamar sebagai polisi.
Pada 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh memerintahkan duplikasi koleksi setelah empat artefak emas berusia 1000 tahun dicuri dari Museum Nasional. Penyelidikan polisi menemukan bahwa CCTV di ruangan tempat koleksi tersebut disimpan sudah tidak berfungsi setidaknya selama dua bulan.
Kasus pencurian museum paling parah belakangan ini ketahuan pada tahun 2021 di Museum Negeri di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari.
Diperkirakan 500 benda bersejarah hilang dari ruang penyimpanan. Foto-foto di media sosial menunjukkan lemari kaca tempat penyimpanan benda-benda tersebut menjadi kosong melompong.
Kebanyakan benda yang dicuri adalah bagian dari jenis koleksi etnologi budaya masyarakat Sulawesi Tenggara.
Ketika insiden pencurian barang-barang bersejarah ini terungkap ke publik, pengelola museum mengaku CCTV sudah lama rusak. Mereka juga mengaku tidak memiliki petugas keamanan khusus.
Kepala Museum dan Taman Budaya Sulawesi Tenggara, Dodhy Syahrulsah, mengeklaim pihaknya tidak mampu mengganti video pengintai dan membayar tenaga pengamanan museum, karena "tidak ada anggarannya."
Bicara tentang pencurian dari museum, Anda barangkali membayangkan barang-barang yang dicuri dari kotak kaca. Tetapi kebanyakan harta karun museum sebenarnya disimpan di balik pintu tertutup.
Museum Sejarah Alam, misalnya, memiliki 80 juta benda bersejarah dalam koleksinya — dan para saintis menggunakannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Hanya "sebagian kecil" dari benda-benda itu yang dipajang di depan umum, kata museum tersebut di situs webnya.
Koleksi British Museum terdiri dari setidaknya delapan juta benda, hanya sekitar 80.000 di antaranya yang dipajang di depan umum, menurut lembar fakta yang diterbitkan oleh pengelola museum pada tahun 2019.
"Lebih banyak fokus diarahkan pada langkah-langkah pengamanan untuk pameran yang dibuka untuk publik" daripada koleksi yang disimpan, kata profesor kriminologi Emmeline Taylor seperti dirilis dari BBC News.
Museum dan galeri di Inggris harus mematuhi persyaratan keamanan tertentu untuk mendapat akreditasi dari Dewan Kesenian, badan pembangunan nasional untuk kreativitas dan budaya.
Dewan mengatakan, lembaga harus mendapatkan saran keamanan untuk semua bangunan dan situs yang ditempati museum — terutama pengaturan untuk staf, sukarelawan dan pengunjung, koleksi yang disimpan dan yang ditampilkan, bangunan, dan situs.
Alice Farren-Bradley mengelola Museum Security Network, jejaring global yang berbagi informasi tentang keamanan, ancaman umum, dan risiko dengan sekitar sekitar 1.500 anggotanya.
Dia berkata artefak yang paling rapuh dan tidak mungkin dipajang atau dipinjamkan disimpan di "penyimpanan dalam". Beberapa artefak disimpan di penyimpanan umum dan lainnya dalam koleksi studi, dapat diakses atas permintaan oleh akademisi.
Idealnya, setiap benda harus diinventarisasi dengan deskripsi terperinci, nomor serta foto dari berbagai sudut, ujar Farren-Bradley. Tetapi karena usia dan ukurannya, sebagian besar koleksi tidak memiliki 100% item yang dikatalogkan.
Perlindungan lainnya termasuk benda-benda yang disimpan di ruang penyimpanan terkunci, dengan sensor elektronik di pintu masuk ke area tersebut, CCTV, serta sistem yang merekam pergerakan staf melalui kartu gesek, yang memberi mereka derajat akses.
Namun sistem ini hanya berfungsi jika ada tim keamanan yang memantau mereka dan mendeteksi bila ada yang tidak lengkap, dan jika data yang dibutuhkan masih dapat diakses, ujarnya.
Dan, dia menekankan: "Jika inventaris Anda tidak lengkap, segala langkah lain — semua tindakan keamanan lainnya — hanya akan membantu Anda sampai level tertentu dalam melindungi koleksi."
Farren-Bradley memperingatkan bahwa bisa jadi ada pencurian yang dilakukan oleh orang dalam dan bahkan tidak disadari pihak museum, karena baru ketahuan setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Dia tahu situasi di mana orang dalam tidak hanya mencuri artefak, tetapi juga mengubah catatannya sehingga bila ada yang mengecek sistem, barang tersebut seakan-akan sedang dipinjamkan, atau tidak pernah menjadi bagian dari koleksi.
Dan dia mengetahui satu kasus di mana seseorang mengeluarkan barang dari kotaknya, dan menata ulang tampilan benda-benda di dalam kotak sehingga orang yang melihat tidak langsung menyadari ada yang hilang.
Ditanya tentang langkah-langkah keamanan lain yang biasa digunakan oleh museum, dia mengatakan beberapa museum memberlakukan pemeriksaan tas menggunakan pendeteksi logam dan mesin sinar-X bagi staf dan pengunjung.
Lainnya memiliki sistem whistleblowing yang memungkinkan personel di level manapun dapat melaporkan bila ada yang salah.
"Museum perlu kebijakan atau sistem yang dapat mendengarkan laporan dari orang-orang, karena seringkali perilaku manusia adalah salah satu detektor terbaik untuk beberapa jenis masalah," katanya.
Tetapi ini baru sebagian dari gambarannya — Farren-Bradley mengatakan museum juga butuh sumber daya untuk menyelidiki laporan seperti itu, mengingat keamanan "sangat erat" terkait dengan pendanaan.
Art Loss Register, yang menjabarkan organisasinya sebagai basis data tentang karya seni milik swasta terbesar, barang antik dan koleksi yang hilang, dicuri dan dijarah, saat ini mendata sekitar 700.000 benda.
Organisasi yang berbasis di London ini membantu orang-orang memeriksa asal-usul suatu barang sebelum membeli atau menanganinya. Mereka juga memberikan bantuan gratis kepada lembaga penegak hukum dan negara.
Sekitar 450.000 pencarian dilakukan setiap tahun pada barang-barang yang dijual, atas nama pemerintah dan badan penegak hukum, rumah lelang, pameran seni, dealer, bank dan pemberi pinjaman, museum dan galeri, pegadaian, dan individu.
Marinello, dari Art Recovery International, mengatakan organisasinya dikabari tentang pencurian oleh galeri dan museum setelah inventaris selesai - yang mencantumkan benda-benda yang hilang.
Prof Taylor mengatakan ketika suatu barang langka dicuri, dimulailah "perlombaan melawan waktu" bagi mereka yang hendak menjualnya.
Kadang-kadang, barang-barang bernilai tinggi akhirnya dijual dengan harga yang relatif sedikit. Pada tahun 2005, misalnya, patung Henry Moore senilai £3 juta (sekitar Rp58 miliar) dicuri dan polisi yakin ia telah dilebur dan dijual dengan harga kurang dari £1.500 (sekitar Rp29 juta).
Marinello menjelaskan, rumah-rumah lelang terkemuka tidak akan menjual barang-barang yang mereka ketahui sebagai barang curian - mereka hanya akan menyimpannya.
Tetapi beberapa rumah lelang, katanya, memperoleh pendapatan dari komisi dan "merasa frustrasi ketika seseorang melaporkan suatu barang di ruang penjualan mereka sebagai hasil curian".
Dan kemudian ada pasar gelap. Mereka yang berdagang di situ akan menjual barang-barang "dengan diskon besar kepada kolektor dan dealer", kata Marinello, "yang tidak melakukan penelusuran teliti dan tidak benar-benar peduli".
Prof Taylor, seorang akademisi di City University London, mengatakan begitu pencuri berhasil mendapatkan suatu benda, mereka "perlu membawanya [barang curian] ke luar negeri secepat mungkin".
Mereka juga akan "perlu sudah punya pembeli", imbuhnya, karena pihak berwenang di seluruh dunia akan mengawasi pergerakan barang-barang "panas" ini.
Mengapa orang mencuri artefak?
Prof Taylor mengatakan ada tiga kemungkinan motivasi di balik pencurian oleh orang dalam di museum:
Dia menambahkan: "Biasanya ketidakjujuran staf itu awalnya sangat kecil namun meningkat seiring waktu ... Setiap kali menjadi sedikit lebih berani, mengambil sedikit lebih banyak."
Namun Farren-Bradley mengatakan pencurian artefak tidak selalu dimotivasi oleh keuntungan finansial.
Beberapa orang dalam akan mengambil benda-benda "tanpa niat untuk menjualnya, tetapi karena mereka telah merasa terikat pada koleksi tersebut dan mereka merasa bahwa mereka lebih menghargai benda-benda ini lebih dari museum itu sendiri".
Benda-benda seperti itu hanya akan disimpan sebagai kenang-kenangan di rumah mereka - dengan lembaga yang ditugaskan untuk melindunginya berpotensi tidak menyadari selama bertahun-tahun bahwa benda-benda itu hilang. (*)
Tags : benda berharga, benda di museum, mengamankan benda berharga koleksi museum, arkeologi, seni, sains,