"Izin penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin coronavac hasil kerja sama buatan perusahaan China, Sinovac Biotech dan perusahaan farmasi asal Indonesia, PT Bio Farma terpaksa dibuat"
erujuk hasil uji klinik di Bandung, BPOM menyebut tingkat khasiat (efficacy) vaksin ini mencapai 65,3%, kata Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, Penny Lukito, vaksin coronavac, katanyasudah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergency (EUO). "Pada 11 Januari ini, BPOM memberikan persetujuan EOU untuk vaksin Covid-19 yang pertama kali kepada vaksin coronavac Biotech Incorporated dengan PT Bio Farma," kata Penny Lukito dalam jumpa pers, Senin (11/01).
Vaksinasi massal di Indonesia direncanakan dimulai Rabu 13 Januari 2021 dengan Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang divaksin. Vaksinasi massal ini akan dijalankan di tengah perkiraan terjadinya lonjakan kasus pada pertengahan dan minggu ketiga Januari ini setelah liburan panjang di Indonesia. "Rumah sakit bakal meledak minggu kedua Januari. Itu ada track recordnya, habis liburan panjang, jumlah kasus naik antara 30% sampai 50%," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
"Sebelum liburan (Desember) sudah tinggi ... itu hitungannya gampang. Di bulan November, kasus aktif 50.000, jadi 30% dari 50.000, kita perlu 15.000 bed (tempat tidur) di seluruh Indonesia, 2.500 di ICU. Sekarang, dalam waktu 1,5 bulan dari 50.000 naik ke 120.000. jadi tempat tidurnya, butuh dari 15.000 jadi 36,000, bayangkan, jadi pasti semakin tertekan," kata Budi Minggu (10/01) dalam virtual gathering dengan rekan seangkatan Regina Pacis, Bogor.
Menurut Penny Lukito, persetujuan oleh BPOM ini merupakan hasil evaluasi data dukung keamanan. "Data ini didapatkan dari uji klinik fase tiga di Indonesia, Turki, dan Brasil yang dipantau sampai tiga bulan setelah penyuntikan dosis kedua," ungkapnya.
Secara keseluruhan, menurutnya, menunjukkan vaksin ini aman dengan efek samping yang ditimbulkan "bersifat ringan sampai sedang, yaitu nyeri, iritasi serta pembengkakan serta efek samping sistemik berupa nyeri otot dan demam".
"Efek samping dengan derajat berat sakit kepala, gangguan kulit dan diare yang dilaporkan hanya sekitar 0,1 sampai 1%. Efek samping itu tidak berbahaya dan dapat pulih kembali," paparnya.
Dengan turunnya izin ini, Indonesia berada di jalur yang sesuai dengan kampanye vaksinasi Covid-19 pada minggu ini, saat Presiden Joko Widodo melakukan suntikan pertama vaksin pada Rabu 13 Januari nanti. Lebih lanjut Penny Lukito mengatakan, hasil evaluasi terhadap khasiat (efficacy). BPOM menggunakan data dari uji klinik di Indonesia dan mempertimbangan uji klinik di Brasil dan Turki.
Vaksin coronavac menunjukkan kemampuan membentuk antibodi dalam tubuh, juga antibodi membunuh atau melemahkan virus. Yang dilihat dari uji klinik di China sampai enam bulan. Di Bandung, 14 hari setelah penyuntikan, kemampuan vaksin membentuk antibodi 99,74%. Tiga bulan setelah penyuntikan 99,23%. Itu menunjukkan bahwa sampai tiga bulan, subjek yang memiliki antibodi masih tinggi, yaitu 99,23%. "Hasil analisis efficacy di Bandung sebesar 65,3%. Di Turki 91,25% dan Brasil 78%. Itu sudah sesuai standar WHO, bahwa minimal efficacy vaksin adalah 50%," kata Penny.
"Efficacy dari hasil uji di Bandung sebesar 65,3% menunjukkan harapan bahwa vaksin ini mampu menurunkan penyakit Covid-19 hingga 65,3%. Ini tentu akan sangat berarti untuk keluar dari krisis Covid-19, di samping upaya pencegahan lain seperti 3M (memakai masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan)," tambahnya.
Sebelumnya, sejumlah epidemiolog dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong hasil kajian ilmiah uji klinis vaksin dipublikasi agar masyarakat "tidak lari" saat akan disuntik vaksin Covid-19. Pemerintah sendiri menyatakan menyiapkan opsi menunda jadwal vaksinasi jika BPOM belum mengeluarkan izin darurat penggunaan vaksin.
Juru bicara Vaksinasi Covid-19 dari BPOM, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan hasil kajian vaksin dari Sinovac sudah tahap finalisasi. Izin darurat penggunaan vaksin dikeluarkan sebelum tanggal 14 Januari 2021. "Mudah-mudahan kita optimistis dalam minggu depan ini akan bisa kita laksanakan itu, pemberian EUA (Emergency Use Authorization), dan vaksinasi bisa dijalankan," kata Lucia kepada wartawan.
Sejauh ini BPOM sudah mengantongi data imunogenisitas dan keamanan vaksin. Imunogenisitas atau kemampuan substansi dari vaksin dalam memicu respon imun dari tubuh (antibodi), dikatakan Lucia, "sudah bisa membentuk antibodi di dalam tubuh". "Dan sudah ada pemeriksaan yang namanya antibodi netralisasi. Antibodi-nya bisa menetralisasi virus yang masuk. Ini sudah ada pemeriksaannya di laboratorium sudah dilakukan dan menunjukkan hasil yang bagus," kata Lucia.
Kemungkinan efek samping - demam, pegal kelelahan
Terkait evaluasi keamanan atau efek samping dari vaksin, dia katakan "tidak ada kondisi berbahaya setelah vaksinasi" seperti pingsan atau menyebabkan kelumpuhan. "Kalau ada serious after event, atau efek samping yang berbahaya mengancam jiwa, sudah pasti kami sudah akan menghentikan atau tidak menyetujuinya," kata Lucia.
Evaluasi terhadap efek samping vaksin produksi perusahaan asal China, Sinovac ini hanya menimbulkan "demam, pegal, kelelahan" yang menjadi efek samping biasa dalam pemberian vaksin. Lucia juga menekankan vaksin produksi Sinovac hanya bisa digunakan pada rentang usia 18 - 59. "Jadi karena data uji klinik yang sudah kita dapatkan ada 18 -59 tahun, ya kita akan gunakan itu," katanya.
Tidak menutup kemungkinan vaksin nantinya juga diberikan pada masyarakat usia 60 tahun ke atas. "Nanti ada kita menunggu data hasil uji klinik berikutnya yang akan mudah-mudahan segera ada yang usia di atas 60 tahun," tambah Lucia.
Data yang dihimpun dan telah dievaluasi dari uji klinis tahap I, II dan III ini menjadi modal bagi BPOM untuk mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19. Kajian tersebut belum lengkap karena BPOM masih menunggu hasil laboratorium terkait dengan efikasi vaksin atau manfaat bagi individu yang menerima imunisasi. "Laporan akhir dari penelitian itu adalah efikasi," lanjut Lucia.
BPOM bantah keluarkan EUA di bawah tekanan
Juru bicara Vaksinasi Covid-19 BPOM, Lucia Rizka Andalusia juga menampik pihaknya mendapat tekanan dari pemerintah untuk mengeluarkan izin darurat penggunaan vaksin Covid-19. "Kalau dibilang BPOM di bawah tekanan, sudah dari kemarin-kemarin EUA dikeluarkan. Anda ingat kan ada opsi November, Desember dan sebagainya, tapi BPOM belum mengeluarkan EUA, karena datanya belum cukup," kata Lucia.
Lucia juga menekankan pihaknya bekerja secara hati-hati, independent dan transparan. "Transparan karena kami mempunyai tim penilai obat, komnas yang sifatnya independen serta melibatkan para ahli," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada media mengungkapkan vaksinasi mulai bergulir Rabu, 13 Januari 2021. Presiden Jokowi dan jajarannya akan menerima vaksin pertama. Setelah itu, vaksinasi dilanjutkan serentak di 34 provinsi Indonesia dengan kelompok prioritas seperti tenaga kesehatan, TNI/Polri, tokoh masyarakat, dan kepala daerah.
Jadwal vaksinasi ini sudah digulirkan pemerintah, meskipun BPOM belum mengeluarkan izin darurat penggunaan vaksin Covid-19. Hal yang dibaca Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai sinyal BPOM berada di bawah tekanan. Penilaian ini seiring dengan survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat tentang keamanan vaksin makin menurun.
Survei menunjukkan 23% masyarakat tidak percaya bahwa vaksin Covid-19 yang akan disediakan pemerintah aman bagi kesehatan penggunanya. Sementara, yang percaya vaksin aman mencapai 56%, dan yang tidak bersikap 20%. Dari survei yang berlangsung 16-19 Desember 2020 ini juga menunjukkan angka masyarakat yang percaya bahwa vaksin aman mengalami penurunan. "Survei nasional kami pada awal Desember 2020 menunjukkan tingkat kepercayaan bahwa vaksin dari pemerintah aman mencapai 66%," ujar Manajer Kebijakan Publik SMRC, Tati Wardi dalam keterangan persnya. "Jadi kalau sekarang hanya 56% yang menganggap aman, itu menunjukkan adanya penurunan."
Selain soal persepsi keamanan, survei juga menunjukkan ketersediaan masyarakat di saat vaksin sudah tersedia. Jajak pendapat menggambarkan hanya sekitar 37% warga yang menyatakan secara tegas akan melakukan vaksinasi; selebihnya 17% tidak akan, dan 40% masih pikir-pikir. "Keamanan dan efektivitas vaksin adalah faktor penting yang dipertimbangkan warga untuk melakukan vaksinasi," ujar Tati.
Transparansi dan publikasi
Peneliti YLKI, Eva Rosita mendorong BPOM mempublikasikan hasil kajian ilmiah evaluasi uji klinis yang sudah dilakukan. Menurutnya, publikasi ini penting dalam rangka mendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dari zat-zat yang akan disuntikkan ke dalam tubuh mereka. "Masyarakat juga tidak menerka-nerka dan tidak ragu, dan pemerintah pun akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, kalau tidak dipublikasikan jangan sampai masyarakat lari untuk divaksin," kata Eva.
Hal senada juga disampaikan Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo. Menurutnya, izin darurat penggunaan vaksin Covid-19 perlu melewati tahapan ilmiah. "Kan, semua itu apalagi semua zat yang akan dimasukkan ke dalam tubuh manusia itu harus aman dan bermanfaat.Dan semua itu harus dibuka, dan kita tahu," katanya dirilis BBC News Indonesia, Rabu (6/1).
Windhu juga meyakini BPOM akan membuka hasil evaluasi uji klinis akan dibuka untuk umum sebagai langkah transparansi. "Jadi ada vaksin yang ternyata efikasinya rendah. Kemudian keamanannya juga rendah, itu pasti akan terbuka. Dan itu tentu akan kita tolak kan," katanya.
Jadwal vaksinasi masih bisa berubah
Sementara itu, Juru bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan jadwal vaksinasi masih bisa ditunda jika BPOM belum mengeluarkan EUA. "Ya, kita kan pada rentang minggu kedua, minggu ketiga (Januari). Tetap harus izin BPOM. Kita menghormati profesionalisme dari BPOM. Jadi kita tetap menunggu pelaksanaannya dari BPOM," kata Siti.
Wacana jadwal vaksinasi yang dimulai 13 Januari dari pemerintah, kata Siti, hanya sebagai perkiraan. Tujuannya, agar pemerintah daerah bisa mempersiapkan diri melakukan vaksinasi massal. "Dasarnya itu (jadwal) sebenarnya, untuk persiapan perlaksanaan di daerah juga. Jadi daerah perlu mempersiapkan perkirakaan waktu untuk pelaksanaan vaksinasi seperti itu," lanjutnya.
Sebagai langkah persiapan lainnya, pemerintah juga telah mempersiapkan 30.000 tenaga vaksinator di seluruh Indonesia. "Sudah dilatih dan ini masih terus dilakukan pelatihan, sesuai permintaan dari pemerintah daerah," kata Siti. (*)
Tags : Covid-19, Vaksinasi, Lonjakan Covid-19, Corona,