Headline Nusantara   2021/01/21 21:9 WIB

Banjir 'Dipicu' Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder

Banjir 'Dipicu' Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder
Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/01). Banjir ini digambarkan sebagai banjir terbesar yang melanda provinsi tersebut. (Foto. Antara)

NUSATARA - KLHK mengatakan penurunan luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di Kalimantan Selatan mencapai 62,8%. Sebelumnya tim tanggap darurat bencana di LAPAN menyebut penyebab banjir terbesar itu adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder dalam 10 tahun terakhir di keseluruhan provinsi tersebut.

KLHK menyebutkan penurunan luas hutan alam di DAS Barito, wilayah yang mengalami bencana banjir di Kalsel, terjadi selama periode 1990-2019. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1990-2000 sebanyak 55,5%.

Untuk itu KLHK merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat dan memfokuskan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah sumber penyebab banjir. Sebelumnya, tim tanggap darurat bencana di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalimantan Selatan itu adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir.

Dengan alasan ini, LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh pemberian izin tambang dan perkebunan sawit di provinsi itu lantaran menjadi pemicu degradasi hutan secara masif. Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, Roy Rizali Anwar, sendiri menjanjikan bakal melakukan audit secara komprehensif terkait penggunaan lahan di sana agar bencana serupa tidak terulang.

Anomali cuaca

Dalam jumpa pers pada Selasa (19/01), lima hari setelah banjir terjadi, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, RM Karliansyah, juga menyebutkan bahwa hujan bercurah tinggi dan anomali cuaca sebagai penyebab utama. "Sistem drainase tak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar. Selain itu lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah serta bermuara di laut. Sehingga merupakan daerah akumulasi air," kata Karliansyah.

"Lokasi banjir berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito di mana kondisi infrastrusktur ekologis - atau jasa lingkungan pengatur air - sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk," kata Karliansyah kepada media melalui konferensi pers virtual dirilis BBC Indonesia, Senin (19/01)

Ia mengatakan bahwa curah hujan mencapai hingga sembilan kali lipat dari sebelumnya. "Normal curah hujan bulanan Januari 2020 sebesar 394mm. Sedangkan curah hujan harian 9-13 Januari 2021 sebesar 461mm selama lima hari. Atau terdapat kejadian sebesar 8-9 kali lipat curah hujan."

"Dengan dimikian, volume air yang masuk juga luar biasa," katanya.

Menurut KHLK, air yang masuk ke Sungai Barito mencapai sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3. Ia menambahkan bahwa topografi wilayah juga mempengaruhi timbulnya banjir. "Lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah," ujarnya.

Penurunan luas hutan primer

Sebelumnya, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare. Sebaliknya, kata Rokhis, area perkebunan meluas "cukup signifikan" 219.000 hektare. Kondisi tersebut, ia melanjutkan, "memungkinkan terjadinya banjir" di Kalimantan Selatan, apalagi curah hujan pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8 yang diterima stasiun di Jakarta.

"Ya itu analisis kami, makanya disebutkan kemungkinan. Kalau dari hujan berhari-hari dan curah hujan yang besar sehingga perlu analisis pemodelan yang memperlihatkan apakah pengaruh penutup lahan berpengaruh signifikan," ujar Rokhis, Minggu (17/01).

Data yang ia pegang menunjukkan total area perkebunan di sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito kini mencapai 650.000 hektare. Jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area. Kendati area hutan masih mendominasi, tapi Rokhis berharap tidak terus tergerus. Sebab kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan Kalimantan Selatan termasuk daerah yang berisiko terhadap bencana banjir. "Kita paham bahwa perkebunan itu berhubungan dengan ekonomi, tapi harus diperhatikan unsur lingkungannya," imbuh Rokhis.

Pantauan LAPAN setidaknya ada 13 kabupaten dan kota yang terdampak banjir, tujuh di antaranya luas genangan banjir mencapai 10.000 sampai 60.000 hektare. "Kabupaten Barito luas genangan 60.000 hektare, Kabupaten Banjar 40.000 hektare, Kabupaten Tanah Laut sekitar 29.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kira-kira 12.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Selatan mencapai 11.000 hektare, dan Kabupaten Tapin 11.000 hektare."

Evaluasi izin perkebunan sawit

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mencatat 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. "Tambang 33%, sawit 17%," ujar Kiworo.

Merujuk pada kondisi itu, ia mengaku telah berulang kali memperingatkan bahwa provinsi tersebut dalam kondisi darurat bencana ekologis dan konflik agraria lantaran mayoritas pemilik tambang maupun sawit adalah perusahaan skala besar. Oleh karena itu, ia tak kaget jika bencana ekologis itu terjadi saat ini dan yang "terparah dari tahun-tahun sebelumnya". "Banjir besar pernah terjadi tahun 2006 tapi tidak sampai merendam 13 kabupaten dan kota. Ini yang terbesar. Kalau hujan, banjir setiap tahun kalau kemarau kebakaran lahan."

Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang dikeluarkan. Sebab ia meyakini "alih fungsi lahan tersebut menyebabkan degradasi hutan". Jika dalam audit ada operasi tambang maupun perusahaan sawit yang dianggap memicu bencana, maka ia berharap pemerintah berani mencabut izin tersebut. "Misalnya izin ini dicabut, yang ini digugat, ini izin masih diperlukan. Meskipun kalau Walhi minta cabut semua. Tapi kebijakan pemerintah kan tidak bisa sampai ke sana. Nah evaluasi itu inginnya melibatkan masyarakat sipil jangan hanya konsultan."

"Dan di-share hasil dan kesimpulannya."

"Karena dampak lingkungan ini sampai ke anak cucu. Kalau hanya denda pasti mereka (perusahaan) sanggup membayar. Kalaupun ditutup bisa bikin perusahaan baru."

Selain bertindak tegas pada perusahaan, Walhi juga meminta pemerintah daerah meninjau Kembali aturan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Kalimantan Selatan.

Apa tanggapan pemerintah?

Sekretaris Daerah Kalimantan Selatan, Roy Rizali Anwar, menjanjikan bakal melakukan evaluasi terhadap penggunaan lahan di provinsinya untuk mengetahui penyebab banjir terbesar ini dalam waktu dekat. Namun begitu, ia tidak memberikan target kapan evaluasi itu selesai. "Kami akan kaji secara komprehensif apa penyebabnya sehingga tidak terulang. Karena yang terdampak sangat luas hampir 2,6 juta hektare. Kita kaji dari sisi penggunaan lahan, aliran sungai, permukiman," ujar Roy Rizali Anwar.

Sejauh ini, pemprov terkendala dalam mengevakuasi dan menyalurkan bantuan kepada warga yang paling terdampak banjir yakni di Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Tanah Laut. Pasalnya dua jalan nasional terputus. Karena itu pada Minggu (17/01), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan satu helikopter bantuan. Sementara itu korban meninggal tercatat 16 orang dan ratusan ribu orang mengungsi. Roy mengatakan pihaknya berusaha tetap menerapkan protokol Kesehatan di lokasi pengungsian mengingat kondisi pandemi Covid-19.

"Yang pasti karena masih pandemi kami libatkan satgas untuk memastikan protokol kesehatan di pengungsian berjalan."

'Ini banjir terparah sepanjang hidup saya'

Kepala Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Muhamad Asfi, mengatakan seribuan orang telah diungsikan ke sejumlah rumah kerabat, masjid, dan stadion di Kecamatan Martapura Kota. Mereka yang prioritas mengungsi yakni lansia dan anak-anak. Sementara beberapa pemuda masih berada di rumah untuk menjaga harta benda.

Asfi bercerita, sepanjang ia tinggal di Kalimantan Selatan bencana banjir tahun ini menjadi yang terparah. Kalau saban tahun banjir merendam persawahan warga, kini termasuk rumah dengan ketinggian hampir satu meter. "Ini banjir terparah dalam hidup saya," kata Asfi kepada BBC News Indonesia. "Pada hari pertama banjir, kita angkut warga pakai truk. Tapi karena banjir semakin tinggi pakai perahu klotok."

Kata dia, Sungai Martapura yang dekat dengan desanya sudah bertahun-tahun tidak dikeruk sehingga tak sanggup menampung deras air hujan dari hulu.

"Karena sungai-sungai itu dangkal, jadi ke lautnya lambat."

Hingga kini, bantuan makanan dan pakaian sudah dibagikan kepada para pengungsi. Tapi ia memperkirakan makanan berupa beras hanya bertahan dua hari sementara banjir akan surut dalam beberapa hari mendatang. Karena itu ia berharap pemprov segera mendistribusikan bantuan tambahan. Termasuk pula, popok untuk anak-anak dan bayi. "Bantuan agar diperbanyak. Karena banjir masih satu mingguan, soalnya banjir lama surut."

Di lokasi pengungsian, lanjut Asfi, tak ada pembatas untuk menghindari penularan virus corona. Sebab tempatnya yang terlalu kecil untuk menampung banyak orang. "Kami enggak ada jarak lagi. Selamat saja sudah mending, jaga-jaga jarak sudah enggak ada lagi," kata Asfi. (*)

Tags : Banjir, Kalimantan Selatan, Dipicu Berkurangnya Area Hutan, HUtan Primer dan Sekunder,