Internasional   2021/01/29 15:51 WIB

Covid-19 di Inggris: Angka Kematian Menembus 100.000 Orang

Covid-19 di Inggris: Angka Kematian Menembus 100.000 Orang

INTERNASIONAL - Lebih dari 100.000 orang di Inggris meninggal dunia akibat virus corona. Di awal pandemi, mungkin tak ada yang memperkirakan angka kematian setinggi ini. Apa yang menyebabkan Inggris menjadi salah satu negara dengan korban meninggal akibat Covid-19 terbanyak di dunia?

Partai Buruh yang beroposisi, mengatakan Inggris sudah membuat "kesalahan monumental" dan "serangkaian kesalahan" yang menyebabkan salah satu tingkat kematian terburuk di dunia. Jonathan Ashworth, menteri bayangan bidang kesehatan mengatakan kepada BBC, bahwa perdana menteri Inggris menunda bertindak berdasarkan saran ilmiah untuk melakukan lockdown sebanyak tiga kali. Pada hari Selasa (26/01), ketika Inggris melewati 100.000 kematian, Boris Johnson mengatakan dirinya "sangat menyesal atas setiap nyawa yang hilang". "Kami benar-benar telah melakukan semua yang kami bisa," ujarnya dirilis BBC.

Tetapi kepada program Radio 4, Today, Ashworth mengatakan dia tidak percaya Boris Johnson sudah melakukan segala yang dia bisa, seraya menambahkan, "Saya tidak menerima itu."

Inggris adalah negara kelima yang melewati 100.000 kematian, setelah AS, Brasil, India, dan Meksiko. Jadi, apa yang menyebabkan angka kematian di Inggris begitu tinggi? Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan itu. Tetapi ada banyak petunjuk yang, jika digabungkan, membantu kita memahami penyebab tingginya angka kematian itu.
Penerapan lockdown. Karantina wilayah penuh diterapkan akhir bulan Maret 2020. Namun, ada penundaan penting selama seminggu yang diperkirakan menelan korban lebih dari 20.000 jiwa, menurut pemodel pemerintah Profesor Neil Ferguson, merujuk pada cepatnya tingkat infeksi pada saat itu.

Pemodel pemerintah sendiri mengakui bahwa data saat itu "sangat buruk" sehingga sulit untuk membuat keputusan yang akan berdampak signifikan. Pada saat itu, virus sudah menyebar ke seluruh panti jompo. Sekitar 30% kematian pada gelombang pertama terjadi di panti jompo atau 40% jika termasuk penghuni panti yang meninggal di rumah sakit. Pada bulan Mei, pembatasan mulai dilonggarkan. Tapi apakah ini terlalu dini?

Saat itu pemerintah mengatakan akan fokus memperkuat pengujian dan penelusuran. Fakta bahwa ini harus dilakukan beberapa bulan setelah virus menyerang, menggambarkan faktor lain di balik tingginya angka kematian - Inggris sama sekali tidak siap menghadapi pandemi dan terlambat jika dibandingkan dengan negara Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan.

Proses penelusuran di Inggris juga menemui banyak hambatan dengan pelacak berjuang untuk menjangkau banyak kontak dan kapasitas pengujian yang melambat karena permintaan meningkat. Tingkat infeksi yang rendah selama musim panas telah menciptakan rasa aman yang palsu. Putus asa untuk menggerakan ekonomi, pemerintah meluncurkan skema Eat Out to Help Out -- program makan di luar untuk membantu pengusaha restoran -- yang menawarkan orang-orang potongan harga makanan selama Agustus.

Sejauh mana kebijakan itu berkontribusi pada peningkatan kasus masih jadi perdebatan, tetapi beberapa dokter mengatakan kebijakan itu berujung pada peningkatan jumlah pasien di rumah sakit. Pada akhir Agustus sekitar 1.000 orang setiap hari dinyatakan positif. Pada pertengahan September angka itu naik tiga kali lipat dan naik lima kali lipat menjadi 15.000 pada pertengahan Oktober. Angka positif tidak pernah kembali di bawah rata-rata 10.000 sehari sejak itu.

Keputusan lain yang telah banyak dikritik adalah penolakan para menteri untuk melakukan lockdown singkat selama dua minggu pada bulan September, meskipun Kelompok Penasihat Ilmiah untuk Keadaan Darurat (Sage) merekomendasikan langkah itu. Peneliti percaya kebijakan itu akan menghentikan penyebaran virus setidaknya selama sebulan, memberikan waktu bagi petugas tes dan penelusuran untuk berbenah. Ini juga merupakan waktu ketika gejala penyakit pernapasan mulai meningkat.

Sekolah dan universitas telah kembali dibuka, menciptakan lingkungan baru untuk penyebaran virus corona baru. Tetapi bahkan sebelum lockdown dicabut, kasus-kasus mulai meningkat di Inggris tenggara. Dalam beberapa minggu kemudian diketahui bahwa virus telah bermutasi dengan varian baru yang lebih cepat menular. Pada pertengahan Desember, tuntutan penerapan lockdown muncul kembali, tetapi rencana pelonggaran pembatasan Natal telah diumumkan. 

Harus juga diakui bahwa ada faktor-faktor di luar kendali pemerintah yang menjadi penyebab tingginya angka kematian. Salah satu alasan virus dapat bertahan dan menyebar dengan sangat cepat adalah karena faktor geografi dan fakta bahwa Inggris -- dan London pada khususnya -- adalah pusat global. Analisis genetik menunjukkan virus itu dibawa ke Inggris setidaknya pada 1.300 kesempatan terpisah, terutama dari Prancis, Spanyol, dan Italia, pada akhir Maret. Hal ini bukanlah sesuatu yang harus ditangani Australia atau Selandia Baru dalam skala seperti itu.

Inggris adalah salah satu dari 10 negara besar dengan populasi terpadat, dengan populasi lebih dari 20 juta. Itu berarti virus dapat menyebar ke mana-mana dengan cukup cepat. Selain itu, populasi lansia juga perlu diperhitungkan. Di sisi lain, Inggris memiliki salah satu tingkat obesitas tertinggi di dunia, yang meningkatkan risiko rawat inap dan kematian, menurut badan kesehatan Inggris, Public Health England. Sebuah penelitian menemukan risiko kematian hampir dua kali lipat bagi mereka yang sangat gemuk.

Kondisi seperti diabetes, penyakit ginjal, dan masalah pernapasan juga meningkatkan risiko kematian dan angka penyakit bawaan di Inggris juga cukup tinggi. Ada yang berpendapat pula tingkat kesehatan yang buruk ini telah diperparah oleh tingkat ketidaksetaraan di Inggris. Tingkat kesehatan selalu lebih buruk di daerah-daerah miskin, tetapi pandemi tampaknya memperburuk hal ini. Singapura tahan remaja yang dituduh berencana serang masjid ala insiden Christchurch

Seorang remaja berusia 16 tahun ditahan aparat Singapura atas tuduhan berencana membunuh umat Muslim di dua masjid bertepatan dengan dua tahun serangan di Christchurch, Selandia Baru. Aparat Singapura menuding remaja itu mendapat pengaruh Brenton Tarrant—penyerang dua masjid di Christchurch. Dia dituduh berencana menikam para calon korbannya dan menayangkan serangan secara langsung di internet seperti aksi Tarrant.

Remaja itu adalah individu termuda yang ditahan menggunakan Undang-Undang Keamanan Internal—aturan yang memberi kewenangan kepada aparat untuk menahan seseorang tanpa proses pengadilan. Identitas remaja Singapura tersebut tidak dipublikasikan, namun aparat menyebutnya sebagai penganut Kristen Protestan keturunan India. Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) mengatakan dia "dimotivasi antipati kuat terhadap Islam dan ketertarikan pada kekerasan".
Rencana serangan

MHA mengatakan yang bersangkutan jelas "mendapat pengaruh dari tindakan dan manifesto Tarrant" mengingat dia berencana melakukan aksi pada 15 Maret, yang bertepatan dengan dua tahun peringatan serangan di Christchurch. Dia juga disebut-sebut mengaku menyaksikan siaran langsung serangan Tarrant dan tontonan itu membuatnya "berhasrat".

Dia diduga berencana menyerang dua masjid—Masjid Assyafaah dan Masjid Yusof Ishak—dekat rumahnya. Aparat menuduh remaja itu berencana mencuri kartu kredit ayahnya untuk menyewa mobil dan berkendara di antara kedua masjid itu. Dia tidak punya surat izin mengemudi, namun yakin "bisa melakukannya", kata para pejabat dari Departemen Keamanan Dalam Negeri.

Ditambahkan MHA, remaja itu awalnya berencana menggunakan senapan seperti Tarrant, tapi kemudian memutuskan memakai belati setelah kesulitan membeli senjata api di Singapura yang menerapkan aturan ketat soal kepemilikan senjata api. MHA mengatakan remaja itu mengaku "memperkirakan dua hasil—ditangkap sebelum melakoni serangan, atau melaksanakan rencana kemudian dibunuh polisi. "Rencananya sangat matang, dia tahu akan mati dan bersiap untuk mati," kata Menteri Hukum dan Dalam Negeri, K Shanmugam, kepada media setempat.

MHA menambahkan, remaja itu beraksi sendirian dan "tiada indikasi dia mencoba mempengaruhi siapapun… atau melibatkan orang lain dalam rencana serangannya". Aparat mengaku menerima petunjuk pada November 2020 lalu, dan segera menangkapnya. Dalam serangan terhadap dua masjid di Christhurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019, sebanyak 51 orang tewas akibat ditembak oleh Tarrant, yang kini dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Puluhan umat Muslim yang menjadi korban sedang salat Jumat. Hingga kini, insiden itu adalah penembakan massal terburuk sepanjang sejarah Selandia Baru. (*)


 

Tags : Covid-19 di Inggris, Angka Kematian Menembus 100.000 Orang,