SENI BUDAYA - Banyak pelancong beranggapan bahwa Venesia yang "autentik" telah lama hilang, namun kota ini sesungguhnya masih menyimpan sisa-sisa peradaban yang pernah besar, dengan bahasa dan adat istiadatnya sendiri.
Orang-orang Venesia memiliki kemampuan luar biasa untuk menghindar, menangkis, membaur, dan menghilang dalam sekejap mata. Mungkin itu sebabnya, banyak pelancong yang menyangka kehidupan "asli" di Venesia telah lama punah, terinjak-injak oleh ratusan juta kaki turis setiap hari. Namun kenyataannya, kota ini masih menyimpan budaya asli leluhurnya— peninggalan terakhir sebuah peradaban yang dulu pernah besar, dengan bahasa dan adat istiadatnya sendiri.
Cara hidup ini memang kian terancam, namun di sisi lain masih begitu menggelora. Hanya, sulit untuk melihatnya dengan mata yang tidak terlatih. Bangunan-bangunan tua di Venesia mungkin mencolok karena terbalut kemewahan: lihat saja mozaik berkilauan yang melapisi Basilika Santo Markus; pahatan batu Gotik yang seperti renda di Ca' d'Oro; atau marmer kuning cantik yang menghiasi Gereja Santa Maria dei Miracoli.
Kebalikannya, orang-orang Venesia lebih suka berpakaian yang membuat mereka bisa berbaur dengan kerumunan, tidak menonjol seperti burung merak, menurut warga asli Venesia, Sebastian Fagarazzi. Dia mendirikan Venezia Autentica, sebuah organisasi bisnis sosial yang fokus pada melestarikan budaya Venesia. "Mereka cenderung lebih suka memakai pakaian dengan warna netral dan menghindari perhiasan yang berkilauan," ujar Fagarazzi, menambahkan bahwa sepatu tanpa hak biasa dipakai oleh perempuan maupun laki-laki, dan, tidak seperti orang Italia lainnya, warga Venesia memandang sinis label desainer ternama.
Kecenderungan untuk tampil sederhana ini berakar dari kebudayaan kuno. Venesia kemungkinan besar didirikan ketika pasukan Goth dan Kekaisaran Hun menjarah Kekaisaran Romawi yang runtuh pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi. Menurut legenda dan secuil bukti sejarah yang masih tersisa, orang-orang Venesia pertama adalah para pedagang kaya raya dari daratan yang menyembunyikan diri bersama harta mereka di laguna-laguna Venesia yang penuh lumpur.
Keturunan para saudagar ini kemudian melanjutkan kegiatan berdagang, dengan bekal rahasia-rahasia yang menguntungkan — mereka tahu di mana membeli barang-barang yang murah dan ke mana menjualnya dengan harga mahal. Rahasia-rahasia menyangkut industri, perdagangan, hingga negara disimpan dengan ketat, sampai-sampai Venesia mendirikan Cancelleria Secreta, atau gedung Kanselir Rahasia, yang bahkan tidak boleh dimasuki oleh pemimpin kota tersebut sendirian.
Seribu tahun kemudian, Venesia telah beralih, dari laguna berlumpur yang kumuh menjadi kota yang memesona dan kerajaan dagang yang masyhur. Geografi Venesia yang dibatasi air memperkuat nuansa rahasia itu. "Film-film menggambarkan Venesia seperti labirin yang gelap, tempat sempurna untuk melakukan kejahatan," ujar Fagarazzi dirilis BBC.
"Tapi orang Venesia tahu, itu kebalikannya"
Tidak ada mobil atau truk berseliweran, jelasnya, untuk menyembunyikan percakapan rahasia. Tidak ada hutan atau pedalaman untuk melarikan diri. Dan bahkan lorong-lorong tergelap di kota ini bisa jadi penuh dengan mata dan telinga tersembunyi. "Kami tumbuh di kota ini dengan perasaan seperti ke mana pun kami pergi, selalu ada nonna yang mengawasi dari balik tirai," ujar Fagarazzi.
Nonna berarti "nenek" dalam bahasa Italia. Valeria Duflot, perempuan kelahiran Prancis yang juga pendiri Venezia Autentica dan kekasih Fagarazzi, merasakan sendiri pengalaman ini di awal-awal hubungan mereka. Saat sedang berjalan-jalan sendirian menikmati Venesia, ia berpapasan dengan ayah Fagarazzi. Mereka mengobrol selama beberapa menit, sebelum Duflot meneruskan jalan-jalannya.
Saat Duflot kembali ke rumah, ia menemui Fagarazzi sedang tertawa-tawa melihat telepon. Seorang teman mengiriminya pesan, mengatakan Valeria terlihat berbincang dengan pria yang "mungkin" adalah ayah Sebastian. "Kupikir kamu harus tahu," tulis sang teman.
"Bisa dibilang, gosip cepat menyebar di sini," kata Duflot.
Alasannya mudah dipahami. Berabad-abad lalu, warga Venesia bahkan mengenakan topeng saat melakukan kegiatan sehari-hari. Ini adalah satu-satunya cara mendapatkan sedikit kebebasan di kota dengan sedikit privasi — dan orang sangat hati-hati menjaga reputasi mereka di depan publik. Ini masih berlaku hingga kini. Topeng khas Venesia pertama kali disebutkan pada abad ke-13, dan pada abad ke-17 dan 18, para elite begitu sering memakainya sampai-sampai pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang membatasi penggunaan topeng hingga maksimal tiga bulan dalam setahun, dari Natal hingga awal Prapaskah.
Penyamaran tradisional Venesia lain, yang dikenal dengan nama bauta, menyembunyikan bagian tubuh pemakainya lebih banyak daripada sekadar topeng biasa. Pemakai bauta akan mengenakan topi lancip, dilengkapi dengan jubah panjang seperti tenda yang bisa menyembunyikan bentuk tubuh pemakainya. Topeng yang menutupi seluruh wajah, termasuk hidung dan mulut, bahkan menyamarkan suara pemakainya.
Pembuat topeng saat ini masih memproduksi bauta. Memakai salah satu topeng itu lalu berkaca adalah pengalaman yang luar biasa. Anda bisa melihat sendiri bagaimana jejak identitas Anda menghilang di depan mata. Selain dipakai dalam perayaan Carnival yang terkenal di Venesia, memakai bauta di hari-hari ini justru akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Meski begitu, warga Venesia sendiri punya semacam bauta virtual yang memberi sinyal pada warga Venesia lain saat mereka ingin diabaikan. Katakanlah Anda sedang mengalami hari yang buruk dan ingin berjalan-jalan tanpa diperhatikan di kota. Ini bukan hal mudah, mengingat hanya ada jalan kecil untuk pejalan kaki di mana Anda bisa terus-terusan berpapasan dengan teman dan tetangga.
Cuek kepada mereka bukan pilihan, karena Anda bisa dianggap tidak sopan di budaya Venesia yang sangat ramah. Pilihan lainnya? Berjalan dengan cepat, tundukkan kepala, dan ketika ada orang yang menyapa, jangan memperlambat laju. Cukup lempar senyum sekilas sambil membuat gestur ciao, dan terus berjalan. Bahkan saat orang bisa melihat bahwa Anda sedang mengalami hari yang buruk, mereka akan berpura-pura memahami Anda sedang terlambat menuju ke suatu tempat, dan semua orang menyelamatkan muka.
Untuk menghindari perhatian yang tak diinginkan, orang Venesia bahkan memiliki bahasanya sendiri, yang berfungsi sebagai tudung tak terlihat untuk melindungi ranah pribadi mereka. Bahasa yang disebut Venexià ini kerap disebut sebagai dialek, namun banyak ahli bahasa yang menganggapnya sebagai bahasa tersendiri. Dalam buku yang dirilis pada 1909, Italian Hours, penulis Henry James menyebut Venexià sebagai "bahasa ceriwis yang menyenangkan dan membantu membentuk kehidupan di Venesia selayaknya percakapan yang panjang."
"Bahasa ini, dengan peniadaan bunyi tertentu dalam pengucapannya, transposisinya yang aneh, dan ketidaksukaannya pada huruf konsonan, memiliki sesuatu yang sangat manusiawi dan akomodatif," tukas James.
Seabad kemudian, penjelasan James ini masih terasa masuk akal. Jika Anda berjalan-jalan di lingkungan kelas pekerja di area Cannaregio dan Castello, Anda akan mendengar orang-orang saling mengobrol atau memanggil tetangga dari seberang kanal dengan tutur yang melantun. Meskipun Anda tak mengerti satu patah kata pun, Anda akan mendengar apa yang disebut oleh para ahli bahasa sebagai "intonasi mendayu-dayu" yang berirama — suara yang kita pakai ketika kita bicara pada orang yang kita sayangi atau kepada anak kecil.
Saat Venesia semakin ramai oleh turis, bahasa Venexià telah berevolusi menjadi semacam bahasa "dalam kelompok", menurut Ronnie Ferguson, profesor bahasa Italia di Universitas Saint Andrew dan penulis buku A Linguistic History of Venice. "Bahasa ini menjadi identitas dan sekaligus cara untuk mengecualikan orang dari luar Venesia," ujar Ferguson.
Masuk akal jika orang-orang Venesia ingin menjaga supaya bahasa mereka tetap eksklusif. Venesia yang bersejarah hanya memiliki kurang dari 60.000 penduduk, namun menerima lebih dari 30 juta wisatawan setiap tahun. Berkat bahasa Venexià, orang-orang asli Venesia bisa masuk ke dalam bar atau toko yang penuh sesak, dan dengan beberapa frasa saja, mereka bisa membicarakan hubungan kekerabatan dengan penjaga toko, mendapatkan layanan dengan perhatian lebih, dan bahkan mendapatkan diskon warga lokal untuk makanan atau segelas anggur.
Dengan begini, Venexià menciptakan kota virtual di dalam kota Venesia — kota yang hanya bisa dimasuki oleh warga asli Venesia. Sayangnya, bahkan Ferguson, yang ibunya adalah asli Venesia, kadang-kadang merasa dikucilkan dari bahasa yang telah diketahuinya dengan akrab ini. "Orang Venesia mulanya terlihat senang jika mendengar saya bicara dengan bahasa mereka, tapi juga terkejut karena mereka melihat saya sebagai orang asing," jelasnya.
"Mereka akan, setelah beberapa saat, beralih ke bahasa Italia. Lagi pula, bagi mereka, saya bukan orang dalam."
Adriano Valeri, penduduk asli Abruzzo, mengalami hal yang sama saat mencoba bicara dengan bahasa Venesia. Ketika ia tiba di kota tersebut untuk belajar seni di Accademia di Belle Arti di Venezia (Akademi Seni Rupa Venesia), Venexià adalah bahasa asing baginya, tak ubahnya seperti bahasa Spanyol atau Prancis. Namun ia berbagi studio dengan mahasiswa kelahiran Venesia yang hanya berbicara padanya dengan bahasa Venexià.
Lambat laun, Valeri mulai memahami bahasa ini. Tak lama, ia bisa merespons percakapan dengan bahasa Venexià, dan pada akhir tahun pertama dia bisa berbicara bahasa ini dengan lancar. Pada suatu malam, seorang petugas pembersih mendesaknya keluar dari studio supaya dia bisa mengunci pintu. Seperti biasa, Valeri minta tambahan waktu beberapa menit — tapi kali ini ia meminta dengan bahasa Venexià, bukan Italia. "Dia berhenti berjalan, berbalik menghadap saya, dan dengan bahasa Italia yang tegas dia berkata, 'Kamu terdengar sangat konyol saat berbicara dalam bahasa Venexià'," Valeri berkisah.
Valeri menghabiskan tujuh tahun lagi di Venesia, tapi sejak itu, ia hanya berbicara dengan bahasa Venexià di dalam ruang studionya saja. Kisah-kisah ini mungkin membuat orang-orang Venesia terdengar seperti sebuah klan, namun mereka secara alami adalah orang-orang yang penuh rasa ingin tahu dan berpikiran terbuka. Oleh karena kota mereka sudah terlalu padat dengan turis, orang-orang Venesia sangat suka melarikan diri ke perairan laguna yang terbuka.
Hanya ada sedikit turis yang berkelana di sini, karena gondola dan taksi air sangat mahal. Karena itu juga, laguna menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengamati warga Venesia di lingkungan aslinya, menurut Fagarazzi. Pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni di laguna ini sangat populer, terutama bagi kaum muda yang ingin melarikan diri dari pengawasan orang tua mereka. Tempat favorit mereka, kata Fagarazzi, adalah Poveglia, sebuah pulau dengan puing-puing bekas sebuah bangunan rumah sakit jiwa.
Bahkan lebih menarik adalah bacan — gundukan pasir di laguna yang berubah menjadi pulau-pulau kecil saat air sedang surut. "Bacan adalah tempat sempurna untuk piknik di sore hari," kata Fagarazzi. "Atau bisa juga menjadi bar yang sangat syahdu di malam hari."
Tempat persembunyian berpasir ini biasanya kecil dan sederhana: hanya butuh sebotol bir dan pemutar musik, dan volume yang cukup rendah sehingga obrolan dengan bahasa Venexià bisa terdengar. Ketika air pasang naik kembali, semua jejak pesta warga asli Venesia akan menghilang, disapu ombak. (*)
Tags : Budaya Unik Venesia, Pelancong Beranggapan Budaya Venesia Hilang,