BISINIS - Sebuah bisnis rintisan berusaha mendekatkan krisis sampah plastik yang menggunung dengan jalan keluar. Mereka mengenalkan pengganti kemasan plastik yang larut saat diseduh, dapat terurai dengan mudah — bahkan aman untuk dimakan.
''Bahannya rumput laut. Kaya serat dan tidak perlu dipupuk,'' ujar David Christian dari Evoware.
Selesai digunakan, kemasan 100% dari rumput laut itu juga boleh Anda telan atau limbahnya menjadi pupuk bagi lingkungan sekitar.
Jika proses yang dilalui kemasan plastik butuh waktu hingga ribuan tahun, revolusi kemasan yang digagas oleh David, seorang lulusan sekolah bisnis, bisa memangkas daur hidupnya menjadi dua tahun saja.
Mirip dengan plastik, kata David, kemasan dari rumput laut ini juga cukup fleksibel diubah menjadi bermacam kemasan serta mudah terurai saat diseduh air panas.
''Sudah memperoleh sertifikat halal, aman dimakan, dan diproduksi sesuai standar HACCP.''
Standar HACCP berdasarkan definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merupakan pendekatan atau pedoman untuk kebersihan dan keamanan bahan pangan.
Walaupun baru diproduksi dengan skala rumah tangga, kemasan pengganti plastik yang brilian ini kini dilirik perusahaan besar seperti produsen mi instan, waralaba burger, dua perusahaan komestik besar asal Inggris, dan sebuah perusahaan kebutuhan rumah tangga internasional.
Pencapaian langka buat produk dengan misi ramah lingkungan.
Pengamat bisnis lingkungan, Agus Sari, mengatakan bahwa produk yang menawarkan solusi terhadap problem sampah plastik semacam ini selalu segar.
''Saya sendiri termasuk yang sangat tertarik dan model seperti ini memang harus dilahirkan,'' kata dia.
Sebab sampai saat ini, imbuh Agus, persoalan sampah plastik di tanah air sudah begitu merepotkan.
Jika pada akhirnya pemerintah akan keluar uang untuk menanggulangi masalah sampah yang luar biasa tersebut, ''kenapa tidak keluar uang untuk pencegahan, dan bukan penanggulangan?''
Untuk bisa bersaing di pasar, produk semacam ini menurutnya akan lekas gugur jika cuma menawarkan solusi.
''Buat pasar, solusi itu urusan secondary. Yang primer, seberapa murah?'' ujar Agus.
''Hanya mengedepankan environmental awareness saja tidak akan cukup untuk jualan.'' Sebab, kata Agus, kalau harganya terlalu mahal untuk produksi massal maka produsen tetap akan membeli kemasan plastik, karena mereka tidak mau menambah biaya.
''Ini kan bukan produk yang tidak ada di pasar, tapi mengganti yang sudah ada di pasar.''
Dan, hadirnya Evoware dengan bungkus kemasan rumput laut sesungguhnya bisa berperan besar menjawab tantangan teknologi untuk beralih ke kemasan bukan plastik.
Tapi, kata Agus, lagi-lagi harganya harus ditekan supaya sebanding dan bisa digunakan sebagai pengganti dan pas untuk skala ekonomi.
''Supaya mereka bisa berperan lebih banyak, satu, harus ada insentif pajak supaya harga bisa bersaing. Kedua, perlu ada regulasi, sekalian saja larang plastik diedarkan.''
Selama ini, imbuh Agus, pemerintah masih belum serius menangani persoalan sampah plastik di tanah air. Padahal, masalah sampah kita sudah luar biasa.
Pemerintah Indonesia menargetkan akan kurangi sampah plastik di laut sampai 70% selama delapan tahun mendatang dan mengatakan telah membuat tahapannya.
Menurut peneliti dari Universitas Georgia Dr. Jenna Jambeck - yang dimuat dalam Jurnal Science (sciencema.org) 12 Februari 2015 - Indonesia membuang limbah plastik sebanyak 3,2 juta ton, dan berada di urutan kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik ke laut setelah Cina.
Sampah plastik yang mengalir ke laut itu kemudian dimakan oleh hewan laut, terutama penyu. (*)