JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberi persetujuan pelaksanaan uji klinis Ivermectin untuk menjadi terapi perawatan pasien Covid-19. Ivermectin adalah "obat keras" antiparasit untuk mengobati cacingan.
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, mengatakan uji klinis ini berangkat dari data-data epidemiologi, termasuk publikasi global yang menunjukkan ivermectin bisa digunakan untuk terapi Covid-19. "Dan ada juga guideline dari WHO dikaitkan dengan Covid-19 treatment, yang merekomendasikan bahwa ivermectin dapat digunakan dalam kerangka uji klinis," kata Penny dalam keterangan Pers, Senin (28/6) kemarin.
Uji klinis Ivermectin untuk terapi Covid-19 yang diinisasi Kementerian Kesehatan ini nantinya akan dilakukan di delapan rumah sakit. Di antaranya, RS Persahabatan, RS Sulianti Saroso, RS Sudarso di Pontianak RS Adam Malik di Medan, RSPAD Gatot Subroto, RSAU Jakarta, RSU Suyoto, dan RSD Wisma Atlet Jakarta. "Namun, apabila masyarakat membutuhkan obat ini, dan tidak dapat ikut dalam uji klinis, dokter juga dapat memberikan obat ini tentunya dengan memperhatikan penggunaan sesuai dengan protokol uji klinis yang disetujui," Kata Penny.
BPOM juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menggunakan obat ini secara sembarangan, selama belum ada hasil dari uji klinis. "Kami mengibau kepada masyarakt dengan pelaksanaan uji klinis maka masyarakat tidak membeli obat ivermectin secara bebas, termasuk juga tidak membeli melalui platform online yang ilegal," kata Penny.
Sebelumnya, obat antiparasit cacingan Ivermectin yang siap diproduksi Indofarma tidak mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan sebagai pengobatan bagi pasien Covid-19. "Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis)," tulis BPOM dirilis BBC News Indonesia, Selasa (22/06).
Pernyataan tersebut menanggapi keterangan Menteri BUMN Erick Thohir yang sebelumnya memperkenalkan Ivermectin sebagai obat pencegahan dan terapi Covid-19 dan telah mendapatkan izin edar dari BPOM. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati mengatakan, terjadi misleading atau info menyesatkan jika Ivermectin telah mendapatkan izin edar BPOM untuk terapi Covid-19.
BPOM Amerika Serikat menyatakan Ivermectin bukan antivirus dan belum menyetujui penggunaannya untuk mengobati atau mencegah Covid-19 pada manusia. "Ivermectin bukan antivirus (obat untuk mengobati virus). Kemudian, penggunaan obat ini dalam dosis besar akan berbahaya dan dapat menyebabkan bahaya serius," kata BPOM AS dalam keterangannya.
Badan Obat Eropa baru-baru ini juga menyatakan Ivermectin tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam manajemen rutin pasien COVID-19.
Erick Thohir: Izin edar BPOM atas Ivermectin Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, PT Indofarma, sebagai bagian dari holding BUMN farmasi, telah mendapat izin edar Badan POM RI untuk produk generik Ivermectin 12 miligram. "Kami ingin menyampaikan mengenai obat Ivermectin, yaitu obat antiparasit, yang alhamdulillah hari ini sudah keluar izin edarnya dari BPOM, dan kami terus melakukan komunikasi intensif kepada Kementerian Kesehatan, karena dari studi yang ada Ivermectin ini dianggap bisa membantu dari pada terapi pencegahan," kata Erick dari akun Instagramnya, Senin (21/06).
"Dan ini luar biasa harganya sangat murah. Tapi kembali ditekankan ini adalah terapi, bukan obat Covid, ini bagian dari salah satu terapi," ujarnya.
Erick menambahkan Ivermectin adalah obat antiparasit yang sudah digunakan terbatas untuk terapi penyembuhan Covid-19 di berbagai negara dari India sampai Amerika, juga Indonesia. Menurut Erick mengutip beberapa jurnal kesehatan, obat ini dapat menekan penularan dan perkembangan virus Covid-19 - Balitbangkes dan beberapa rumah sakit kini sedang melakukan uji klinis obat itu.
Indofarma, kata Erick, siap memproduksi empat juta tablet ivermectin 12 miligram per bulan setelah mendapatkan izin edar BPOM RI bernomor GKL2120943310A1. Selain Ivermectin, Indofarma telah memproduksi dan memperoleh izin edar antara lain Oseltamivir 75 mg kapsul dan Remdesivir 100 mg injeksi dengan merekDesrem. "Namun, Harap diingat, Ivermectin tergolong obat keras dan harus digunakan dengan resep serta pengawasan dokter. Jadi, jangan sekali-kali mengkonsumsi obat ini tanpa resep dokter," katanya.
Namun pernyataan Erick yang menyebut Ivermectin telah mendapatkan izin edar BPOM untuk dapat digunakan dalam terapi pengobatan Covid-19 menimbulkan kontroversi. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, melihat pernyataan itu menyesatkan atau misleading. "Izin edar pasti disertai dengan indikasi. Ini menjadi misleading karena izin edar yang dikeluarkan untuk obat itu dengan indikasi antiparasit atau anticacing tapi kemudian dibungkus atau digunakan untuk Covid-19," kata Zullies.
Zullies menambahkan, Ivermectin pertama kali diwacanakan sebagai obat terapi Covid berdasarkan penelitian di Australia - menyebut obat ini dapat menimbulkan efek antiviral terhadap virus SARS-CoV2 namun baru secara in vitro (laboratorium) dan belum diuji kemanusian. "Memang sudah ada uji klinis beberapa negara tapi bukti klinisnya masih bervariasi. Bahkan WHO belum berani merekomendasikan digunakan manusia, baru dalam koridor uji klinis," katanya.
Menurut Zullies, tidak salah menggunakan obat yang sudah ada seperti Ivermectin untuk terapi Covid-19. Namun diperlukan kehati-hatian dalam melihat potensi efek samping yang ditimbulkan. "Saya setuju jika obat ini digunakan untuk terapi Covid, tapi harus ada uji klinis terlebih dahulu dan mendapatkan persetujuan sesuai indikasinya agar lebih aman," ujar Zullies.
Zullies menambahkan, efek samping obat ini relatif ringan dan umum jika menggunakan resep dokter, seperti nyeri otot, ruam, demam, namun akan berbahaya jika digunakan dalam jumlah besar dan sembarangan oleh masyarakat. "Lalu untuk masyarakat sebaiknya sabar menunggu putusan dari BPOM apakah bisa digunakan untuk Covid atau tidak dan menanyakan ke dokter apakah bisa digunakan atau tidak," kata Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada itu.
Stafsus BUMN: Izin edar untuk antiparasit bukan untuk Covid
Staf khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan bahwa yang dimaksud izin edar Ivermectin oleh Erick Thohir adalah untuk antiparasit cacing, bukan Covid. "Tidak ada pernah beliau bilang izin edar itu untuk obat Covid-19. Lihat di Instagram beliau, bahwa itu untuk terapi," kata Arya.
"Jadi izin edar obat itu untuk parasit. Lalu penggunannya untuk Covid itu bukan sebagai obat tapi untuk terapi. Lalu, obat itu juga diberikan di beberapa negara seperti India dan sudah ada jurnal ilmiahnya, jadi bukan asal," tambah Arya.
Arya juga menegaskan, obat Ivermectin telah diberikan beberapa dokter bagi pasien Covid di Indonesia. "Ini cukup efektif sebagai terapi, sama dengan obat lain yang dipakai sebagai terapi penyembuhan corona ini karena memang sampai sekarang belum ada obat corona," katanya
Arya menambahkan, Ivermectin akan sama dengan obat seperti Favipiravir, Azithromycin, Avigan atau vitamin lainnya yang digunakan sebagai terapi pengobatan yang diberikan kepada pasien Covid-19.
Apa itu obat Ivermectin?
Ivermectin pertama kali dikembangkan pada tahun 1970-an dari bakteri dalam sampel tanah yang dikumpulkan di hutan sepanjang lapangan golf Jepang. Tahun berlalu, efektivitas obat Ivermectin dan obat turunannya dalam mengobati infeksi cacing parasit memberikan manfaat besar bagi manusia dan hewan - sehingga penemunya, William C Campbell dan Satoshi Omura dianugrahi Nobel Prize.
Ivermectin saat ini diresepkan dalam bentuk tablet untuk mengobati cacing gelang yang berpotensi menyebabkan kebutaan manusia dan dalam bentuk krim untuk mengobati peradangan kulit seperti rosacea. Namun umumnya obat ini paling sering digunakan untuk mengobati parasit pada hewan. Terkait berkembangnya izin edar dan manfaat Ivermectin untuk terapi Covid-19, BPOM Indonesia memberikan penjelasan.
Dalam siaran persnya, BPOM menyebut, Ivermectin kaplet 12 miligram yang terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis) yang masuk dalam kategori obat keras sehingga pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter. "Data uji klinik yang cukup untuk membuktikan khasiat Ivermectin dalam mencegah dan mengobati COVID-19 hingga saat ini belum tersedia. Dengan demikian, Ivermectin belum dapat disetujui untuk indikasi tersebut," tulis rilis BPOM tersebut.
Kemudian menurut BPOM, Ivermectin yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping, antara lain nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson. Penggunaan obat ini pada manusia masih baru di Indonesia sehingga BPOM memberikan batas waktu kedaluwarsa selama enam bulan terhadap obat tersebut.
Senada dengan itu, BPOM Amerika juga belum menyetujui penggunaan Ivermectin dalam pengobatan Covid-19. Obat ini hanya disetujui pada dosis yang sangat spesifik untuk mengobati cacing parasit, kutu kepala, dan gangguan kulit wajah seperti rosacea. "Ivermectin bukan antivirus (obat untuk mengobati virus)," tulisnya.
Kemudian, penggunaan obat ini dalam dosis besar akan berbahaya dan dapat menyebabkan bahaya serius. "Bahkan pada tingkat yang disetujui saja dapat ketika berinteraksi dengan obat lain dapat menyebabkan pengenceran darah. Lalu overdosis obat ini menyebabkan mual, muntah, diare, hipotensi (tekanan darah rendah), reaksi alergi (gatal dan gatal-gatal), pusing, ataksia (masalah dengan keseimbangan), kejang, koma dan bahkan kematian," tulisnya.
Senada dengan itu, Badan Obat Eropa juga tidak merekomendasikan obat ini untuk digunakan dalam manajemen rutin pasien COVID-19 karena tidak ada cukup bukti khasiatnya. (*)
Tags : Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM, Persetujuan Uji Klinis Ivermectin, Ivermectin Untuk Terapi Perawatan Pasien Covid-19,