"Selama beroperasi 92 tahun di Riau limbah minyak bahan beracun dan berbahaya [B3] PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) belum juga tertangani dengan baik. Jelang 5 bulan berakhirnya kontrak di Blok Rokan pada Agustus mendatang perusahaan asal Amerika Serikat [AS] itu disorot publik"
erusahaan minyak dan gas [Migas] ini tersebar di kabupaten/kota, seperti operasionalnya di Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir [Rohil] disoroti warga Bangko Pusako terkait limbah B3 yang menyasar tanah warga.
"Lahan pekarangan kami terkena limbah milik CPI, warga disini sudah melakukan tuntutan ganti rugi tapi hingga kini belum terealisasi," kata H Sahruddin, warga Bangko Bakti, Rohil.
Limbah di duga B3 milik Chevron menyebar disejumlah titik dalam area operasionalnya di Kepenghuluan Bangko Bakti, "aroma yang ditimbulkan sangat bau [busuk] hinga kepemukiman warga Kepenghuluan Bangko Bakti dan Bangko Jaya," kata Sharuddin lagi dengan kawan-kawannya yang mengaku sudah pernah menuntut ganti rugi yang konon sedang berproses sejak 2019 tapi tak juga kelihatan hasilnya.
Wargapun menceritakan aroma bau busuk menyebar pada saat saat tertentu [musim kemarau]. Udara yang ditebarkan hingga di kepenghuluan Bangko Bakti kerap menimbulkan aroma bau busuk.
"Bau busuk yang paling menyengat pada saat musim kemarau, bau busuk tak terhindari, dan sebaliknya pada saat musim hujan limbah minyak mentah masuk ke sumur warga," kata Asmadi warga Bangko Bakti didampingi sejumlah pemuda Kepenghuluan Bangko Bakti menceritakan.
Tumpukan limbah dibeberapa titik yang dikemas dalam kantongan pelastik warna putih, dan sumur yang dibangun CPI alhasil berisi minyak mentah. Sumur dalam keadaan terbuka dibangun tanpa ada penutup, sumur tersebut dipagar dengan kawat dilokasi operasi CPI. Sumur berisi minyak mentah diduga limbah B3. Kemudian disedot dalam 2 hari 1 kali, dan juga ada limbah diduga B3, dikemas dalam pelastik di bawa keluar lokasi, cerita warga.
"Limbah dikemas dalam kantongan pelastik berwarna putih tampak berserakan dilokasi operasi PT. CPI, namun perusahaan menggunakan truk diangkut dibawa keluar lokasi."
Asmadi mewakili warga soal pemasangan batu patok yang akan dijadikan sebagai tanda batas antara konsesi PT. CPI dengan tanah warga mengaku telah melaporkannya ke Lembaga Perkumpulan Penggiat Penyelamat Kekayaan Daerah (P3KD) Provinsi Riau.
"Terkait limbah diduga B3 milik CPI, P3KD Riau selanjutnya akan membuat laporan ke pihak CPI," dibenarkan S.Purba selaku Ketua Umum P3KD Riau.
Terakhir limbah CPI juga ditemukan berserakan di PLG Minas dan di lahan warga, pengerjaan pemulihan tanah terkontaminasi dilakukan Sub Kontraktor PT Sami Surya Perkasa terkesan asal-asalan. Limbah B3 juga terdapat dilahan sawit warga, "upaya Sub Kontraktor CPI untuk membersihkan ceceran limbah minyak tidak selelsai bahkan limbah juga terkontaminasi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahuara) Sultan Syarif Kasim dan Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas di Provinsi Riau," kata Drmawi Zalik Aris dari Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Indonesian Corruption Investigation [ICI] yang juga Ketua DPP Lembaga Melayu Riau [LMR] ini..
Menyikapi limbah CPI ini Darmwi menilai volume limbah yang dihasil CPI diperkirakan sudah mencapai 1 juta meter kubik dan ini sungguh mengerikan tergenang dan tersimpan dalam beberapa kolam limbah di kabupaten/kota di Provinsi Riau.
"Limbah B3 Chevron ini jika tidak dikelola dengan baik dan benar akan terjadi pencemaran seperti di Teluk Meksiko. Riau dalam ancaman limbah yang terus mengkhawatirkan," katanya.
Sekarang kata Darmawi di area lokasi pengeboran minyak PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) di Riau nampak jelas dampak genangan limbah minyak terbesar dalam sejarah. Darmawi mengatakan dampak negatif yang ditimbulkan, terutama menyangkut beberapa lokasi persawahan dan kebun milik warga, burung-burung di daerah pantai yang terus ikut terkontaminasi.
"Jika mereka mendarat di atas minyak, sebagian besar dari mereka akan mati, karena bulu-bulu dan sayap mereka saling menempel."
"Jika mereka berusaha membersihkan bulu-bulu dengan paruhnya, maka minyak yang beracun akan tertelan. Kerusakan juga mengancam persawahan dan kebun serta pohon-pohon tanaman keras."
Tindakan penyelamatan kelihatan amat sulit dilakukan, karena lokasi bekas pengeboran minyak Chevron tersebut sangat sulit dibersihkan dari minyak. Darmawi mengungkapkan, di daerah itu (Duri, Minas, Bangko) Riau banyak muara sungai yang bercabang-cabang. Ada banyak daerah alang-alang dan hutan.
Orang tidak mungkin mengeluarkan minyak dari wilayah itu. Jadi minyak hanya dapat diuraikan melalui proses alamiah. Diperkirakan lamanya bertahun-tahun, bahkan beberapa dasawarsa.
"Dalam banyak pencemaran yang terjadi, fase regenerasi sangat cepat. Setelah lebih dari 92 tahun operasi Chevron di Riau, banyak orang mengira daerah lokasi tambang pengeboran minyak yang tercemar minyak membutuhkan beberapa dasawarsa untuk pemulihan," ungkapnya memperkirakan.
Supaya jumlah limbah minyak (B3) sesedikit mungkin, Pemerintah sudah mengizinkan perusahaan Chevron yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini baik melalui cara pembakaran, remediasi, landfill, untuk menguraikan minyak dengan berbagai pilihan. Jika terurai limbah minyak akan berubah menjadi lebih bersahabat dipermukaan bumi.
Darmawi kelahiran Bengkalis ini memuji langkah pemerintah dalam menawarkan untuk penanganan zat kimia tersebut. Menurutnya, Chevron malah hanya seperti 'cuci tangan', mengaku tidak beracun dan dapat diurai secara biologis, bahkan seperti mengulur-ulur waktu. Padahal soal limbah minyak itu merupakan 'bom waktu' bagi masyarakat Riau.
Menurut Darmawi ada sekitar 1 juta meter kubik limbah minyak Chevron sekarang ini di Riau tersebar di beberapa kolam penampungannya belum juga diproses dan limbah B3 ini tidak boleh dibuang ke alam, ditanam dalam tanah. Kalaupun dibakar harus punya alat yang diatur sesuai ketentuan.
"Ada proses kimia yang ramah lingkungan yang sudah kami tawarkan ke Chevron untuk memproses limbah B3 ini dan ini sangat aman dan ramah lingkungan. Sekarang ini limbah itu menjadi ancaman bagi Riau," kata Darmawi.
H Husaini Hamidi salah satu pegawai Chevron yang kini telah pensiun menyatakan diperusahaan AS itu ada dua kasta diberlakukan, dikalangan sarjana tehknik para pegawai langsung masuk kelas. Tahun 1981 kelas 1-4 disebut non staf [pegawai harian]. Kelas 5-6 Asosiet staf [mendapatkan segala fasilitas] selanjut 7-13 ini adalah staf [yang mendapatkan fasilitas cuti keluar negeri].
"Saya masuk kerja dari sarjana muda di beri kelas 3, untuk menjelang dan mendapat tingkatan kasta diatasnya sangat susah dan setelah pensiun hingga mencapai kelas 9," sebutnya yang bekerja dan mengabdi di Chevron 23 tahun.
Masyarakat umum katanya, masyarakat memandang seseorang bekerja di Chevron mendapat nama cukup harum. Diberi biaya sewa rumah Rp120.000 untuk menyicil rumah Rp64 ribu. "Ini artinya fasilitas yang diberikan cukup tinggi," kata Husaini Hamidi lagi yang bekerja dibidang administrasi yang juga mengaku soal limbah B3 dahulunya masih sangat tertutup.
Kerusakan Lingkungan
Tetapi kembali seperti disebutkan Bakernas ICI ini sependapat tawaran pemerintah diberikan pada Chevron melalui pembakaran, remediasi, landfill pada limbah B3 yang dihasilkan Chevron. Darmawi pun menambahkan, limbah B3 konsekuensi dari pengeboran minyak Chevron tidak akan pernah digunakan di Riau. Sekarang, kata dia Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sudah melarang adanya limbah ini, akibat dampak sampingannya yang tidak dapat diperhitungkan.
Minyak yang terurai dan tenggelam menyebabkan kerusakan berikutnya di dipermukaan maupun dalam bumi, karena minyak meracuni plankton, tumbuhan dan berbagai organisme kecil dan ikan yang berenang melalui sungai-sungai kecil di sekitarnya yang tercemar limbah minyak.
Masalah berikutnya akan timbul dalam proses penguraian limbah minyak oleh bakteri di bawah air, yaitu penurunan drastis jumlah oksigen di air. Darmawi memperkirakan, Ini berarti organisme seperti ikan atau organisme kecil, tumbuhan yang membutuhkan oksigen menghadapi masalah besar.
"Kita khawatir, di wilayah (area pengeboran) itu akan terbentuk zona kematian, yaitu zona di mana tidak ada oksigen.Tetapi itu tidak ada yang dapat mengatakan dengan pasti,“ katanya.
"Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang tahu, seluas mana kerusakan lingkungan. Tetapi pencemaran limbah minyak sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dan tetap akan meracuni masyarakat Riau," terangnya.
Chevron dituntut bertanggung Jawab
Kedatangan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Herman Haeron dalam kunjungannya ke Chevron di Minas, Riau menemukan lahan bekas pengolahan minyak justru mempertanyakan pengelolaan limbahnya seharusnya sudah dapat dilakukan rehabilitasi.
Bersama anggota Komisi VII DPR RI sebanyak tujuh orang datang kelokasi melakukan penijauan langsung kelokasi tempat 'persembunyian' limbah yang tertutup.
Herman Haeron mengaku tentang limbah B3 Chevron sebenarnya sudah mendapat lampu merah dari MenLHK. "Kami telah melihat secara dekat tentang pengelolaan limbah di kawasan perusahaan pengolahan minyak Chevron yang akhirnya masih mengalami jalan buntu tentang titik akhir pembuangan limbah tersebut yang telah dihitung ada sebanyak 11.000 titik dan 800 area sudah teridentifikasi yang harus dipulihkan," kata Herman Haeron di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Kamis 30 November 2017 lalu.
Tanah yang terkontaminasi akibat aliran limbah B3 Chevron di sekitar lahan kebun sawit warga.
Namun jelang 5 bulan berakhirnya kontrak PT Chevron Pasific indonesia (CPI) di Blok Rokan pada Agustus mendatang, persoalan pencemaran limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari operasi selama 90 tahun perusahaan asal Amerika Serikat itu masih disorot publik.
Sedikitnya terdapat 1,6 juta meter kubik tanah masyarakat yang terkontaminasi limbah B3 Chevron dan 279 pengaduan masyarakat terkait pencemaran limbah B3 minyak di tanah mereka hingga kini belum dipulihkan Chevron.
"Dari rapat terakhir tadi, Chevron malah menyebutkan persoalan 279 pengaduan masyarakat terkait pencemaran limbah B3 minyak akan dilanjutkan kontraktor berikutnya yakni PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Ini seolah-olah mereka lepas tangan. Padahal kita dan masyarakat butuh pertanggungjawabannya sebelum perusahaan itu pergi," kata Kepala Seksi (Kasi) Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau Dwiyana, Sabtu (10/4).
Seusai mengikuti diskusi publik selamatkan Riau dari pencemaran limbah B3 tanah terkontaminasi minyak yang digelar Yayasan Anak Rimba Indonesia (Arimbi) di Pekanbaru, Dwiyana menjelaskan, faktanya pencemaran limbah B3 minyak Chevron jelas merugikan masyarakat. Karena itu, perusahaan harus bertanggung jawab mutlak.
"Itu sesuai Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sejauh ini sebanyak 1,6 juta meter kubik tanah terkontaminasi limbah B3 minyak dari 2017 hingga Februari 2021, belum dipulihkan. Kemudian sebanyak 279 pengaduan masyarakat terkait pencemaran limbah B3 minyak juga belum dibersihkan. Tanah dan air yang terkontaminasi limbah B3 minyak itu mengandung zat logam berat yang berbahaya bagi ekosistem alam dan kesehatan kehidupan manusia," jelasnya.
Dinas Lingkungan Hidup, lanjut Dwiyana, adalah fasilitator dan mediator sengketa. Sebab izin perusahaan dikeluarkan oleh pemerintah pusat. "Harapan kami, perusahaan yang menyebabkan kerugian masyarakat ini harus bertanggungjawab penuh," tegasnya.
Pakar lingkungan yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Riau Elfiriadi menambahkan hingga kini belum pernah ada hitungan ganti rugi pencemaran limbah B3 minyak Chevron di Indonesia. Padahal hitungan pencemaran itu telah diatur dalam Permen LHK No.7 tahun 2014. Namun tidak banyak masyarakat yang tahu.
"Rakyat Indonesia tidak diberikan otoritas melawan. Masyarakat sipil tidak diberikan otoritas. Padahal dari aturan, ahli bisa untuk menghitung kerugian. Beda dengan di Amerika, pribadi bisa menggugat negara. Kasus pencemaran limbah B3 minyak Chevron ini dampaknya bisa meluas karena faktor alam. Mengalir dari ketinggian masuk ke dalam tanah sehingga dalam jangka panjang mencemari fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) masyarakat di Riau," jelasnya.
Senada dengan itu, pakar hukum Universitas Lancang Kuning Iriawan Harahap mengatakan pencemaran limbah B3 minyak Chevron di Riau mengandung logam berat dan bisa eksplosive atau meledak terbakar sewaktu-waktu.
"Sampai saat ini Pemprov Riau belum ada kemauan politik. Gerakan masyarakat seperti Arimbi ini harus menjadi titik pijak. Seperti kita ketahui, SKK Migas sudah menganggarkan Rp8 triliun untuk dana pemulihan lingkungan akibat limbah minyak. Tetapi dana itu sampai sekarang tidak digunakan," ujarnya.
Menurut Iriawan, harus ada pertanggungjawaban bisnis dan mutlak dari Chevron. Apalagi masyarakat punya hak hukum untuk menuntut. Karena itu, Pemprov Riau kalau tidak mau terlambat harus segera menyusun langkah-langkah hukum bersama masyarakat menuntut pertanggungjawaban Chevron.
"Atau Riau hanya akan memiliki kenang-kenangan limbah hitam B3 minyak saja," sebutnya.
Dua menteri mendapat surat terbuka soal kondisi blok rokan
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya juga mendapat kiriman surat terbuka terkait kondisi tanah terkontaminasi minyak (TTM) di Blok Rokan, Riau.
Surat terbuka elektronik tersebut dilayangkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman guna mengonfirmasi tentang audit lingkungan wilayah kerja PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Blok Rokan. Yusri mengaku terkejut atas pengakuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Provinsi Riau, Mamun Murod bahwa Kemenko Marinves menginisiasi audit lingkungan oleh KLHK untuk wilayah kerja PT CPI di Blok Rokan dan sekitarnya pada 2020 lalu.
Surat terbuka elektronik
Selain itu, Mamun Murod juga membeberkan bahwa Dinas LHK Provinsi Riau tidak pernah terlibat dalam pembahasan rencana audit lingkungan hidup, pelaksanaan audit, dan penilaian hasil audit lingkungan hidup PT Chevron Pacific Indonesia.
"Ia juga mengaku bahwa lokasi TTM di Provinsi Riau yang berada di lahan masyarakat berdasarkan pengaduan yang diterima Dinas LHK Provinsi Riau sampai dengan awal April 2021, sebanyak 297 lokasi. Namun belum diketahui berapa jumlah volumenya, karena belum dilaksanakan pemuluhan fungsi lingkungan hidup," beber Yusri dalam surat terbukanya, Minggu (23/5).
Tak hanya itu, lanjut Yusri dalam surat terbukanya tersebut, Mamun Murod juga mengungkapkan bahwa sejak tahun 2016, PT Chevron telah diperintahkan oleh KLHK untuk melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan hidup terhadap tanah terkontaminasi limbah B3 atau minyak bumi di 132 lokasi, di luar lokasi yang diadukan masyarakat ke DLHK Riau.
"Terungkapkan juga oleh Kepala LHK Riau bahwa sampai Januari 2021, PT Chevron telah melaksanakan pemulihan pada 85 lokasi, dengan total TTM yang dikelola dari tahun 2016 hingga Januari 2021 sebanyak 1,6 juta meter kubik," jelas Yusri.
Yusri membeberkan, Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa DLHK Riau, Dwiyana kepada media mengatakan limbah dengan jutaan meter kubik itu diduga sengaja tidak dikelola, bahkan ada yang sengaja dibuang dengan truk tangki di lahan masyarakat. Bila benar, tindakan itu jelas praktik dumping limbah ilegal yang cukup meresahkan masyarakat sejak lama.
"Selanjutnya Mamun Murod mengatakan bahwa pihaknya dibatasi kewenangan. Perizinan lingkungan diterbitkan KLHK. Jadi pengawasan dan pengendaliannya merupakan kewenangan KLHK. Kalau soal protes sudah sering mereka lakukan baik dalam rapat di daerah maupun di pusat," lanjutnya.
Selain pengakuan Mamun Murod, Yusri membaca adanya Surat Gubernur Riau pada 28 April 2021 kepada Menteri ESDM kepada Dirjen Migas yang berisi permohonan penjelasan keberlanjutan pemulihan TTM Pasca Operasi Blok Rokan oleh PT CPI, dan adanya surat jawaban Dirjen Migas kepada Gubernur Riau pada tanggal 4 Mei 2021.
"Dikaitkan dengan isi keterangan Kepala Dinas LHK dan Gubernur Riau, jelas terlihat bahwa wilayah kerja PT CPI volume TTM masih banyak yang belum dimusnahkan," paparnya dalam surat terbuka.
"Menurut hemat kami, hal tersebut sudah tentu akan, bahkan mungkin telah berdampak buruk bagi masyarakat Riau serta flora dan fauna di sekitar wilayah operasi PT CPI yang akan diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Rokan pada 8 Agustus 2021," ungkap Yusri.
Terkait kondisi tersebut, CERI mengajukan permohonan kepada Menko Marinves dan Menteri LHK untuk bisa menjelaskan soal tidak terlibatnya Dinas LHK Riau dalam tim kerja audit lingkungan, baik mulai tahap perencanaan audit, pelaksanaan audit, dan penilian hasil audit tersebut.
Sebab bila merujuk UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan perubahan dari UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kata dia, lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sesuai UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Apalagi jika dikaitkan dengan Keputusan Menteri LHK 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Minyak serta Peraturan Menteri LHK 101/2018 tentang Pedoman Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3," tandasnya.
CERI telah melayangkan surat elektronik terbuka tentang kondisi tanah terkontaminasi minyak (TTM) di Blok Rokan, Riau, Minggu(23/5). CERI melayangkan surat tersebut untuk Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, mengatakan surat itu berisi konfirmasi dan permintaan informasi tentang Audit Lingkungan Wilayah Kerja PT Chevron Pacific Indonesia di Blok Rokan.
CERI juga menyampaikan apresiasi atas inisiatif Kementerian Kordinator Kemaritiman dan Investasi telah memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan audit lingkungan pada 2020 untuk mengevaluasi dan menilai ketaatan Chevron terhadap kegiatan pengendalian dan perlindungan lingkungan dari operasi produksi minyak terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
“Namun, kami sangat terkejut atas pengakuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Provinsi Riau Mamun Murod. Pada intinya pengakuan Mamun Murod itu antara lain menguak bahwa atas inisiatif Kemenko Marinves, pada tahun 2020 telah dilakukan audit lingkungan oleh KLHK untuk wilayah kerja Chevron Pacific Indonesia di Blok Rokan dan sekitarnya,” ujar Yusri pada media, Selasa (25/5).
Menurut Yusri, pengakuan Mamun Murod itu membeberkan bahwa Dinas LHK Provinsi Riau tidak pernah terlibat dalam pembahasan rencana audit lingkungan hidup, pelaksanaan audit, dan penilaian hasil audit lingkungan hidup Chevron Pacific Indonesia.
“Ia juga mengaku bahwa lokasi TTM di Provinsi Riau yang berada di lahan masyarakat berdasarkan pengaduan yang diterima Dinas LHK Provinsi Riau sampai dengan awal April 2021, sebanyak 297 lokasi. Namun belum diketahui berapa jumlah volumenya, karena belum dilaksanakan pemuluhan fungsi lingkungan hidup,” kata Yusri.
Dalam surat terbuka CERI tersebut, disebutkan Mamun Murod juga mengungkapkan sejak tahun 2016 Chevron telah diperintahkan oleh KLHK untuk melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan hidup terhadap tanah terkontaminasi limbah B3 atau minyak bumi di 132 lokasi, di luar lokasi yang diadukan masyarakat ke DLHK Riau.
“Terungkap juga oleh Kepala LHK Riau bahwa sampai dengan Januari 2021 Chevron telah melaksanakan pemulihan pada 85 lokasi, dengan total TTM yang dikelola dari tahun 2016 hingga Januari 2021 sebanyak 1,6 juta meter kubik,” ungkap Yusri.
Yusri mengungkapkan bahwa sebelumnya, Dwiyana sebagai Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa DLHK Riau mengatakan bahwa limbah dengan jutaan meter kubik itu diduga sengaja tidak dikelola, bahkan ada yang sengaja dibuang dengan truk tangki di lahan masyarakat, dan tindakan itu jelas praktek dumping limbah ilegal yang cukup meresahkan masyarakat sejak lama.
Lokasi pemulihan TTM PT Chevron yang diduga warga telah disalahi oleh perusahaan pengerjaan proyek.
Selanjutnya, Mamun Murod mengatakan bahwa pihaknya dibatasi kewenangan. Perizinan lingkungan diterbitkan KLHK, sehingga pengawasan dan pengendaliannya merupakan kewenangan KLHK. “Kalau soal protes sudah sering mereka lakukan baik dalam rapat di daerah maupun di pusat,” ujar Yusri.
Dalam surat CERI, selain disebutkan soal pengakuan Mamun Murod tersebut, terungkap Surat Gubernur Riau pada 28 April 2021 kepada Menteri ESDM cq Dirjen Migas yang berisi permohonan penjelasan keberlanjutan pemulihan TTM Pasca Operasi Blok Rokan oleh PT CPI, dan adanya Surat Jawaban Dirjen Migas kepada Gubernur Riau pada tanggal 4 Mei 2021.
“Dikaitkan dengan isi keterangan Kepala Dinas LHK dan Gubernur Riau, jelas terlihat bahwa wilayah kerja PT CPI volume TTM masih banyak yang belum dimusnahkan,” kata Yusri.
Hal tersebut sudah tentu akan, bahkan mungkin telah berdampak buruk bagi masyarakat Riau serta flora dan fauna di sekitar wilayah operasi CPI yang akan diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Rokan pada 8 Agustus 2021.
Terkait kondisi tersebut, kata Yusri, CERI mengajukan permohonan kepada Menko Marinves dan Menteri LHK untuk bisa menjelaskan antara lain tentang apakah benar Dinas LHK Riau tidak dilibatkan di dalam tim kerja audit lingkungan yang dipimpin tim dari Kementerian LHK. Baik mulai dari tahap perencanaan audit, pelaksanaan audit dan penilian hasil audit tersebut.
Jika memang benar Dinas LHK Daerah Riau tidak dilibatkan dalam audit lingkungan tersebut, CERI meminta penjelasan apa dasar pertimbangan dan dasar hukum kebijakan tersebut, jika ditinjau dari UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan perubahan dari UU nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Satu dan lain mengingat pula bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sesuai UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang Undang Negara Republik Indonesia, kata Yusri.
“Apalagi jika dikaitkan dengan Keputusan Menteri LHK nomor 128 tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Tehnis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Minyak serta Peraturan Menteri LHK nomor 101 tahun 2018 tentang Pedoman Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3,” kata Yusri.
Apa kata pihak chevron
Rencana penyerahan alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) ke Pertamina Hulu Rokan pada 8 Agustus 2021 menimbulkan beberapa kontra, namun masih tersisa sekitar jutaan metrik ton limbah TTM yang berada di area operasi PT CPI, Manager Corporate Communication PT CPI Sonitha Purnomo mengatakan akan bertanggung jawab terhadap lingkungan tersebut.
Namun menurut Yusri, berdasarkan informasi yang dia peroleh menunjukkan sejak awal 2020 anggaran cost recovery untuk pemulihan limbah TTM sejumlah US$400 juta atau setara Rp5,7 triliun. Namun, sejak pertengahan 2020 hingga saat ini tidak ada kegiatan pemulihan TTM yang dilanjutkan.
Dia juga mendapatkan informasi mengenai adanya sebuah perusahaan yang menawarkan teknologi untuk mengolah limbah B3 TTM di sekitar Blok Rokan dengan biaya yang lebih efisien. Akan tetapi, teknologi tersebut tidak diaplikasikan oleh PT CPI.
Menurutnya, biaya pengangkutan limbah TTM dari Blok Rokan ke lokasi pemusnahan di PPLI Cibinong atau pabrik semen di Pulau Jawa bisa mencapai Rp900 ribu per metrik ton, belum termasuk biaya pemusnahannya.
Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengumumkan perusahaan sektor minyak dan gas bumi (migas) penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) terbanyak sepanjang 2018 termasuk tiga jenis limbah B3 yang dihasilkan, yakni tanah terkontaminasi, limbah sisa operasi, dan limbah sisa produksi.
Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Adhi Wibowo menyebut PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menjadi perusahaan migas penghasil limbah B3 terbanyak pada periode tahun itu.
Chevron memiliki luas operasional yang cukup besar dibandingkan perusahaan tambang lainnya di Indonesia. “Persentase (limbah B3) dihitung dari luas kan. Kalau itu gede, ya gede, walaupun persentasenya kecil. Apalagi sudah dari zaman Belanda kan, jadi kumulatif berton-ton itu,” sebut Adhi usai mengikuti rapat bersama Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (21/1).
Dari catatan Kementerian ESDM, Chevron menghasilkan sekitar 27.275 ton limbah tanah terkontaminasi di daerah operasionalnya di Blok Rokan, Riau. Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Iwan Prasetya memaparkan, Chevron tercatat melakukan 15.000 pengeboran sumur di Riau, tidak hanya pasir minyak saja, melainkan juga ceceran minyak tanah atau Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi (TTM).
Selain limbah tanah terkontaminasi, Chevron juga menghasilkan 3.515 ton limbah sisa operasi. Merujuk pada peta jalan (roadmap) pengelolaan yang disusun Chevron, diketahui terdapat 125 lokasi TTM yang perlu dipulihkan. 55 di antaranya sedang dalam proses, sementara sisanya masih belum dikerjakan.
Kendati demikian, ongkos yang dikeluarkan Chevron sebagai dana pascatambang--untuk pengolahan dan pelestarian lingkungan--adalah sekitar $3,2 juta Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp45,57 miliar.
Limbah Chevron yang berbentuk lumpur hitam.
“Kami punya pengelolaan limbah. Jadi limbah operasi (yang dihasilkan oleh Chevron) seperti bekas-bekas oli,” sebut Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs Chevron Wahyu Budianto.
Untuk diketahui, payung hukum alokasi dana pascatambang merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2012.
Limbah B3 merupakan sisa kegiatan yang mengandung bahan berbahaya/beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak/mencemarkan lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan manusia. (*)
Tags : PT Chevron Pasific Indonesia, Chevron Wariskan Limbah B3, Chevron di Riau,