"Bisnis Arwana di Riau kacau balau akibat adanya aturan dua Kementrian tetapi Taman Hutan Raya [Tahura] sempat mengalami kerusakan yang perlu sinergisitas Kepolisian dan Pengawas Perikanan"
roses peralihan otoritas pengelola konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam dengan aturan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora [CITES] dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] terus berlangsung hingga kini.
Proses tersebut berjalan di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Sebelumnya bisnis ikan arwana itu dilakoni Anuar Salmah alias Amo, pemilik PT Salmah Arowana Lestari [SAL], salah satu pengusaha penangkaran ikan arwana dilokasi Taman Hutan Raya [Tahura], Minas, Pekanbaru.
Namun berakhir keberadaannya hingga kini masih misterius dan sulit dilacak setelah mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji membeberkan aktifitas perusahaan itu dalam jaringan mafia kasus.
Tetapi Tommy Simanungkalit, salah satu pemerhati lingkungan menilai, terkait penangkaran ikan arwana yang menjadi pengawasan CITES di Indonesia adalah arwana [Scleropages Formosus] sudah masuk dalam daftar apendiks 1 atau dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun.
"Spesies tersebut saat ini sedang dalam pengawasan ekstra ketat dari Pemerintah Indonesia."
"Sebelum terjadinya peralihan otoritas pengelola, pemanfaatan arwana untuk perdagangan masih dikelola oleh KLHK. Kemudian, setelah peralihan terjadi, pengelolaan arwana dipindahtangankan kepada KKP yang statusnya sekarang sudah menjadi otoritas pengelola," sebutnya, Senin (12/2/2024).
Bahkan saat ini Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan, Pemerintah sedang mengawasi sejumlah tempat yang mengembangkan arwana sebagai komoditas budi daya.
“Ada standar yang harus dipenuhi dalam pengelolaannya, apalagi mau diekspor. Bagaimana proses ekspor apakah sesuai kaidah, inilah yang sedang dibahas,” jelas Tommy.
Tommy kembali menjelaskan, bahwa arwana adalah salah satu spesies yang dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun. Namun, ikan tersebut ternyata masih boleh diperdagangkan jika prosesnya dilakukan melalui penangkaran.
Menurutnya, untuk melaksanakan ekspor, arwana yang ada dalam kawasan penangkaran harus bisa diberikan akses ketertelusuran [traceability].
"Itu artinya, saat sudah ada di pasar dunia, arwana harus bisa diketahui berasal dari mana dan dibesarkan dengan cara bagaimana."
Salah satu cara agar arwana bisa ditelusuri saat ada di negara tujuan ekspor, adalah dengan ditanamkan microchip pada tubuh ikan yang akan masuk dalam rencana ekspor.
"Penandaan melalui microchip dilakukan agar ikan bisa diketahui apakah ikan itu mengikuti prosedur atau tidak."
“Ikan punya identitas. Dengan nomor seri itu berasal atau ditangkap dari mana. Jadi kalau ditemukan ikan ekspor tanpa microchip, berarti perlu curiga itu ikan ilegal,” ungkap dia.
Tommy sendiri mengaku sudah melihat bagaimana proses pengelolaan dilaksanakan di penangkaran. Untuk semua arwana yang akan diekspor, seharusnya dilakukan penandaaan melalui penanaman microchip.
Dengan demikian, sebutnya, seluruh ikan yang diekspor akan mudah diperiksa saat ada dalam karantina perikanan.
“Ikan arwana yang sudah menggunakan microchip berarti sudah memenuhi prosedur-prosedur untuk diekspor mulai dari proses budi daya, pembesaran, dan administrasi yang lain terpenuhi,” tutur dia.
Penangkaran arwana di Tahura
Sebelumnya, penangkaran arwana di Riau terdapat di Tahura. Di sana, terdapat jenis ikan arwana yang ukurannya bervariasi dari mulai bibit/benih sampai yang berukuran sudah siap dijual atau sudah mencapai panjang minimal 12 centimeter.
Anuar Salmah alias Amo, pemilik PT Salmah Arowana Lestari [SAL], salah satu pengusaha penangkaran ikan arwana dilokasi Taman Hutan Raya [Tahura], Minas Pekanbaru disebut-sebut sempat membuka usaha itu untuk ekspor.
"Amo sulit ditemui dan saya tidak tahu di mana dia sekarang," kata Jhony Irianto, penasihat hukum Amo pada media belum lama ini.
Jhony Irianto mengatakan, Amo sebelumnya tinggal di sebuah rumah mewah di dalam penangkaran PT SAL. Amo berasal dari daerah Selat Panjang, Kabupaten Meranti, dan selama ini tidak memiliki rumah lain di Pekanbaru.
"Kemungkinan dia ada di Pekanbaru atau Jakarta, tapi persisnya saya tidak tahu, karena dia tak punya rumah lain selain yang di Pekanbaru. Kemungkinan besar dia tinggal dengan berpindah-pindah hotel," ujar Jhony, menduga-duga.
Hal senada juga diutarakan sekuriti PT SAL yang berlokasi di Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai.
"Rumah mewah bertingkat di lokasi penangkaran arwana itu kini kosong."
"Bos tidak ada di tempat," kata seorang sekuriti yang tak mau namanya dituliskan. Jhony Irianto juga memilih tak berkomentar mengenai tuduhan Susno Duadji. Ia hanya membenarkan adanya kasus sengketa antara Amo dan pengusaha Singapura Ho Kian Huat sejak tahun 2008.
Menurut dia, pengusaha asing itu awalnya melaporkan Amo ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pidana penipuan dan penggelapan aset PT SAL.
Tak berselang lama dari laporan itu, lanjutnya, Amo melaporkan balik juga ke Bareskrim dengan tuduhan melakukan pengakuan terhadap aset PT SAL.
"Kami melaporkan balik tapi lewat jalur perdata dan sudah menang hingga putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta," ujarnya.
Berdasarkan surat pengaduan Haposan Hutagalung, pengacara Ho Kian Huat, tertanggal 3 Februari 2010 yang dikirimkan kepada Duta Besar Singapura di Jakarta.
Haposan mengungkapkan dugaan adanya jaringan mafia hukum dalam proses kasus, yang mencoba mengatur dan mempengaruhi proses penyidikan hingga kasus itu nyaris dihentikan [SP-3].
Haposan juga menduga adanya intervensi dari oknum perwira tinggi Mabes Polri dalam kasus itu. Akibatnya, Ho Kian Giat sempat dicekal oleh Dirjen Imigrasi Depkum Ham RI atas permintaan Penyidik Unit I Direktorat I Bareskrim Polri.
Ho Kian Huat menggugat karena Amo mengklaim uang modal pembuatan penangkaran arwana di Pekanbaru, diberikan penggugat tahun 1992 hingga 2000.
Awalnya, keduanya sepakat untuk menjual hasil arwana melalui Ho Kian Huat di Singapura, tapi belakangan Amo malah langsung mengekspor arwana ke Cina, Jepang dan Amerika Serikat.
Jumlah kerugian yang dilaporkan Ho Kian Huat antara lain modal dana pembelian lahan dan pembuatan kolam penangkaran ikan serta fasilitas lainnya sebesar 11.515.511 dolar Singapura.
Selain itu, terdapat juga kerugian korban, yakni dana pengadaan indukan ikan arwana yang diimpor dari Malaysia dan Singapura berjumlah 1.549 ekor dengan total nilai Rp 32.475.000.000.
Tetapi seperti disebutkan Tommy Simanungkalt, pemerhati lingkungan ini menilai soal sisi lain tentang harga ikan arwana itu.
Menurutnya, walau sudah ditemukan metode yang tepat agar arwana bisa tetap diperdagangkan namun tidak meyalahi aturan, Pemerintah Indonesia masih terkendala dengan microchip yang berharga mahal dan harus didatangkan dari luar negeri.
"Untuk sekarang, harga microchip yang diperdagangkan di Indonesia berkisar Rp12.000 per unit atau dua kali lipat lebih mahal dari harga produk serupa yang ada di Tiongkok. Namun, meski berharga murah, mendatangkan microchip dari Tiongkok dengan cara impor juga menjadi proses yang tidak mudah untuk dilakukan," kata dia.
"Penggunaan microchip menjadi penting, karena sebagai penanda saat arwana akan diekspor."
"Penggunaan microchip akan ditempatkan di bawah kulit fauna seperti arwana. Adapun, chip yang ditanamkan menggunakan teknologi radio frequency identification [RFID] dan dikenal sebagai tag Passive Integrated Transporder [PIT]," jelasnya.
Dengan menanamkan microchip, maka pemanfaatan arwana untuk kegiatan ekspor akan bisa dilakukan dengan baik dan pemanfaatannya akan mengikuti ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri KLH Nomor 20 Tahun 2018.
“Saya kira piranti dan teknologi yang disematkan pada ikan itu tidak terlalu rumit, melihat potensinya, jadi industri microchip dan RFID di dalam negeri perlu dikembangkan dan didorong,” jelas dia.
Melihat pemanfaatan microchip yang akan terus dilakukan hingga waktu mendatang, Pemerintah Indonesia berniat untuk membangun animal microchip dan radio frequency identification [RFID].
Melaksanakan produksi di dalam negeri, dinilai akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan harga yang mahal dan birokrasi yang rumit untuk melaksanakan impor.
Sementara pihak KKP sendiri menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan kewenangan sebagai otoritas penglola CITES yang sudah diserahterimakan dari KLHK.
"Kita sudah menerbitkan aturan pelaksanaan sebagai bentuk pelaksanaan mandat penetapan menjadi [Management Authority/MA] CITES untuk Jenis Ikan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Aryo Hanggono, didepan media belum lama ini.
Peraturan Menteri KP Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau yang Tercantum dalam Appendiks CITES. KKP akan memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, dan karantina. Termasuk, penguatan aspek budi daya perikanan, khususnya untuk ikan arwana dan napoleon.
“Kita [Ditjen PRL] tidak sendiri dalam menjalankan mandat CITES ini. Kita berbagi tugas dan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budidaya, pengawasan, tangkap akan menjadi satu kesatuan dalam pelaksanaannya ke depan,” tambah dia.
Aryo juga menambahkan, sebagai bagian dari implementasi mandat, pihaknya telah meminta kesiapsiagaan dari seluruh unit pelaksana teknis [UPT] di bawah Ditjen PRL untuk selalu memastikan bahwa jenis-jenis ikan yang akan diperdagangkan atau diekspor sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang konservasi ikan.
Salah satu UPT yang melaksanakan kebijakan tersebut, adalah Loka Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut [LPSL] Serang di Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Kepala LPSPL Serang Syarif Iwan Taruna Alkadrie mengatakan bahwa pihaknya sudah siap untuk menjalankan fungsi pelayanan CITES untuk jenis ikan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augy Syahailatua mengatakan, penetapan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan memang sudah sesuai dengan PP 60/2007.
Penetapan tersebut menjadi bagian dari kebijakan secara internal sebuah negara.
Menurut dia, dalam menjalankan pengelolaan CITES, sebuah negara memang memiliki kewenangan untuk menetapkan lebih dari satu lembaga kementerian. Tetapi, untuk pengelolaan secara internasional, pengakuan CITES tetap diberikan kepada KLHK.
“Kemenlu [Kementerian Luar Negeri RI] bisa minta ke KKP kalau terkait ikan. Tetapi, kalau urusan dengan CITES yang kantornya di Swiss, itu hanya bisa dilakukan oleh KLHK,” ungkapnya.
Dengan status tersebut, maka penetapan KKP sebagai MA CITES memang hanya berlaku untuk di dalam negeri saja. Sementara untuk internasional tetap akan dilakukan oleh KLHK.
Kalaupun KKP ingin bisa diakui oleh CITES, itu juga dinilai sulit karena itu artinya KKP harus mengurusi tidak hanya Jenis Ikan saja. “Tapi juga Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar,” tutur dia.
Namun Tommy kembali menanggapi tentang penasbihan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan ini, menurutnya, penetapan tersebut menjadi keputusan tepat karena bisa memicu pengelolaan jenis ikan menjadi lebih efektif, mengingat tidak ada lagi dualisme MA CITES untuk Jenis Ikan seperti selama ini terjadi.
"KLHK bisa lebih fokus untuk mengurusi Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang dilindungi dan berada di wilayah daratan. Sementara, KKP bisa lebih fokus untuk mengurusi semua satwa yang ada di wilayah perairan laut."
“Dengan penetapan ini, KKP sudah bisa 100 persen melakukan perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan monev [monitoring dan evaluasi] terhadap upaya pengelolaan, termasuk penegakan hukum perlu dilakukan secara optimal,” papar Tommy.
Bisnis arwana terbentur aturan dua kementrian
Terbitnya peraturan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLH] yang membingungkan sejak tahun 2014 telah membuat usaha budidaya dan bisnis ikan arwana [Scleropages formosus] di Indonesia menjadi sengkarut.
Semua pihak yang bergerak di bidang itu menjadi serba salah, karena salah bergerak saja pasti bisa terjerat hukum.
"Ini akibat adanya dua peraturan yang tumpang-tindih yang diberlakukan sejak era era Menteri KKP Susi Pudjiastuti dan Menteri KLH Siti Nurbaya," kata Tommy menilai.
Menurutnya, berbisnis arwana, terutama jenis super red (merah super) sebagai arwana endemik memang sangatlah menggiurkan, sehingga membuat pengusahanya bisa mendadak tajir," kata dia.
Arwana adalah spesis paling mahal di antara semua ikan hias di jagat ini. Pasar paling potensialnya adalah di China karena arwana dianggap sebagai ikan pembawa keberuntungan [hoki] yang juga laris-manis di kalangan etnis Tionghoa, terutama kalangan berkantung tebal, dan di semua negara di dunia.
Data resmi KKP sejak tahun 2018 saja, jenis arwana super red [merah super] terjual sebanyak 4.058 ekor seharga total lebih Rp 10 miliar. Sedangkan pada 2019, terjual 2.360 ekor seharga total Rp 2,5 miliar.
Tetapi belakangan muncul dua peraturan kementrian tersebut pada 2014, yang tujuannya tak lain karena keberadaan arwana terancam akibat maraknya penangkapan, perubahan lahan, dan penurunan kualitas lingkungan.
Pada 11 November 2014, misalnya, Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang kini pensiun, mengirim surat kepada Menteri KLH Siti Nurbaya guna menyelesaikan masalah tumpang tindih aturan kelautan di Indonesia.
Menurut Susi kala itu, masih banyak aturan di sektor kelautan yang berada di bawah kewenangan KLH, seperti aturan tentang penyu, terumbu karang, bakau, dan juga ikan arwana sehingga diminta supaya semua itu kembali di bawah koordinasi KKP.
Susi menginginkan semua aturan tentang laut dan perikanan berada di bawah kementeriannya agar mudah dikoordinasikan.
Susi tidak ingin ada aturan kontradiktif yang mendukung semua kebijakannya, dan juga menginginkan agar kebijakan pemerintah daerah (pemda) selaras dengan pihaknya.
Menyusul pada akhir Januari 2021, sebagaimana dilansir dari Antara, Senin, 25 Januari 2021, DKP menerbitkan Keputusan Menteri KKP Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perlindungan Jenis Ikan yang menetapkan 20 jenis ikan bersirip sebagai jenis yang dilindungi.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP TB Haeru Rahayu menjelaskan, penetapan status perlindungan 20 jenis ikan bertujuan untuk menjaga, dan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan.
Hal tersebut dilakukan dengan tetap memelihara, meningkatkan kualitas nilai, dan keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Ke-20 jenis ikan tersebut, antara lain, meliputi pari sungai tutul, pari sungai raksasa, pari sungai pinggir putih, arwana Kalimantan, belida Borneo, belida Sumatera, belida lopis, belida Jawa, ikan balashark, dan wader goa.
Aturan itu juga berlaku untuk ikan Batak, pasa, selusur Maninjau, pari gergaji lancip, pari gergaji kerdil, pari gergaji gigi besar, pari gergaji hijau, pari kai, ikan raja laut, dan arwana Irian.
Menurut Dirjen Haeru Rahayu, penetapan ini merupakan tindak lanjut pemisahan Otoritas Pengelola MA CITES untuk jenis ikan bersirip [pisces] dari semula berada di KLH, dialihkan kewenangan pengelolaannya ke KKP.
"Untuk itu, 20 jenis ikan bersirip yang telah ditetapkan dalam Permen LHK Nomor P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi perlu ditetapkan lagi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan," katanya.
Dengan ditetapkannya status perlindungan 20 jenis ikan dan ditetapkannya KKP sebagai MA CITES untuk jenis ikan bersirip, KKP akan terus memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, pelestarian, pengembangbiakan, dan karantina ikan.
"Kita tidak sendiri dalam menjalankan mandat CITES ini, tentunya berbagi tugas dan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budi daya, pengawasan, tangkap (penangkapan) akan menjadi satu kesatuan dalam pelaksanaannya ke depan," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut [KKHL] Andi Rusandi menguraikan untuk ikan arwana Irian [Scleropages jardinii] statusnya dilindungi terbatas, sedangkan untuk 19 jenis lainnya statusnya dilindungi secara penuh.
Adapun yang dimaksud dengan perlindungan penuh adalah perlindungan ke seluruh tahapan siklus hidup, termasuk bagian tubuhnya dan produk turunannya.
Sedangkan status perlindungan terbatas pada arwana Irian adalah perlindungan berdasarkan periode waktu tertentu dan ukuran tertentu.
Untuk ikan arwana Irian, ketentuannya dilarang menangkap sepanjang waktu, kecuali anakan ukuran tiga sampai lima sentimeter yang dapat ditangkap pada November, Desember, Januari, dan Februari 2021.Namun, kalangan pengusaha dan pedagang ikan arwana kebingungan sheingga memprotes tentang tumpang tindihnya aturan KKP dan KLH itu.
Keduanya yakni Keputusan Menteri KKP yakni Kepmen Nomor 1 Tahun 2021 tentang jenis ikan yang dilindungi, serta Kepmen Nomor 85 tahun 2021 mengenai Harga Patokan Jenis Ikan Dilindungi untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang telah diberlakukan pada September 2021.
Bagi pengusaha dan pedagang ikan arwana, dua Kepmen Menteri KKP tersebut mengakibatkan proses izin serta biaya pembuatan surat angkut ikan Arwana menjadi dobel dan menyulitkan.
Hal ini karena Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] KLH masih menerapkan Permen KLH Nomor P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 yang mengatur jenis ikan yang dilindungi, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Perdagangan Satwa Dilindungi untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak kalangan pengusaha dan pedagang ikan arwana.
Menurut para pengusaha dan pedagang ikan arwana, pembuatan surat izin angkut ikan arwana super red selama ini untuk dalam dan luar negeri, mereka memprosesnya melalui BKSDA KLH.
Rinciannya: untuk dalam negeri yakni Surat Angkut Tanaman dan Satwa Dalam Negeri [SATS-DN], yang dikenakan biaya sebesar Rp35.000 per dokumen. Sedangkan untuk luar negeri [CITES], dikenakan biaya sebesar Rp50.000 per dokumen, ditambah biaya per ekornya sebesar Rp20.000.
Aturan membingungkan dari dua Kementrian
Padahal, menurut kalangan pengusaha ikan arwana yang tergabung dalam Perhimpunan Arwana Indonesia [Perarin], berdasarkan Keputusan Menteri KKP Nomor 85 Tahun 2021, instansi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir & Laut [PSPL] KKP telah memberlakukan pungutan surat izin angkut ikan kepada pengusaha dan pedagang ikan Arwana.
Rinciannya: untuk blanko atau Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri [SAJI-DN] dikenakan biaya sebesar Rp540.000 per dokumen, ditambah biaya per ekor Rp20.000,00.
Sedangkan untuk Surat Angkut Jenis Ikan Luar negeri [SAJI-LN], per dokumen dikenakan pungutan sebesar Rp840.000 ditambah biaya per ekor Rp20.000.
Menurut Perarin, proses izin surat angkut ikan dan tarifnya, yang diberlakukan oleh PSPL KKP, hampir sama dengan proses izin surat angkut ikan yang tarifnya lebih dulu diberlakukan, dan masih diterapkan oleh BKSDA KLH.
Akibatnya, kalangan pengusaha dan pedagang ikan arwana harus mengikuti aturan yang hampir sama dari instansi kementrian yang berbeda yang berakibat, biaya pengeluaran menjadi berlipat ganda.
Peraturan baru yang diterapkan PSPL KLH menjadikan proses pembuatan dokumen izin angkut penjualan arwana, memakan waktu lebih lama. Dari yang biasanya dua atau tiga hari menjadi empat hari bahkan lebih.
Padahal, pengurusan dokumen yang sebelumnya hanya lewat BKSDA KLH, kini pengurusannya bertambah ke PSPL KKP.
Jika tak mau membayar maka pegusaha dan pedagang ikan arwana tidak akan mendapatkan dokumen karantina, meskipun telah memiliki dokumen CITES dari BKSDA.
Kondisi itu dinilai sangat merugikan mereka [Pengusaha maupun pedagang] ikan Arwana.
Karena itu, keberadaan peraturan penetapan biaya PNBP dokumen Surat Angkut Jenis Ikan [SAJI] Dalam Negeri dan Luar Negeri yang dikeluarkan PSP KKP diaggap terlalu prematur karena diterapkan tanpa sosialisasi atau didiskusikan lebih dahulu dengan mereka.
Itu sebabnya Perarin menuntut agar pengurusan surat izin angkut ikan arwana super red tidak dipersulit dan hanya lewat satu pintu: BKSDA KLH selaku penerbit SATS-DN dan CITES.
Sebab, PSPL KKP dianggap belum siap menangani proses surat izin angkut ikan arwana, baik dari segi administrasi, sistem, maupun sumber daya manusianya.
Rapat koordinasi tentang pembahasan Otoritas Pengelola CITES untuk jenis ikan yang dipimpin oleh Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, memutuskan bahwa Otoritas Pengelola CITES untuk jenis ikan secara resmi dialihkan dari KLH ke KKP.
Ke depan, Indonesia akan memiliki dua Otoritas Pengelola MA CITES yang sesuai dengan PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar oleh KLHK sebagai MA CITES untuk Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, dan PP Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang menetapkan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan.
Menteri KKP ketika itu, Edhy Prabowo menegaskan bahwa salah satu pemisahan MA jenis ikan dilakukan untuk tujuan perizinan pemanfaatan jenis ikan yang masuk dalam daftar Appendiks CITES.
Untuk mengekspor jenis-jenis yang masuk dalam daftar Appendiks CITES, seperti kuda laut dan ikan arwana, pelaku usaha perikanan membutuhkan perizinan yang diterbitan oleh KLH dan KKP, sehingga proses perizinan menjadi lebih panjang, dan menghambat ekspor perikanan.
Proses pengelolaan sumber daya ikan mencakup mata rantai proses dari hulu sampai ke hilir, dimulai dari pengaturan kapal dan alat tangkap, pengaturan daerah penangkapan, penerapan standar budidaya perikanan, penerapan dan pencatatan hasil perikanan di pelabuhan, penerapan standar mutu pengolahan ikan, pemberdayaan atau pembinaan dan pengawasan kegiatan perikanan dan pembudidaya ikan serta penerapannya dilakukan oleh KKP.
Menurut Edhy, proses pemisahan MA CITES pada dasarnya merupakan hal yang biasa, sebagai implikasi terbentuknya KKP.
Salah satu fungsi utamanya, mengelola sumber daya ikan, termasuk dalam konteks pelaksanaan CITES, sehingga sejumlah urusan yang sebelum adanya KKP dilakukan oleh KLHK, saat ini menjadi tanggung jawab dan kewenangan KKP.
Ketentuan Konvensi CITES memperbolehkan setiap negara untuk menetapkan satu atau lebih MA, dan satu atau lebih Scientific Authority/SA.
Banyak orang dari etnis ini menggantungkan perubahan haluan kehidupan mereka dengan memelihara ikan mas (koi) dan arwana.
Dalam budaya China, menurutnya, memiliki ikan dianggap sebagai investasi yang baik, karena karakter Mandarin untuk ikan dan air dikaitkan dengan kekayaan dan kelimpahan.
"Itu sebabnya, sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura, terus mengekspor lebih dari 500 spesies ikan hias ke 65 negara di seluruh dunia karena bisnis tersebut tahan resesi."
“Saat masa-masa sulit, Anda cenderung lebih percaya pada agama, tetapi Anda mungkin juga memelihara beberapa ikan,” kata dia.
Sehingga pemisahan MA adalah sejalan dengan ketentuan Konvensi CITES. Adapun terkait pelaksanaan mandat sebagai MA CITES jenis ikan, KKP telah menerbitkan aturan pelaksanaannya melalui Permen KKP Nomor 61 tahun 2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau yang tercantum dalam Appendiks CITES.
Dengan diputuskannya Otoritas Pengelola CITES untuk Jenis Ikan ke KKP maka KKP terus memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, dan karantina, termasuk penguatan aspek budidaya, khususnya untuk ikan Arwana dan juga ikan Napoleon.
Ditjen PRLdalam menjalankan mandat CITES telah berbagi tugas, dan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budidaya, pengawasan, tangkap akan menjadi satu kesatuan dalam pelaksanaannya ke depan.
Kesiapan KKP sebagai MA telah ditunjukkan melalui pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis [UPT] Ditjen PRL, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk memastikan bahwa jenis-jenis ikan yang akan diperdagangkan atau diekspor, sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang konservasi jenis ikan.
Menurut Ketua Perarin Anto dalam siaran persnya, Jumat, 1 Oktober 2021 lalu, sebelum adanya kebijakan baru, maka pengurusan surat izin angkut ikan arwana super red untuk pasar domestik maupun mancanegara, masih dilakukan melalui BKSDA KLH.
Untuk pasar dalam negeri, Surat Angkut Tanaman & Satwa Dalam Negeri [SATS-DN] dikenakan biaya sebesar Rp 35.000 per dokumen. Sedangkan untuk pasar luar negeri (CITES) dikenakan biaya sebesar Rp 50.000 per dokumen yang ditambah biaya Rp 20.000 per ekor.
Adapun sejak September 2021, usai regulasi KKP terbit, pengusaha dan pedagang arwana mesti membayar untuk blanko atau Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri (SAJI-DN) yang dikenakan biaya sebesar Rp 540.000 per dokumen ditambah biaya Rp 20.000 per ekor.
Sedangkan untuk Surat Angkut Jenis Ikan Luar Negeri [SAJI-LN] per dokumen yang dikenakan pungutan sebesar Rp 840.000 ditambah biaya Rp 20.000 per ekor.
"Imbasnya selain biaya pengeluaran jadi berlipat-lipat, peraturan baru itu menjadikan proses pembuatan dokumen memakan waktu lebih lama dari yang biasanya dua atau tiga hari menjadi empat hari atau lebih," ujar Anto.
Anto mengatakan meminta meminta agar pengurusan surat izin angkut ikan arwana super red tetap berada di BKSDA.
Jika pembuatan dokumen pengambilan diambil alih pengelolaan Sumber Daya Pesisir & Laut [PSPL} Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka pengusaha dan pelaku meminta kesiapan semua perangkat yang ada di instansi tersebut agar perizinan kian mudah.
Kaitannya itu, Kementrian KKP menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen mewujudkan pengelolaan perikanan di Indonesia, demi tercapainya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan ekologi serta keberlanjutan sumber daya perikanan nasional.
Hal ini sudah termasuk pengelolaan perikanan demersal, yang berfokus ke kakap dan kerapu, sebagaimana pula ditegaskan oleh Menteri KKP Wahyu Trenggono dalam Webinar Optimasi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan yang merujuk pada sistem pengelolaan terukur dan kolaboratif, yang digelar dua hari.Arwana, Ikan Magis Penarik Energi Kekayaan ikan hias yang paling mahal di dunia karena dianggap membawa keberuntungan adalah jenis arwana alias 'ikan naga'.
Spesiesnya yang paling mahal adalah super red (merah super) yang merupakan endemik di Provinsi Kalimantan Barat.
Disebut paling mahal karena konsumen paling 'gila' di dunia untuk ikan bermulut monyong alias 'tak pernah tersenyum' ini adalah daratan China, negara berpenduduk miliaran jiwa, pun Taiwan, Singapura, dan juga kalangan etnis Tionghoa yang tersebar di jagat ini termasuk di Indonesia.
'Memelihara ikan naga berarti memperoleh keberuntungan'
Tetapi kembali disebutkan Tommy Simanungkalit, pemerhati lingkungan menilai, minat besar terhadap arwana sangat mencolok di kalangan warga Tionghoa.
Kalangan yang secara ekonomi lebih makmur dibandingkan warga asli di seluruh wilayah Benua Asia, juga terlihat seperti di luar daratan Tiongkok.
“Banyak jenis ikan yang berbeda adalah tentang keberuntungan.”
"Salah satu spesies ikan yang paling menguntungkan dalam budaya China adalah arwana atau dragonfish, yang diyakini memiliki kekuatan untuk membawa keberuntungan dan kemakmuran," sebutnya.
Beberapa orang China percaya bahwa mereka adalah keturunan naga, suatu mitos yang menempatkan nilai tinggi pada simbolisme naga.
Varietas arwana merah dan emas sangat dihargai, karena warnanya dipandang sebagai keberuntungan tradisional di China, dan semua etnisnya di kolong langit ini.
Tommy menjelaskan, arwana berkontribusi 60 hingga 70 persen dari total penjualan ikan hias Qian Hu di China sebagai pasar utamanya.
Pada tahun 2009 lalu, kata dia lagi, seekor arwana perak bermutu tinggi yang khas, berukuran 15-18 sentimeter diharga antara 1.400 dan 2.000 dolar AS, tetapi beberapa ikan langka yang lebih besar dapat berharga puluhan ribu dolar.
Menurutnya, Arwana dapat hidup hingga 25 tahun, dan dapat tumbuh hingga satu meter panjangnya. Kebanyakan pengusaha China percaya bahwa memelihara arwana akan membawa keberuntungan. Karena ikan arwana dalam fengshui dikenal sebagai naga emas, dan dianggap sebagai simbol kuat sebagai pembawa keberuntungan.
Fengsui adalah ilmu topografi kuno dari Tiongkok, yang mempercayai bahwa manusia dan surga [astronomi] dan bumi [geografi] dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan dengan menerima qi positif.
Qi terdapat di alam, sebagai energi yang tidak terlihat. Qi dibawa oleh angin, dan berhenti ketika bertemu dengan udara. Qi baik disebut juga dengan istilah napas kosmik naga. Jenis qi ini dipercaya sebagai pembawa rezeki dan nasib baik. Namun, ada pula qi buruk yang disebut Sha Qi, yang dipercaya sebagai pembawa nasib buruk atau sial. (*)
Tags : ikan arwana, bisnis arwana, taman hutan raya minas, riau, bisnis arwanarusak lingkungan tahura, bisnis arwana terbentur aturan kementrian, perikanan perlu awasi bisnis ikan arwana, Sorotan,