"Badan Pengawasan Obat dan Makanan [BPOM] mengeluarkan izin lima vaksin Booster yang bisa dipakai di tengah kenaikan kasus varian Omicron"
ima jenis vaksin booster Covid-19 yang akan mulai resmi digelar di Indonesia pada 12 Januari 2022 mendatang telah disetujui Badan Pengawasan Obat dan Makanan [BPOM] dan direkomendasikan penggunaan darurat (EUA).
"Lima vaksin yang telah disetujui itu adalah CoronaVax (Sinovac), Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan Zifivax," kata Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers, Senin (10/01).
Pemberian EUA atas lima vaksin booster ini, ungkap Penny, diberikan untuk program vaksin booster homologous alias pemberian dosis vaksin 1-3 dengan menggunakan platform dan merek yang sama, serta heterologous alias pemberian vaksin dosis ketiga yang berbeda dengan pemberian vaksin dosis 1 dan 2.
Vaksin Sinovac, Pfizer, AstraZeneca untuk homologous. Booster Moderna untuk homologous dan heterologous, sedangkan Zifivax untuk heterologous.
Penny melanjutkan, booster Coronavac akan diberikan satu dosis kepada penerima yang telah enam bulan menerima dosis lengkap untuk usia 18 tahun ke atas.
Begitu pula dengan vaksin booster Pfizer, AstraZeneca, dan Zifivax yang diberikan satu dosis minimal setelah enam bulan dosis lengkap. Sementara untuk vaksin Moderna dapat diberikan setengah dosis.
Pemberian EUA atas lima vaksin booster tersebut telah melalui rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI).
Sebelumnya, pemerintah menyebutkan booster "didahulukan untuk yang berisiko tinggi, yaitu lansia, tenaga kesehatan dan kelompok individu immunocompromised", kemudian melalui skema peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
"Setelah itu baru diberikan juga untuk umum," kata Penny.
Sementara rumusan detail terkait program vaksinasi booster, termasuk skema gratis dan berbayar sedang disusun oleh pemerintah.
WHO rekomendasikan booster
WHO telah merekomendasikan bahwa orang dengan gangguan kekebalan tubuh dan para penerima vaksin dari virus Covid-19 yang dimatikan (inactivated vaccine) untuk segera mendapat booster. Dua contoh inactivated vaccine adalah vaksin Sinovac dan Sinopharm, yang digunakan secara luas di Indonesia.
Rekomendasi WHO, yang muncul dari pertemuan Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) baru-baru ini, diberikan seiring varian Omicron terus meluas ke berbagai negara.
Rekomendasi tersebut merupakan perubahan dari yang dianjurkan pada Agustus lalu ketika pemerintah Indonesia mewacanakan vaksin Covid dosis ketiga (booster) mulai tahun depan melalui opsi berbayar.
Dalam rekomendasi terbaru, Kepala SAGE Alejandro Cravioto berkata vaksin memberikan perlindungan kuat terhadap sakit parah selama setidaknya enam bulan, meskipun data menunjukkan perlindungan terhadap sakit parah berkurang pada lansia dan orang-orang dengan kondisi kesehatan bawaan.
"Sementara ini kami terus mendukung perlunya kesetaraan dalam distribusi (vaksin) dan penggunaan dosis ketiga hanya pada mereka dengan masalah kesehatan atau orang-orang yang telah menerima vaksin dari virus yang dimatikan," ujarnya seperti dirilis Reuters.
Sebelumnya, PBB merekomendasikan agar penerima vaksin Sinovac dan Sinopharm berusia di atas 60 tahun segera mendapat booster.
Penasihat senior untuk Dirjen WHO, Diah Saminarsih, mengatakan rekomendasi dosis tambahan diberikan karena ada kemungkinan pengurangan efikasi vaksin yang sudah ada dalam melawan varian baru seperti Delta dan Omicron.
Penelitian awal terhadap kasus dengan dua varian tersebut di Inggris menunjukkan bahwa vaksin kurang efektif menghentikan penularan. Namun dosis ketiga vaksin dapat melindungi sekitar 75% orang dari mengalami gejala Covid.
Rekomendasi terbaru dari WHO secara spesifik menyebut inactivated vaccine karena vaksin dengan teknologi lain seperti Pfizer dan Moderna sudah lebih dulu mengumumkan booster, Diah menambahkan.
"Tidak ada singling out atau secara spesifik hanya bilang untuk yang [platform] inactivated virus karena vaksin jenis yang lain sudah lebih dahulu mengumumkan untuk booster. Maka diberikan kepastian, vaksin yang lain, termasuk di antaranya Sinovac, juga disarankan untuk menerima vaksin [dosis ketiga]," kata Diah Saminarsih dirilis BBC News Indonesia.
Namun demikian, Diah mengakui bahwa di Indonesia masalahnya lebih rumit karena target vaksinasi dosis pertama dan kedua belum terpenuhi. Cakupan vaksinasi dua dosis di Indonesia baru mencapai sekitar 49% dari target, menurut data Kementerian Kesehatan.
Angka tersebut "belum cukup tinggi" dibandingkan negara-negara lain di Eropa, Amerika, bahkan Asia, kata Diah. Karena itu ia mengatakan vaksinasi dosis pertama dan kedua perlu didahulukan.
"Karena bila varian baru ini masuk, orang-orang tersebut (yang belum mendapat vaksinasi lengkap) adalah yang paling rentan, paling mudah tertular kembali," kata Diah.
Untuk lansia dan penerima bantuan iuran
Sebelumnya, juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa pemberian dosis ketiga akan diprioritaskan kepada lansia dan penerima bantuan iuran. Sejauh ini, booster baru secara resmi diberikan kepada tenaga kesehatan.
Menurut Nadia, belum ada rencana untuk memperluas vaksinasi dosis ketiga kepada semua penerima vaksin Sinovac meskipun ada klaim penurunan kekebalan. Hal itu karena keterbatasan persediaan vaksin.
Ketua Tim Uji Klinis Vaksin Sinovac Prof. Kusnandi Rusmil Maret lalu mengatakan bahwa dari hasil uji klinis, kadar antibodi setelah enam bulan penyuntikan vaksin dari perusahaan China itu berkurang "tapi masih 99 persen".
"Jadi walaupun dikatakan, dan kita juga sebenarnya menemukan, bahwa setelah enam bulan terjadi penurunan efikasi, terutama pada lansia; dan pada orang-orang non-lansia juga terjadi penurunan, menurut temuan prof. Kusnandi, tapi dibandingkan kita melakukan vaksinasi booster lebih baik adalah melengkapi vaksinasi dosis satu dan dua, apalagi seluruh sasaran," kata Nadia.
Nadia menjelaskan bahwa vaksin booster rencananya akan diberikan secara gratis kepada lansia dan penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Masyarakat di luar kelompok itu mungkin harus membayar, katanya, karena booster dianggap bukan kewajiban untuk membentuk kekebalan kelompok.
Bulan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah berencana memberi dosis booster kepada masyarakat umum setelah 50% populasi telah mendapatkan vaksinasi lengkap, hal yang ia perkirakan akan tercapai pada akhir Desember.
Perlukah vaksin booster?
Indonesia menghadapi masalah yang cukup pelik dalam vaksinasi Covid-19. Pada saat vaksinasi dosis pertama dan kedua belum selesai, muncul varian baru serta klaim penurunan kekebalan yang mengisyaratkan perlunya dosis ketiga. Dan para epidemiolog tampaknya belum sepakat tentang solusi untuk dilema ini.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menganggap dosis booster belum diperlukan di Indonesia. Daripada booster, kata Pandu, pemerintah seharusnya fokus pada kelompok masyarakat yang belum menerima vaksin, misalnya anak-anak.
Ia mempertanyakan klaim tentang penurunan kekebalan yang dibuat WHO.
"Indonesia dan banyak negara yang menggunakan Sinovac sampai sekarang tenang-tenang saja. Kalau memang ada penurunan efektivitas, kita pasti ada lonjakan kasus, tapi nggak ada. Artinya anjuran itu perlu dipertanyakan," kata Pandu.
Sedangkan Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia, berpendapat dosis booster sangat diperlukan oleh kelompok rentan, termasuk lansia dan orang-orang dengan gangguan kekebalan tubuh, untuk melindungi mereka dari varian baru.
Menurut Dicky, pemberian dosis booster kepada kelompok tersebut bisa dilakukan secara paralel dengan vaksinasi dosis pertama dan kedua, mengingat mereka paling berisiko menyebabkan kematian dan peningkatan hunian rumah sakit.
"Ini jadi kewajiban negara karena masalahnya jangan sampai ketika mengejar cakupan dua dosis tadi, kematian dan hunian rumah sakit meningkat karena itu risiko yang bisa terjadi ketika ini diabaikan juga," kata Dicky.
"Apalagi bicara varian Omicron ini sangat efektif dalam reinfeksi, termasuk membuat kasus breakthrough infections (infeksi baru) pada penerima vaksin lengkap sekalipun. Artinya sebetulnya Indonesia tidak punya pilihan, pilihannya melakukan semua itu dan paralel."
Di antara kelompok rentan, Dicky menekankan pentingnya memberi dosis booster bagi orang dengan gangguan kekebalan (immuno-compromised). Pasalnya berdasarkan penelusuran, diduga kuat varian Omicron - dan beberapa varian lainnya - muncul dari pasien yang mengalami kondisi ini.
Virus corona bermutasi saat bereplikasi atau memperbanyak diri. Semakin lama suatu virus tinggal dalam tubuh seseorang, semakin sering ia bereplikasi, dan semakin besar kemungkinan ia akan bermutasi.
"Data riset menunjukkan yang di Afrika Selatan, penderita immuno-compromised kalau terinfeksi Covid itu bisa sampai tujuh bulan, dia diam di dalam tubuh orang ini. Dan itu yang, jangankan tujuh bulan, dua minggu saja itu sudah bisa menghasilkan potensi varian," Dicky menjelaskan.
Laura Navika Yamani, epidemiolog dari Unair, mengatakan ia tidak menentang pemberian vaksin booster asalkan tidak mengganggu persediaan vaksin untuk dosis pertama dan kedua bagi kelompok rentan.
"Jadi kalau sudah disisihkan untuk kelompok rentan termasuk lansia dan komorbid, kemudian ada sisa persediaan vaksin, itu bisa diberikan sebagai booster," kata Laura.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan vaksin Moderna sebagai vaksin booster. Vaksin merah-putih, vaksin yang dibuat dan diproduksi di Indonesia, juga disiapkan sebagai salah satu opsi.
Bagaimanapun, semua pihak sepakat bahwa vaksinasi dosis pertama dan kedua bagi kelompok rentan harus didahulukan. Saat ini, vaksinasi dua dosis kelompok lansia dan masyarakat rentan masih di bawah 50% dari target.
Hal lain yang juga penting untuk diingat, vaksinasi dua dosis tetap akan memberikan proteksi dari virus corona.
"Karena dilihat sekali lagi berdasarkan data yang ada dari Afrika Selatan, orang yang sudah divaksin dan masih tetap tertular dengan varian baru atau varian Omicron, menunjukkan gejala yang cukup ringan," kata Diah Saminarsih dari WHO. (*)
Tags : Badan Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM Keluarkan Izin 5 Vaksin Booster, Vaksin Booster Ditengah Kenaikan Kasus Varian Omicron,