JAKARTA - Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi menyebutkan naiknya biaya angkut dan transportasi turut menjadi faktor yang menyebabkan melonjaknya harga kedelai di pasar dunia.
"Faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor yakni ongkos angkut yang juga mengalami kenaikan. Waktu transportasi impor kedelai dari negara asal yang semula ditempuh selama 3 minggu menjadi lebih lama yaitu 6 hingga 9 minggu," kata Suwandi usai rapat koordinasi Kementan bersama Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) di Kantor Pusat Kementan Jakarta dirilis Republika.co.id, Senin (4/1).
Seperti diketahui, harga kedelai saat ini melonjak hingga Rp 9.300 per kilogram dari harga tiga bulan lalu yang masih di kisaran Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram, berdasarkan data Gakoptindo. Akibatnya para perajin tahun dan tempe di dalam negeri terpaksa harus meningkatkan harga jual mereka karena bahan baku kedelai yang lebih mahal. Suwandi menjelaskan dampak pandemi Covid-19 menyebabkan pasar global kedelai saat ini mengalami goncangan akibat tingginya ketergantungan impor.
Menurut dia, peluang ini harus dimanfaatkan Kementan untuk meningkatkan pasar kedelai lokal dan produksi kedelai dalam negeri. Kementan pun memfasilitasi nota kesepahaman (MoU) antara Gakoptindo dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) serta investor dengan Ditjen Tanaman Pangan. Kerja sama tersebut bertujuan meningkatkan kemitraan produksi dan memaksimalkan pemasaran serta penyerapan kedelai lokal milik petani.
Suwandi menambahkan tingginya impor kedelai bukan semata-semata karena faktor produksi. Namun demikian, hal tersebut terjadi karena disebabkan kondisi kedelai merupakan komoditas nonlartas (dilarang dan dibatasi) atau bebas impor berapapun volumenya tanpa melalui rekomendasi Kementan. Harga kedelai yang saat ini terjadi kenaikan cukup signifikan sekitar 35 persen merupakan dampak pandemi Covid-19, terutama produksi di negara-negara produsen seperti Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Rusia, dan Ukraina. "Harga kedelai impor yang selama ini digunakan oleh perajin tahu tempe di negara asal sudah tinggi, sehingga berdampak kepada harga di Indonesia menjadi lebih tinggi lagi," kata Suwandi.
Sebelumnya Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menuturkan, akan melakukan peningkatan produksi kedelai sebagai solusi lonjakan harga kedelai impor. Ia mengatakan, upaya peningkatan produksi itu akan dilakukan dalam dua kali musim. "Ini membutuhkan 100 hari minimal kalau pertanaman. Kita dua kali 100 hari, ini bisa kita sikapi secara bertahap sambil menyiapkan agenda seperti apa memperisapkan ketersediaannya," kata Syahrul di Kantor Pusat Kementan.
Syahrul belum dapat memastikan berapa peningkatan produksi lokal yang bisa dihasilkan tahun ini maupun seberapa besar kenaikannya dibanding produksi tahun lalu. Mengutip data yang tersedia, produksi kedelai di Indonesia terakhir tahun 2018 diprediksi mencapai 982,5 ribu ton. Adapun rata-rata kebutuhan nasional per tahun berkisar 3 juta ton. "Saya tidak mau bicara angka, tapi dengan langkah cepat Kementan hari ini bersama integrator dan pengembangan kedelai kita coba lipat gandakan (produksi)," ujarnya.
Ia mengatakan, harga kedelai impor secara global terpengaruh dari sumbernya di Amerika Serikat yang menjadi produsen. Hal itu berdampak kepada sejumlah negara importir, termasuk Indonesia. Alhasil, harga kedelai menjadi melonjak dan berdampak pada industri makanan, termasuk pengrajin tahu dan tempe. Menyikapi persoalan itu, Syahrul mengatakan telah bertemu dengan para pihak terkait sekaligus pemerintah daerah agar bisa mempersiapkan pasokan kedelai lokal lebih cepat. "Saya akan sikapi di lapangan. Saya tidak mau janji dulu karena saya lagi kerja dan Insya Allah dari agenda-agenda yang kita siapkan hari ini mudah-mudahan bisa menjadi jawaban," kata Syahrul. (*)
Tags : kacang kedelai, tahu, tempe, produksi kedelai, kementan, kementan republika, harga kedelai naik, harga kedelai,