Headline Seni Budaya   2023/07/03 13:48 WIB

Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api 'Membludak', KNPI Riau: 'Orang-orangnya Tidak Pernah Kelaparan, Tapi Banyak Juga yang Kerasukan'

Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api 'Membludak', KNPI Riau: 'Orang-orangnya Tidak Pernah Kelaparan, Tapi Banyak Juga yang Kerasukan'
Larshen Yunus, Ketua DPD KNPI Riau lihat Festival bakar Tongkang

SENI BUDAYA - Bagan Siapi-api, kota berpenduduk 164.320 jiwa [data Badan Pusat Statistik/BPS Rohil-2019) dan dari 19 Kecamatan yang ada orang di Kabupaten Rohil terkenal dengan banyak hal: hidangan lezat, kota tua bersejarah, Kuil yang spektakuler serta festival tahunan [bakar tongkang] yang terpenting bagi masyarakat agama Budha.

Namun, hal yang paling mencolok di mana-mana, dari festival bakar tongkang sampai orang-orang di jalanan, adalah rasa kedermawanan yang ada hubungannya dengan pendirian kota tersebut.

Bakar Tongkang didirikan di Riau sekitar tahun 1826 yang terkait dengan agama Budha terkenal dengan tradisi seva - perbuatan sukarela yang dilakukan untuk orang lain tanpa mengharap balasan.

"Seva berarti pelayanan tanpa pamrih, dan dalam Sikhisme itu bukan sekadar nasihat dan pedoman, tapi praktik sehari-hari," sebut Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tingkat I, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau.

Tetapi menurutnya, festival bakar tongkang terbukti mampu mendatangkan manfaat ekonomi secara langsung bagi masyarakat di Kota Bagansiapiapi, Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau.

Tradisi Bakar Tongkang Riau (wonderfulimages.kemenparekraf.go.id)

"Ritual Bakar Tongkang merupakan salah satu contoh suksesnya ritual budaya yang dimiliki Indonesia."

“Festival ini selalu mampu menarik wisatawan untuk datang. Semakin banyak wisatawan datang, dampak ekonominya dirasakan langsung oleh masyarakat. Begitu juga beragam atraksi pendukung yang disiapkan pemerintah Rohil dengan matang,” kata Larshen menyikapi acara ritual itu yang diselenggarakan tiap tahun.

Menurutnya, peran sektor pariwisata sangat membantu menyejahterakan masyarakat di Riau melebihi pendapatan dari sektor lainnya seperti minyak dan gas.

“Di sinilah fungsi pariwisata. Pariwisata hadir untuk terus menyejahterakan masyarakat. Dari mulai penginapan, kuliner, jasa, hingga oleh-oleh. Bayangkan jika 1 wisatawan menghabiskan uang Rp500.000 perhari. Jika 75.000 wisatawan sudah berapa miliar uang beredar di Bagansiapiapi," katanya.

Pemerintah daerah Rohil mencatat kurang lebih 75 ribu wisatawan hadir dalam event yang masuk dalam kalender pariwisata nasional ini.

Para wisatawan kebanyakan datang dari warga Tiongkok, Taiwan, dan warga keturunan Tionghoa.

“Perputaran uang selama Bakar Tongkang sangat besar. Hotel-hotel penuh. Pedagang kuliner, pedagang perlengkapan berdoa, hingga para penarik becak semua kebanjiran rejeki,” kata Larshen lagi.

Puncak acara Festival Bakar Tongkang sendiri ketika kapal dibakar, peserta begitu antusias untuk melihat arah tiang tongkang itu jatuh.

Kota Bagan Siapiapi

Menurut kepercayaan warga Tionghoa Bagansiapiapi, arah jatuhnya tiang menunjukkan keselamatan dan peruntungan usaha. Dimana peruntungan tahun ini berada di laut berdasarkan jatuhnya tiang.

Sejarah, tujuan dan prosesi

Bakar Tongkang merupakan tradisi masyarakat Tionghoa di Kota Bagansiapiapi. Tradisi Bakar Tongkang merupakan acara tahunan terbesar di Kota Bagansiapiapi.

Bakar Tongkang merupakan acara tahunan yang mampu menarik wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri, kata Larshen.

Pada saat festival diperkirakan terdapat ribuan wisatawan yang melihat tradisi tersebut. Bakar Tongkang Sejarah Bakar Tongkang Tradisi Bakar Tongkang terkait dengan imigran dari Cina, dimana mereka meninggalkan tanah airnya untuk menetap di Riau.

Bakar Tongkang berupa ritual membakar kapal [terakhir] yang digunakan untuk berlayar para imigran dari Cina, yang pada akhirnya memutuskan menetap di Riau.

Para imigran Cina pertama kali menginjakan kaki di Riau sekitar tahun 1826.

Peristiwa tersebut menajadi akar festival Bakar Tongkang. Daerah yang didiami para imigran Cina tersebut dikenal dengan nama Bagansiapiapi.

Dipercaya, leluhur masyarakat Bagansiapiapi adalah orang-orang Tang-lang keturunan Hokkien yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiemen, Provinsi Fujian, Cina Selatan.

"Mereka meninggalkan tanah airnya menggunakan tongkang. Kapal yang biasa digunakan untuk mengangkut pasir dan mineral di tambang. Awalnya, ada tiga tongkang yang melakukan ekspedisi, namun hanya satu kapal yang sampai ke pantai Sumatera," sebutnya mengkisahkan.

Ekspedisi yang dipimpin oleh Ang Mie Kui berhasil sampai Riau dengan mengikuti cahaya kunang-kunang, yang secara lokal dikenal sebagai siapi-api.

Mereka tiba di daerah tak berpenghuni yang terdiri dari rawa-rawa, hutan, dan padang rumput. Kemudian peserta ekspedisi menetap di tempat tersebut dan memberi nama Bagansiapiapi atau Tanah Kunang-kunang.

Para imigran bersumpah tidak ingin kembali ke tanah airnya dan membakar tongkang. Hal ini karena adanya kerusuhan berkepanjangan di negerinya. Bagansiapiapi dipandang sebagai tempat yang layak dan aman untuk bermukim.

Akhirnya, para imigran menjadi nenek moyang kelompok etnis Cina di wilayah tersebut. Peristiwa ini dirayakan setiap tahun pada hari ke-16 bulan ke-5 berdasarkan kalender Cina.

"Tradisi Bakar Tongkang juga dikenal sebagai Go Ge Cap Lak (dari kata Go berarti 5 dan Cap Lak yang berarti ke-16)."

"Tradisi dimeriahkan dengan aksi membakar replika kapal tradisional Cina pada puncak festival. Tujuan Bakar Tongkang Tradisi Bakar Tongkang atau Go Ge Cap Lak merupakan salah satu budaya yang bersifat religi untuk masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi," katanya.

Ritual tersebut untuk mengenang para leluhur dan ekspresi rasa syukur kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun, dengan cara membakar replika tongkang.

Prosesi Bakar Tongkang Bakar Tongkang yang berupa membakar replika kapal tradisional Tionghoa merupakan puncak festival Bakar Tongkang.

Sebelumnya, prosesi Bakar Tongkanga dilakukan dengan berbagai ritual dan doa oleh para peserta di kuil utama. Berbagai atraksi budaya yang bernafas oriental ditampilkan, seperti Barongsai maupun panggung hiburan untuk membawakan lagu-lagu Hokkien.

Tradisi Bakar Tongkang diikuti sekitar 100 kelenteng dengan peserta dari berbagai tingkatan usia. Replika tongkang memiliki panjang sekitar 8,5 meter dan lebar 1,7 meter yang terbuat dari kayu dengan dinding kapal yang dilapisi kertas warna-warni.

Sebelum diarak, replika tongkang disimpan selama satu malam di Kuil Eng Hok King, diberkati, dan baru dibawa ke tempat prosesi dengan cara dipanggul sepanjang jalan di Kota Bagansiapiapi. Replika tongkang dibawa menuju tempat pendaratan tongkang pertama kali.

Prosesi yang disaksikan ribuan pasang mata ini dimeriahkan dengan atraksi Tan Ki, dimana peserta menampilkan kemampuan fisik tidak terluka saat ditusuk dengan benda tajam.

Atraksi ini mirip Tatung di Singkawang, Kalimantan Barat. Sampai di lokasi, ribuan potongan kertas doa kuning akan melekat pada Tongkang.

Pada saat replika Tongkang dibakar, doa-doa dalam kertas yang ikut terbakar akan terbawa asap ke angkasa untuk leluhur mereka. Kemudian, masyarakat akan melihat titik jatuh tiang saat tongkang terbakar. Jika tiang jatuh ke arah laut, maka diyakini masyarakat akan mendapat rezeki dari laut.

Ratusan warga Tionghoa mengangkat tongkang (kapal) menuju vihara Ing Hok King di kota Bagan Siapiapi, kabupaten Rokan Hilir. Tongkang tersebut nantinya akan di doakan kemudian dibakar. Ritual Bakar Tongkang tersebut juga dihadiri oleh puluhan ribu warga Tionghoa yang sengaja datang dari berbagai kawasan.

Bakar Tongkang jadi daya tarik kota

Ritual tahunan warga Tionghoa, Bakar Tongkang menjadi daya pikat utama Kota Bagan Siapiapi.

Hal ini dipaparkan Larshen Yunus, kalau festival bakar tongkang adalah ritual etnis Tionghoa yang tinggal di Bagan Siapiapi.

Mereka membuat kapal layar yang disebut kapal tongkang dan membakarnya. Tak hanya itu, selama ritual ini, berbagai kelenteng yang memenuhi Bagan Siapiapi melakukan upacara pemanggilan roh.

Biasanya ada orang yang bersedia menjadi medium untuk dirasuki roh.

"Menariknya yang kerasukan (orang) di ritual ini yang saya lihat tak menampilkan kelihaian atau kekebalan, tapi malah tertawa. Bahkan ada pria yang kerasukan roh wanita dan buang air kecil sambil jongkok," kisah Larshen.

Menurutnya, ritual Bakar Tongkang pada dasarnya berawal dari keputusan masyarakat Tionghoa yang berlayar ke kota Bagan Siapi api.

Mereka membakar perahu mereka sebagai tanda keputusan menetap di tempat ini. Diakuinya, keberadaan Bagan Siapiapi tidak bisa dipisahkan dari peran pelayar Tionghoa.

Namun seiring perjalanan waktu, masyarakat Bagan Siapiapi banyak yang merantau. Ritual Bakar Tongkang dijadikan sebuah festival untuk mengingatkan warga Bagan Siapiapi yang merantau agar pulang.

"Setiap festival, kota pasti penuh, biasanya pengunjung sekalian berwisata kuliner selama festival," terang Larshen.

Featival Bakar Tongkang diadakan setiap tahun biasanya pada bulan Juni. Selain festival ini, "di sana [Bagan Siapiapi] nanti masyarakat menggantung lampion di rumah-rumah mereka, suasananya menarik," jelas Larshen.

Sedikitnya 40 ribu wisatawan domestik dan mancanegara menghadiri tradisi "Bakar Tongkang", kata Larshen.

Sebuah ritual kuno etnis Tionghoa yang kini menjadi daya tarik pariwisata. "Meski pelaksanaan tahun ini dilakukan usai pandemi, Bakar Tongkang tetap ramai karena diperkirakan lebih dari 40 ribu wisatawan yang datang," katanya.

Ia mengatakan, mayoritas wisatawan merupakan warga keturunan Tionghoa asal Bagansiapi-api, yang khusus kembali ke tanah leluhur mereka untuk mengikuti acara tersebut.

"Wisatawan asing ada yang datang dari Singapura, Australia, Taiwan dan Malaysia. Sedangkan wisatawan lokal banyak datang dari Jakarta, Medan, Surabaya, Cirebon, dan daerah-daerah di Provinsi Riau sendiri," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah daerah menilai tradisi Bakar Tongkang menjadi potensi pemasukan daerah dari sektor wisata. Acara tahunan itu memicu puluhan hotel baru dibangun di Bagansiapi-api yang terletak di pesisir Utara Riau itu.

"Sekarang ada puluhan hotel baru di daerah ini, berbeda jauh dari sebelumnya yang bisa dihitung dengan jari. Karena itu, sangat minim keluhan wisatawan yang sulit mendapat penginapan pada penyelenggaraan Bakar Tongkang tahun ini," ujar Larshen.

Tokoh masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api, Tan Guan Tio (88), mengatakan sudah menjadi tradisi untuk warga setempat yang merantau untuk kembali ke Bagansiapi-api menghadiri Bakar Tongkang sebagai wujud syukur.

Selain itu, kata Tan Guan Tio, ritual ini juga menjadi ajang memperkuat silaturahmi dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka yang bisa berpartisipasi langsung.

"Panggilan hati nurani mereka yang berhasil di perantauan, dan jadi kebanggaan ketika bisa pulang ke kampung halaman," ujar Tan.

Puncak ritual tersebut digelar pada Sabtu petang (14/6) dengan membakar replika kapal tongkang yang merupakan puncak ritual Go Gwe Cap Lak atau Bakar Tongkang.

Acara itu, sebut Tan Guan Tio, merupakan ritual warga Tionghoa Bagansiapi-api dalam mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Dewa Laut atau Dewa Kie Ong Ya yang telah memberikan hidup lebih baik.

"Orang-orang tua masih percaya, arah tiang tongkang yang jatuh akan menunjukkan rezeki tahun ini. Kalau tiang jatuh ke laut, maka rezeki banyak di usaha di laut dan kalau ke darat maka sebeliknya rezeki banyak di darat," katanya.

Tetapi seperti disebutkan Larshen Yunus lagi, perputaran uang dalam ritual Bakar Tongkang cukup besar.

"Contoh paling kecil, bisa dilihat dari persiapan ritual dilihat dari ratusan hio (dupa) raksasa, lilin dari ukuran kecil hingga setinggi 1,5 meter, hingga uang kuning untuk sembahyang yang disumbang oleh warga dari berbagai penjuru daerah."

"Semuanya itu disumbangkan oleh warga Bagansiapi-api yang merantau, agar mereka didoakan makin banyak rezeki dan untuk membantu saudara-saudara di Bagansiapi-api," kata Larshen.

Ia mengatakan, ratusan hio raksasa disumbang warga untuk ritual tahun ini yang dibakar selama dua hari terakhir.

Harganya yang paling murah Rp100 ribu dan yang ukuran raksasa setinggi dua meter harganya sampai jutaan Rupiah.

"Bagi warga Bagansiapi-api, ritual ini jauh lebih sakral dibandingkan dengan perayaan Imlek maupun Cap Go Meh. Hampir seluruh warga Tionghoa kelahiran Bagansiapi-api pulang dari seluruh penjuru, baik dari berbagai kota dalam negeri maupun mancanegara," sebutnya.

Potongan kertas doa kuning dalam Tradisi Bakar Tongkang Riau (wonderfulimages.kemenparekraf.go.id)

Jadi Larshen melihat tentang sejarah ritual bakar tongkang bermula dari legenda perantauan 18 warga Tionghoa dari Fujian, dipimpin Ang Mie Kui, yang menyeberangi lautan dari daratan Tiongkok pada tahun 1820.

"Mereka mengarungi samudra untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka membawa serta patung Dewa King Ong Ya di atas kapal."

"Para perantauan itu sempat kehilangan arah dan nyaris putus harapan sebelum akhirnya melihat cahaya dari daratan, yang menjadi tempat tinggal baru mereka dan diberi nama Bagansiapi-api. Kabarnya mereka lantas membakar kapal yang mereka bawa sebagai bentuk sumpah bahwa mereka akan menetap di Bagan. Sejak saat itu, replika perahu atau tongkang yang terbuat dari bambu, kayu, dan kertas dibakar sebagai bentuk syukur," terang Larshen. (*)

Tags : bakar tongkang, bagan siapi-api, rohil, festival bakar tongkang, wisata riau,