JAKARTA - Dalam Pemilu 2024, ada sedikitnya 49 calon legislatif (caleg) dari kalangan mantan narapidana kasus korupsi di tingkat kota sampai provinsi, menurut data lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW).
Meski hukum yang berlaku tidak melarang eks-narapidana korupsi menjadi caleg, tapi menurut seorang pemerhati pemilu, para pemilih harus jeli menyoroti caleg-caleg semacam itu karena mereka “pernah mengkhianati kepercayaan publik.”
Kendati demikan, hampir semua eks-narapidana yang menjadi nara sumber artikel ini mengatakan, "biar rakyat yang menilai".
Salah satu caleg eks-narapidana kasus korupsi, yang bersaing di antara 9.917 calon lainnya untuk memperebutkan satu dari 580 kursi DPR-RI, adalah Mochtar Mohamad.
Mantan wali kota Bekasi, Jawa Barat, ini maju menjadi caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat V.
Sejak keluar dari tahanan pada 2015, Mochtar mengaku tak bersalah dalam kasusnya.
“Saat kejadian itu, saya harus ditahan, posisi tidak punya rumah loh. Saya posisi tidak punya mobil, terus saya korupsi apa? ... Saya nggak punya apa-apa juga. Apa yang dikorupsi?” kilahnya.
Mochtar sebelumnya divonis enam tahun penjara di tingkat kasasi dalam tuduhan sejumlah kasus suap.
Saat di pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Bandung, ia sempat diputus bebas murni. Kasusnya banyak disorot media massa, termasuk Detik.
“Waktu [itu] nuansa politiknya sangat kuat, motif orang didorong menjadi bermasalah hukum itu karena motif politik saja kalau menurut saya,” katanya.
Pada Pemilu 2024, Mochtar akan sibuk sekeluarga. Sebab, istrinya yang merupakan anggota petahana DPRD Jawa Barat, Sumiyati, juga akan kembali mencalonkan diri sebagai caleg di dapil yang sama.
Anaknya, Gilang Esa Mohamad, akan mencoba peruntungan menjadi anggota DPRD Kota Bekasi. Semuanya diusung PDI Perjuangan.
“Istri saya incumbent tiga periode. Kalau orang Bekasi nggak suka saya, isteri saya nggak jadi dewan kali tiga periode. Itu suatu indikator loh bahwa kita disayang rakyat,” kata Mochtar.
Ia mengeklaim sudah memenuhi seluruh persyaratan KPU terkait pencalonan eks-narapidana korupsi, termasuk mendeklarasikan diri kepada publik.
“Kan rakyat juga yang akan menilai, benar nggak saya lakukan,” ucapnya.
Politikus PDI Perjuangan ini pun berjanji jika terpilih nanti: “Saya buktikan justru dengan mewakafkan gaji saya ini buat rakyat, bukan buat saya.”
Di sisi lain, seorang warga yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Barat V, Rita Ayuningtyas, mengaku belum tahu ada caleg di daerahnya dari kalangan eks-narapidana kasus korupsi.
“Belum tahu,” katanya.
Rita mengatakan setiap calon yang pernah bermasalah dengan hukum semestinya diumumkan KPU, agar dapat menjadi bahan pertimbangan pemilih.
“Kalau misalkan cuma kebaikannya doang [yang diumumkan], menurut aku sih nggak fair buat rakyatnya,” kata Rita.
Warga di dapil yang sama, Andry Haryanto, mengatakan, tak ada jaminan jika eks-narapidana kasus korupsi dipilih akan mengubah keadaan suatu daerah menjadi lebih baik.
“Apa jaminannya dia bisa mengurus atau memperjuangkan suara rakyat Bogor ini?” katanya.
Sejatinya, regulasi di Indonesia mengatur setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam pemilu: memilih dan dipilih.
Namun aturan terbaru diatur lebih rinci oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 87/PUU-XX/2022, yang di antaranya:
'Perlu pembuktian yang sangat lama‘
Politikus senior dari Partai Golkar, Nurdin Halid, sekarang juga lagi sibuk-sibuknya "turun ke masyarakat langsung”. Ia akan bertarung memperebutkan kursi DPR-RI dari dapil Sulawesi Selatan II.
“Karena kepedulian terhadap warga Sulawesi Selatan yang banyak ketertinggalan, banyak ketimpangan khususnya infrastruktur, infrastruktur sangat lemah, masih banyak kemiskinan, masih banyak pengangguran."
"Itu yang harus saya perjuangkan,” kata Nurdin Halid seperti dirilis BBC News Indonesia.
Nurdin Halid punya catatan hukum di masa lalu, saat dirinya divonis dua tahun penjara atas kasus korupsi hampir dua dekade silam, sebagaimana dinukil dari kantor berita Antara.
Saat ditanya mengenai rekam jejaknya sebagai eks-narapidana kasus korupsi, Nurdin enggan menjawab panjang lebar.
“Sudah terlalu lama itu,” katanya, serambil menambahkan, “Rakyat itu sekarang melihat rekam jejak yang baik, yang positif bukan yang negatif.”
Pada 2018, Nurdin Halid ikut kontestasi di pemilihan gubernur Sulawesi Selatan. Saat mendaftarkan diri ke KPU, kepada wartawan ia berkata: “Saya memang pernah dipidana, tapi saya bukan koruptor”.
Dia pun meminta agar masyarakat tidak menghakimi dirinya di masa depan, seperti dikutip dari Tempo.
Dari tiga pasangan cagub-cawagub, hasil pilkada Sulsel menunjukkan Nurdin Halid berada di posisi kedua. Ia kalah suara dari pesaingnya, Nurdin Abdullah.
Tapi suaranya saat itu hampir mencapai 1,2 juta suara. Inilah yang membuatnya percaya diri untuk mencoba peruntungan di pertarungan legislatif tingkat nasional.
“Itu bukti, itu kenyataan. Jadi masyarakat itu tidak percaya dengan hal-hal yang bersifat negatif begitu, dia lihat positifnya,” kata Nurdin Halid.
Miftahul Janna, pemilih pemula sekaligus warga dari dapil Nurdin Halid mengaku masih bisa mempertimbangkan memilih caleg dari eks-narapidana kasus korupsi.
“Kalau dia sudah terjerat kasus dan kasusnya tidak termasuk dalam golongan kasus cukup berat mungkin masih bisa untuk dipertimbangkan begitu,” kata Miftahul.
Warga Sulsel lainnya, Ilham, juga punya pandangan yang hampir sama:
“Negara kita negara demokrasi, terus kan kembali kepada rakyat. Jadi tidak ada hak untuk tidak pilih dengan apa latar belakangnya napi, pencuri kah, atau tukang becak. Jadi tidak ada hak, yang penting dia betul-betul mau bela rakyat untuk lima tahun ke depan,” katanya.
Berbeda pendapat dengan Dien Zulfikri Hidayat, warga Sulsel yang menilai mantan narapidana korupsi “tidak layak untuk dipilih”.
“Kalau kita memilih mereka sama saja halnya kita memberikan ruang dia, untuk melakukan hal yang sama. Walaupun dia sudah berubah atau apa pun itu, tapi yang namanya mantan narapidana ya tidak sebanding dengan apa yang kita berikan karena suara ini sangat penting,” kata Dien.
Pihak swasta yang pernah dihukum satu tahun penjara karena tuduhan korupsi dan sekarang ikut kontestasi caleg DPRD Lampung, Mofaje Caropeboka, mengutarakan peribahasa “nila setitik rusak susu sebelangga”.
Hal ini merujuk pada rekam jejaknya yang pernah divonis satu tahun dalam kasus korupsi pengadaan alat peraga sektor pendidikan pada 2010 silam. Tapi ia mengeklaim tak bersalah dalam kasus tersebut, yang ia sebut "salah kirim barang".
"Itupun bukan karena kita tak kirim barang, tapi tertukar kirim. Harusnya dikirim ke sekolah A, masuknya ke sekolah B. Begitu kita mau kembalikan, kepala sekolahnya nggak mau," katanya.
Mofa juga mengaku jika terpilih akan membuktikan dengan "kinerja saya, bukan dengan janji-janji", sambil menambahkan dirinya sedang giat mengikuti seminar-seminar antikorupsi.
Ia mengatakan “wajar-wajar saja“ persepsi pemilih masih sangat dipengaruhi latar belakang dari status hukum caleg.
"Namanya manusia punya pemikiran masing-masing,” katanya kepada wartawan Robertus Bejo di Lampung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Warga Lampung, Yuli Nugrahani ,mengutarakan kekhawatiran: Tidak ada jaminan seorang mantan narapidana korupsi berhenti melakukan kejahatan serupa saat terpilih menjadi caleg.
Namun ia juga mengakui setiap warga punya hak yang sama untuk dipilih, dan ada kemungkinan eks-narapidana korupsi akan berubah karena pernah melewati hukuman penjara.
“Tapi perlu memberi pembuktian yang sangat lama,” katanya.
Apa kata survei?
Litbang Kompas di penghujung 2022 merilis survei yang menunjukkan 90,9% orang yang dijajaki pendapatnya tidak setuju eks-terpidana korupsi menjadi caleg di pemilu. Lalu, yang setuju hanya 7,6% dan sangat setuju 1%.
Survei dengan 504 responden di 34 provinsi ini dikeluarkan sebagai respons Putusan MK No. 87/PUU-XX/2022.
Sebagian besar responden beralasan eks-narapidana korupsi berpotensi mengulangi perbuatannya, semestinya tak diberi tempat di ranah politik, menjadi contoh yang buruk bagi politikus lainnya, tidak etis, dan masih banyak calon lainnya.
Selain itu, menurut peneliti Litbang Kompas, Rangga Sakti Eka, sebanyak 84,4% responden menilai peluang eks-narapidana korupsi menjadi anggota legislatif sebagai “ancaman bagi demokrasi”.
Publik, kata Rangga, menilai korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang harus diganjar dengan hukuman luar biasa.
"Bahkan, lebih dari tiga perempat responden memandang masih terbukanya peluang mantan terpidana korupsi di dalam perekrutan pejabat publik merupakan bentuk keringanan hukuman pada mantan pelaku korupsi," katanya.
Jauh sebelum survei Litbang Kompas dirilis, lembaga KedaiKOPI mengeluarkan jajak pendapat serupa pada Juli 2018 – survei ini merespons Pemilu 2019.
Hasilnya, 90,7% responden yang disurvei mengatakan tidak setuju dengan eks-narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Berdasarkan catatan ICW pada Pemilu 2019 [sebelum putusan MK], terdapat 81 caleg berstatus eks-koruptor dari 14 partai politik. Sebanyak delapan caleg atau hampir 10% terpilih.
Pada Pemilu 2024, ICW menemukan 49 caleg eks-narapidana korupsi yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Rinciannya, sebanyak 27 orang pencalonan di tingkat DPRD dan 22 lainnya di tingkat DPR-RI.
Lembaga antikorupsi ini juga menemukan tujuh calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki rekam jejak sebagai narapidana korupsi.
'Situasi tidak menyenangkan di Pemilu 2024‘
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, mengatakan, seseorang yang sudah menjalani hukuman, memiliki hak untuk memperoleh penerimaan dan perlindungan dari negara agar tidak melakukan kejahatan serupa.
“Kecuali memang kemudian ada hukuman tambahan, pencabutan hak politik tentunya dia tidak berhak,” kata Andi.
Sejauh ini, tambah Andi, yang menjadi polemik adalah persoalan etika. Oleh karena itu, pemilih disarankan untuk jeli dalam melihat latar belakang caleg, termasuk kehidupan yang dijalani sehari-hari.
“Maka yang perlu dilakukan adalah mengedukasi masyarakat [dalam menentukan pilihan],” katanya.
Peneliti pemilu, Titi Anggraini mengatakan persoalannya adalah "komitmen moral dan juga komitmen politik kepada publik.“
"Dan sudah terbukti bahwa seorang mantan terpidana itu pernah mengkhianati kepercayaan publik terkait dengan pengelolaan uang dan juga anggaran yang melibatkan kepentingan orang banyak,“ kata Titi.
Titi menambahkan, semestinya partai politik melakukan penyaringan terhadap calon-calon legislatif dari pihak mereka.
Menurutnya, "yang bisa kita lakukan memastikan pemilih tidak terkecoh, pemilih tidak terjebak, dan pemilih paham betul soal rekam jejak calon yang harus mereka pilih“.
"Ini saya kira situasi yang tidak menyenangkan yang harus kita lewati pada Pemilu 2024,“ kata Titi, sambil mendorong KPU lebih masif mengumumkan caleg-caleg yang berstatus eks-narapidana korupsi.
Silang sengkarut aturan di Pemilu 2024
Aturan caleg eks-narapidana kasus korupsi pemilu kali ini lebih rumit karena KPU belum mengikuti keputusan MK dan Mahkamah Agung terkait syarat "melewati masa jeda lima tahun setelah keluar dari penjara".
KPU masih mempertahankan aturan mantan terpidana bisa saja mencalonkan diri kurang dari lima tahun masa jeda, asalkan ia memperoleh hukuman tambahan berupa pencabutan hak berpolitik.
Persoalannya, berdasarkan hasil pantauan ICW pada 2021, rata-rata hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik koruptor berada pada rentang 1,5 tahun - 3,5 tahun.
KPU tidak menjawab persoalan ini. Namun, anggota KPU, Idham Kholik kepada Tempo mengatakan, “Untuk mengubah pasal tersebut proses tahapannya panjang".
KPU, kata dia, sudah menerbitkan surat edaran kepada partai politik untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan sikap KPU yang tak merevisi aturannya sendiri, membuka ruang gugatan dalam perselisihan hasil suara nanti. Gugatan ini bisa datang dari caleg di dalam parpol itu sendiri.
“Tidak menutup kemungkinan juga antar parpol,” kata Fadli.
Bagaimana publik tahu caleg pernah menjadi narapidana kasus korupsi?
Sebanyak 41 mantan terpidana kasus korupsi resmi masuk daftar tetap calon legislatif untuk tingkat DPRD dan DPD.
Para bekas koruptor yang ditetapkan menjadi caleg ini adalah mereka yang mengajukan sengketa ke Bawaslu. Sebelumnya mereka dinyatakan tak memenuhi persyaratan oleh KPU.
KPU meloloskan mereka hari Kamis (20/09/2023) setelah muncul polemik larangan eks koruptor menjadi calon anggota dewan, yang ditolak Badan Pengawas Pemilu dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Namun hingga saat ini KPU belum memutuskan perlakuan khusus bagi para caleg bekas koruptor itu.
Di luar itu, terdapat empat bekas pelaku kejahatan anak yang juga lolos menjadi caleg tingkat DPRD. Namun KPU belum mengumumkan nama-namanya.
Komisioner KPU, Ilham Saputra, menyebut lembaganya masih mempertimbangkan sejumlah opsi agar memastikan pemegang hak suara mengetahui rekam jejak negatif para eks koruptor.
Ilham berkata, KPU tak ingin perlakuan itu melanggar undang-undang dan memaksa mereka mengulang tahapan pemilu yang telah tuntas.
"Masih wacana, apalagi memberi tanda di surat suara yang tidak memuat gambar. Kalaupun dilakukan, mungkin di daftar calon tetap melalui poster," ujar Ilham di Jakarta.
Penandaan bekas koruptor, kata Ilham, tak mungkin dilakukan karena desain surat suara telah ditetapkan. Surat suara untuk pileg hanya berisi nama, tanpa foto.
Tak terdapat mantan koruptor dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) tingkat DPR. Total caleg yang memperebutkan kursi ke Senayan sebanyak 7.968 orang.
Dalam DCT DPRD tingkat provinsi dan DPRD kabupaten/kota, masing-masing terdapat 12 dan 26 mantan terpidana kasus korupsi.
Di level DPRD, caleg eks koruptor terbanyak berasal dari Gerindra, yakni enam orang. Adapun, Hanura memiliki lima caleg bekas koruptor.
Partai Golkar, Berkarya, PAN, dan Demokrat sama-sama mencalonkan empat caleg bekas koruptor.
Partai NasDem, Garuda, Perindo, dan PKPI, masing-masing memiliki dua caleg yang pernah divonis pada kasus korupsi.
Sementara PDIP, PKS, dan PBB memiliki tiga caleg mantan koruptor.
Jika dipetakan berdasarkan daerah, caleg bekas koruptor tersebar di enam provinsi dan 18 kabupaten/kota.
Di Provinsi Maluku Utara terdapat tiga caleg eks koruptor. Jambi dan Sulawesi Utara sama-sama memiliki dua caleg bekas pelaku korupsi.
DKI Jakarta, Gorontalo, dan Jawa Tengah, masing-masing ada satu caleg koruptor.
Adapun, di level kabupaten/kota, caleg dengan status ini terdapat di Belitung Timur (3 orang), Pandeglang (2), Rejang Lebong (2), Nias Selatan (2), Pagar Alam (2), Cilegon (2), Rembang (1), Lombok Tengah (1), Manado (1).
Sisanya, Poso (1), Toraja Utara (1), Tanggamus (1), Tojo Una-Una (1), Ende (1), Bulukumba (1), Mamuju (1), Lingga (1), dan Blora (1).
Pada DCT untuk DPD, tiga caleg yang pernah dipenjara karena korupsi adalah Abdullah Puteh (Aceh), Ririn Rosyana (Kalimantan Tengah), dan Syachrial Kui Domopou (Sulawesi Utara).
Dosen ilmu politik di Universitas Indonesia, Anna Margret, mendesak KPU segera menentukan opsi untuk mempublikasikan status eks koruptor itu kepada publik.
Menurutnya, menunggu partai politik berinisiatif mengumumkan rekam jejak itu merupakan hal sia-sia.
"Lucu kalau kita mengharapkan partai melakukan itu karena mereka justru mendorong mantan koruptor meski sempat dilarang KPU. Itu tidak realistis," ujarnya.
Anna berkata, kalaupun KPU ragu-ragu menerapkan perlakuan berbeda terhadap para caleg bermasalah itu, inisiatif harus dilakukan kelompok masyarakat sipil dan media massa.
"Masyarakat sipil dan media massa lebih efektif dibandingkan lembaga negara karena paling dekat dengan masyarakat."
"Sesama warga menginformasikan tentang rekam jejak. Distribusi informasi lebih cepat dan jujur," kata Anna via telepon.
Setelah penetapan DCT, para caleg yang lolos syarat dijadwalkan berkampanye dari 23 September hingga 13 April 2019
Pencoblosan dijadwalkan berlangsung pada 17 April 2019, berbarengan dengan pemungutan suara pemilihan presiden dan wakil presiden.
F.Seluruh partai politik telah meneken pakta integritas untuk mencalonkan caleg yang bersih catatan kasus korupsi. Namun dokumen itu tak memiliki kekuatan hukum memaksa.
F.Penumpang menunggu kereta di depan iklan imbauan antipolitik uang yang ditayangkan di salah satu peron Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2023). Imbauan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) itu bertujuan mengingatkan masyarakat agar menolak politik uang untuk menciptakan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang bersih.
Tags : Hak asasi, Politik, Pilpres 2024, Hukum, Indonesia, Pemilu 2024, Korupsi,