Sejarah   2021/01/07 17:25 WIB

Batu Mineral Litium Untuk Energi Terbarukan, Terkubur Jauh 'Dibawah Bumi'

Batu Mineral Litium Untuk Energi Terbarukan, Terkubur Jauh 'Dibawah Bumi'
Batu mineral yang mengandung litium.

"Litium adalah mineral yang sangat penting untuk bertransisi ke penggunaan energi terbarukan. Namun penambangannya masih terlalu merugikan lingkungan"

iapa nyangka, sumber litium yang lebih berkelanjutan terkubur jauh di bawah kaki kita. Cornwall, Inggris, 1864. Sebuah sumber mata air panas ditemukan nyaris 450 meter di bawah permukaan tanah di Wheal Clifford, sebuah tambang tembaga di luar Kota Redruth.

Botol-botol kaca dibenamkan ke dalam air yang menggelegak. Sampel kemudian diambil, disegel dengan hati-hati, dan dikirim ke laboratorium untuk diteliti. Sampel tersebut ternyata mengandung litium dalam jumlah besar — delapan hingga 10 kali lebih banyak per galon dibandingkan dengan sampel yang diambil di sumber air panas lain. Para ilmuwan menduga elemen ini "punya nilai komersial yang besar".

Namun Inggris pada abad ke-19 tidak butuh litium. Air panas bersuhu 50 derajat Celsius yang kaya litium ini lantas menguap ke kegelapan selama lebih dari 150 tahun. Mari menuju ke musim panas 2020. Sebuah situs pertambangan di dekat Wheal Clifford di Cornwall terkonfirmasi memiliki kandungan litium tertinggi di perairan geotermal. Penggunaan komersial litium pada abad ke-21 menggelora. Tidak hanya dipakai di dalam ponsel pintar dan komputer jinjing, litium penting dalam transisi umat manusia menuju energi bersih. Ia dipakai untuk baterai yang menggerakkan mobil listrik dan menyimpan energi, sehingga daya terbarukan bisa digunakan kembali.

Permintaan litium melonjak beberapa tahun terakhir, salah satunya karena produsen mobil mulai memproduksi kendaraan listrik. Banyak negara, termasuk Inggris, Swedia, Belanda, Prancis, Norwegia, dan Kanada telah mengumumkan penghentian penggunaan mobil berbahan bakar minyak. Faktanya, kita butuh litium lima kali lebih banyak dari jumlah yang sudah ditambang saat ini untuk bisa memenuhi target iklim pada 2050, menurut Bank Dunia.

Tapi ada satu masalah besar. Menambang litium dengan cara konvensional menimbulkan dampak lingkungannya sendiri. Lebih tepatnya, berdampak pada tiga hal besar: emisi karbon, air, dan tanah. Saat ini, litium ditambang dari batuan mineral keras, seperti yang dilakukan di Australia, atau dari kumpulan air asin bawah tanah yang ada di permukaan dasar danau yang sudah kering, kebanyakan di Chile dan Argentina.

Penambangan batuan keras, tempat mineral diekstraksi dari tambang terbuka kemudian dipanaskan menggunakan bahan bakar fosil, menyisakan kerusakan di permukaan tanah. Cara ini juga butuh banyak sekali air dan melepaskan 15 ton CO2 untuk setiap ton litium yang dihasilkan, menurut analisis ahli bahan mentah Minviro untuk perusahaan litium dan energi geotermal, Vulcan Energy Resources.

Pilihan konvensional lainnya, mengekstraksi litium dari reservoir bawah tanah, membutuhkan lebih banyak air lagi. Dan ini dilakukan di tempat-tempat dengan kelangkaan air terparah di dunia, sehingga masyarakat adat mempertanyakan keberlanjutan proses ini. Sebaliknya, mengekstraksi litium dari perairan panas bumi — dilakukan tidak hanya di Cornwall, namun juga di Jerman dan AS — menghasilkan jejak kerusakan lingkungan relatif kecil, termasuk melepaskan emisi karbon sangat rendah.

Air asin geotermal adalah larutan garam pekat yang mengalir melalui bebatuan panas sehingga kaya dengan berbagai elemen, seperti litium, boron, dan potasium. Dengan kata lain, proses ekstraksi litium dari bebatuan keras yang membutuhkan banyak energi, telah dilakukan oleh alam dengan energi geotermal. Air yang ada di area tambang Cornish memiliki konsentrasi hingga 260 miligram per liter, dan mengalir dengan kecepatan antara 40-60 liter per detik.

Artinya, litium yang dihasilkan setiap beberapa detik, cukup untuk baterai ponsel pintar pada umumnya (2-3 gram), menurut perkiraan Cornish Lithium. Permintaan litium dengan proses ramah lingkungan kini mulai naik. Ada tanda-tanda produsen mobil, termasuk Mercedes-Benz dan Volkswagen, yang mulai memikirkan dampak lingkungan dan sosial dari rantai pasokan kendaraan listrik mereka, kata Alex Keynes, manajer kendaraan bersih di organisasi Transportasi dan Lingkungan di Brussels.

Menggunakan litium yang sudah beredar — dari baterai dan alat elektronik daur ulang — lebih banyak dilakukan. "Mengingat permintaan sangat besar yang masih akan kita lihat di tahun-tahun mendatang, kita harus mengekstraksi, dan mengambil litium dari air geotermal tampak menjanjikan," ujar Keynes dirilis BBC News.

Penemuan litium pada 1864 itu pada akhirnya akan menghasilkan. Cornish Lithium, sebuah perusahaan yang didirikan oleh mantan bankir investasi Jeremy Wrathall pada 2016, sedang membuat rencana untuk mengekstraksi sumber potensial litium yang sangat besar dari air asin di pertambangan Redroth. Pertambangan ini memiliki dua lokasi utama yang sedang dikembangkan — yang satu adalah tambang geotermal bawah tanah, bekerja sama dengan pengembang energi Geothermal Engineering.

Perusahaan energi ini berencana untuk memproduksi panas dan tenaga nol karbon dari sumber air yang sama, 5,2km di bawah tanah, melalui Proyek Tenaga Geotermal Bawah Tanah Dalam. Air di situs ini juga mengandung kadar senyawa sodium dan magnesium rendah. Keberadaan dua senyawa ini membuat ekstraksi litium lebih sulit dan mahal. Pada Agustus 2020, proyek ini mendapatkan dana sebesar £4 juta (Rp 75 miliar) dari pemerintah Inggris, untuk membangun pabrik ekstraksi litium percontohan dalam beberapa tahun mendatang.

Situs geotermal litium yang kedua terletak di sebelah proyek yang pertama, dan penilaian potensi ekstraksi litium pada kedalaman yang lebih dangkal, sekitar 1 kilometer, sedang dilakukan.Perusahaan ini juga menjajaki potensi untuk mengekstraksi litium dari bebatuan granit di wilayah China Clay, Cornwall. Ekstraksi litium dari air geotermal Cornwall dimungkinkan berkat kemajuan teknologi pada proses eksplorasi dan ekstraksi, kata ahli geologi senior Cornish Lithium, Lucy Crane.

Tim menggunakan berbagai sumber data untuk mengidentifikasi lokasi yang paling mungkin mengandung litium. Cornwall memiliki sejarah pertambangan sejak 4.500 tahun lalu, artinya ada banyak informasi tentang kandungan yang ada di bawah permukaan tanah. Beberapa peta sejarah pertambangan Cornwall dilukis dengan tangan di atas kulit binatang. Para pengarsip di Cornish Lithium mengambil fotonya dan menjahitnya secara digital sehingga informasi geologi bisa dilihat secara tiga dimensi. Data-data dari tahun 1860-an, 1900-an, dan 1960-an digabungkan dengan informasi modern yang dikumpulkan dengan satelit dan drone. "Ini adalah cara luar biasa untuk menggabungkan data, dan Anda bisa menargetkan dengan efisien apa yang akan dilakukan saat eksplorasi di lapangan," kata Crane.

"Saat waktunya pengeboran, kami sudah yakin akan menemukan sesuatu. Ini efektif dari sudut pandang ekonomi, namun juga meminimalkan dampak lingkungan dari proses eksplorasi."

Kemajuan teknologi memungkinkan ekstraksi litium dari air garam. Tim ini juga berencana menggunakan teknik Pengekstraksi Langsung Litium (Direct Lithium Extraction — DLE), yang telah dikembangkan oleh sejumlah perusahaan di AS, Jerman, dan Selandia Baru. Ada sekitar 60 varian teknologi DLE, menurut Jade Cove, perusahaan penasihat yang melacak perkembangan teknologi pertambangan dan energi. Tapi pada dasarnya, proses ini menggunakan teknik seperti filtrasi nano atau resin penukar ion — yang berfungsi seperti saringan untuk litium klorida (bentuk utama litium yang ditemukan pada air garam), dan menyisakan garam di air.

Litium klorida kemudian dikumpulkan dari saringan, misalnya, dengan mencuci resin dengan air murni dan menyuntikkan air yang tersisa kembali ke dalam tanah melalui lubang bor. Litium klorida kemudian dimurnikan dan dipekatkan untuk menghasilkan litium hidroksida, yang digunakan untuk membuat baterai. Tapi ini bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan litium dari air garam. Di AS, William Stringfellow, direktur Program Penelitian Teknik Ekologi di Lawrence Berkeley National Laboratory sedang melakukan penelitian untuk Kementerian Energi AS tentang berbagai metode ekstraksi litium dari air garam.

Salah satu pendekatannya adalah dengan menggunakan pelarut yang dirancang untuk mengumpulkan ion litium, sementara cara lainnya menggunakan membran yang hanya bisa dilewati ion litium. Lalu ada pula pemisahan elektrokimia, di mana ion litium ditarik ke elektrode bermuatan listrik. "DLE bukanlah satu-satunya teknologi, meski ini yang pertama kali diterapkan," ujar Stringfellow.

Setiap metode memiliki tujuan sama — mendapatkan litium dari air. "Ada banyak senyawa lain di dalam air yang kemungkinan mengganggu proses ekstraksi litium [seperti sodium dan magnesium], jadi Anda harus bisa mengontrol dan membuangnya," lanjut Stringfellow. Amerika dan Jerman juga tempat penelitian dan pengembangan teknologi ekstraksi geotermal litium. Area di sekitar Salton Sea, sebuah danau dangkal di pusat California yang juga ladang geotermal terbesar kedua di AS, kini terkenal dengan nama "lembah litium". Komisi Energi California memperkirakan ladang ini bisa menyediakan 40% kebutuhan litium secara global.

Dalam penelitian yang dipublikasikan pada Maret 2020, komisi tersebut memperkirakan kawasan tersebut bisa menyediakan pasokan litium karbonat sebanyak 600.000 ton per tahun, yang menghasilkan US$7,2 miliar (Rp 100 triliun) per tahun dan US$12.000 (Rp167 juta) per ton. Harapannya, ekstraksi litium tidak hanya menyediakan sumber lokal yang ramah lingkungan untuk baterai, tapi juga meningkatkan potensi ekonomi dari produksi sumber-sumber geotermal, yang saat ini hanya menyumbang pada 6% listrik untuk California dan mahal untuk dikembangkan. "Mata semua orang berbinar-binar, ini seperti demam emas yang baru," ujar Stringfellow. "Wilayah ini kesulitan secara ekonomi, jadi orang-orang sangat bersemangat, jika mereka bisa menghasilkan litium maka perekonomian akan maju."

Ada antisipasi yang sama di Jerman, di mana Lembah Rhine menjadi pusat industri geotermal litium yang baru. Vulcan Energy Resources berencana memompa air garam geotermal ke permukaan tanah, menggunakan panasnya untuk melakukan proses ekstraksi litium, dan mengembalikan sisanya ke dalam tanah. Pada November, Vulcan Energy Resources mengumumkan situs utamanya memiliki cadangan litium besar, dengan konsentrasi 181 miligram per liter. Studi kelayakan penuh akan dilakukan pada 2021, yang bertujuan meningkatkan produksi litium komersial secara penuh pada 2023-24. "Kami memiliki cadangan yang cukup besar untuk memenuhi sebagian besar permintaan di pasar Eropa selama bertahun-tahun yang akan datang," ujar Kepala Eksekutif Vulcan, Francis Wedin, dalam konferensi industri pada Oktober 2020.

Lembah Rhine terletak di jantung kawasan manufaktur mobil Jerman, sebuah lokasi yang strategis bagi bisnis pertambangan litium yang memasok kepada pembuat kendaraan listrik. Ini juga mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh mengangkut litium dari luar negeri, ujar Wedin.

Nantinya, perusahaan ini berencana memasarkan litium mereka sebagai "nol karbon". Kembali ke Conrwall, nol karbon juga menjadi tujuan proses produksi Cornish Lithium, yang direncanakan menggunakan tenaga geotermal. Jika proyek percontohan ini berhasil, Cornish Lithium yakin pabrik serupa bisa didirikan di seluruh wilayah. "Semua teknologi bersih yang kita butuhkan untuk memerangi perubahan iklim — baik itu turbin angin, panel surya, atau baterai, semua membutuhkan mineral," kata Crane.

"Kita harus memastikan bahwa kita mengambil bahan-bahan ini dengan bertanggung jawab, jika tidak, proses ini bisa mengingkari alasan kita membangun teknologi ini sejak awal."

Akhirnya, mungkin butuh beberapa tahun lagi supaya baterai-baterai yang dibuat dari litium nol-emisi dapat digunakan pada mobil Anda, atau perangkat lain. Tapi bila proyek litium nol-karbon ini berjalan sesuai rencana, maka ini bisa menjadi contoh kuat bagaimana mineral yang penting untuk sumber energi berkelanjutan, diperoleh dengan cara yang berkelanjutan pula. (*)

Tags : Litium, Batu Mineral Mengandung Litium, Batu Mineral Terkubur di Bawah Bumi,