NUSANTARA - Alih fungsi kawasan hutan di Kalimantan Barat 'secara masif dan berlebihan' untuk kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan, kata organisasi lingkungan, mengancam keselamatan manusia dari potensi bencana ekologis.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jumlah luas kawasan hutan produksi untuk investasi di Kalimantan Barat (Kalbar) mencapai 12 juta hektare, dari total wilayah 14,7 juta hektare, meningkat lebih dari 100% dibandingkan rencana tata ruang hutan produksi sebesar 6,4 juta hektare.
Salah satu akibatnya, dapat terlihat dari banjir yang terjadi wilayah daerah aliran sungai (DAS) Kapuas, seperti Kabupaten Sintang, Malawi, Sanggau, dan Sekadau, di Kalimantan Barat.
Banjir di Sintang terus berlangsung hingga kini - hampir tiga minggu. Banjir tersebut menurut data BNPB, menggenangi di 12 kecamatan. Sebanyak 140.468 jiwa terdampak banjir dan dua warga dilaporkan meninggal dunia.
Banjir yang terjadi di wilayah DAS Kapuas, berpotensi juga terjadi di wilayah lain di Indonesia, khususnya wilayah yang hutannya telah rusak.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Barri menyebut kawasan rawan mencakup wilayah Kalimantan lain seperti Kalimantan Tengah, serta juga Aceh, Riau, dan Sulawesi Selatan.
Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengatakan, banjir disebabkan oleh kerusakan DAS Kapuas yang telah mencapai 70% akibat pertambangan liar dan perkebunan.
Berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, terdapat lebih dari satu juta hektare lahan kritis dari total 14 juta luas DAS di Kalbar, dan mayoritas berada di DAS Kapuas.
Tiga pekan belum surut, 'banjir masih setinggi leher'
Di antara warga yang terdampak adalah Hafidzin, warga Sungai Ulak kecamatan Sintang (45 tahun). Dalam tiga minggu ini ia tinggal di pengungsian.
Rumahnya masih terendam oleh banjir lebih dari satu meter sehingga tidak bisa ditinggali.
Ia dan beberapa warga mengeluh kesulitan terhadap air bersih dan kebutuhan pokok lainnya.
"Yang paling susah saat ini adalah akses air bersih, gas, serta kebutuhan bahan pokok, kami di dalam Kota Sintang sendiri. Hampir semua wilayah terendam banjir lebih dari satu meter," katanya dirilis BBC News Indonesia, Kamis (11/11).
Keluhan sama juga diungkapkan Nova yang memiliki putri berusia dua tahun.
"Di rumah, air setinggi leher. Dampaknya ke faktor ekonomi, suami tidak bisa kerja. Kami butuh makan dan keperluan balita karena kami tidak bisa apa-apa," ujarnya.
Badan Penggulangan Bencana Daerah (BPB) Kabupaten Sintang mencatat, ada kurang lebih 35.117 unit rumah yang terendam banjir hingga 300 sentimeter, lima unit jembatan rusak berat dan beberapa sarana prasarana lainnya yang terdampak.
Pemerintah Kabupaten Sintang telah memperpanjang masa tanggap darurat bencana banjir yang disebut "terparah dalam 50 tahun terakhir" selama 30 hari terhitung mulai 13 Oktober hingga 16 November 2021.
'Alih fungsi hutan yang berlebihan'
Banjir di Sintang adalah satu dari lebih 40 bencana banjir yang terjadi di sejumlah tempat di Kalimantan Barat, data BPBD Kalimantan Barat sepanjang Januari hingga September 2021.
Rangkaian bencana tersebut, menurut Direktur Eksekutif WALHI Kalbar, Nikodemus Ale, disebabkan oleh alih fungsi hutan yang masif dan berlebihan (overload).
"Dalam rencana tata ruang Provinsi Kalbar, kawasan produksi hutan sebesar 6,4 juta hektare dari total wilayah 14,7 juta hektare, dan sisanya adalah kawasan non-produksi."
"Tapi kenyatannya, luas kawasan investasi baik tambang, sawit, dan sektor kehutanan lain, sangat masif, lebih dari 12 juta hektare. Artinya, hutan ini sudah overload, tidak mampu lagi menjamin keselamatan manusia dari ancaman bencana ekologis," kata Nikodemus.
"Jadi semua kejadian bencana ekologis ini akibat perencanaan tata ruang yang buruk. Kita sekarang baru memasuki fenomena La Nina, tapi banjir sudah sebesar ini," ujarnya.
Menurut data Global Forest Watch, Kalbar kehilangan 1,25 juta hektare hutan primer dari tahun 2002 hingga 2020. Kemudian, pada tahun 2020, Kalbar kehilangan 3,58 juta hektare tutupan pohon, atau mengalami penurunan 26% penurunan tutupan pohon sejak 2000.
Empat wilayah yang berkontribusi terbesar adalah Ketapang, Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu.
Meluapnya DAS Kapuas, 'Maraknya perkebunan dan pertambangan'
Banjir yang melanda empat kabupaten, dengan yang terparah di Sintang, disebabkan oleh rusaknya DAS Kapuas yang kini telah mencapai 70%, kata Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji.
"Pendangkalan sungai cepat sekali, muara Kapuas kalau tidak pasang itu tujuh meter, sekarang 4,6 meter, sudah ada dua meter pendangkalan. Mengapa sendimentasi ini cepat? karena di perhuluan ada pertambangan emas tanpa izin (PETI), bahkan pakai eskavator." kata Sutarmidji, Selasa (09/11).
"Lalu alih fungsi lahan dari hutan berbagai jenis tumbuhan menjadi satu jenis (sawit). Saya juga tidak setuju itu dengan HTI (hutan tanaman industri). Dari 10 yang diberi izin, hanya satu yang tanam, yang lain tebang kayu lalu ditinggalkan," tambahnya.
Sebagian besar daerah tersebut masuk dalam wilayah DAS Kapuas. Menurut data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari 14 juta hektare luas DAS di Kalbar, terdapat 1,01 juta hektare DAS dalam kondisi kritis, yang mayoritas terjadi di DAS Kapuas.
"Dari sekitar satu juta hektare lahan kritis, paling besar ada di DAS Kapuas," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Barat Adi Yani.
Adi mengatakan, DAS Kapuas (selain DAS Pawan dan DAS Jelai di Kalbar) mengalir dari Kabupaten Kapuas Hulu, Melawi, Sintang, Sekadau hingga Kota Pontianak.
"Sehingga kalau ada hujan lebat, tidak ada tutupan lahan, tanah menjadi lumpur dan mengalir ke sungai dan terjadi pendangkalan sementara debit air di sungai sudah maksimal, ditambah curah hujan yang tinggi, sehingga luber semua," kata Adi
"Penyebab rusaknya DAS Kapuas adalah aktivitas PETI di darat hingga atas sungai, alih fungsi hutan jadi kebun sawit, pembangunan infrastruktur, pemukiman, hingga kebakaran hutan dan lahan, ditambah debit air yang tinggi," ujar Adi.
Untuk itu, salah satu upaya yang dilakukan Pemprov Kalbar adalah melakukan moratorium perizinan dan rehabilitasi lahan yang kritis dengan memfokuskan pada wilayah DAS Kapuas.
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Ganip Warsito mengatakan, kejadian banjir di Sintang dapat dicegah melalui tata kelola ruang yang baik dan benar serta perilaku masyarakat untuk lebih peduli dan memahami tentang pemanfaatan alam yang berkelanjutan untuk kehidupan di masa depan.
Ganip juga mengingatkan pada November hingga Februari sebagian besar mengalami fenomena La Nina yang dapat memicu terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan dari 20% hingga 70%.
Ancaman banjir di Indonesia
Banjir yang terjadi di Sintang yang disebut akibat tata ruang yang buruk, menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Barri berpotensi juga terjadi di wilayah lain di Indonesia, khususnya wilayah yang hutannya telah rusak.
"Tahun 2018 kami pernah menganalisis antara rasio tutupan hutan dengan indeks resiko banjir BNPB. Hasilnya wilayah yang memiliki indeks resiko banjir tinggi adalah yang tutupan hutan cenderung sedikit," kata Mufti.
Daerah yang rawan banjir itu, meliputi Jawa, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan lainnya.
"Yang masih aman itu Maluku dan Papua. Pemerintah harus melakukan pendekatan pemulihan dan rehabilitasi DAS dalam mencegah banjir, jangan kalkulasi nasional. Jika tidak bisa, pendekatannya provinsi yang diprioritaskan," kata Mufti.
Pada pekan pertama November 2021, telah terjadi 32 bencana banjir di seluruh Indonesia dengan korban meninggal Sembilan jiwa dan dua hilang. (*)
Tags : Banjir, Banjir Bisa Setinggi Leher, Nusantara, Walhi, Hutan Tidak Mampu Lagi Menjamin Keselamatan Manusia,