Sorotan   2020/09/28 11:10 WIB

Covid-19: Siapa yang Mengembangkan 'Vaksin Merah-Putih'?

Covid-19: Siapa yang Mengembangkan 'Vaksin Merah-Putih'?

"Pengembangan vaksin untuk Covid-19 sedang dilakukan oleh peneliti di berbagai negara di dunia - termasuk Indonesia"

ebutan bagi vaksin Covid-19 ["vaksin merah-putih"] yang diteliti dan dikembangkan di Indonesia akan melengkapi vaksin yang didatangkan dari luar negeri melalui kerja sama dengan perusahaan China Sinovac dan G42 Sinopharm dari Uni Emirat Arab, kata Menteri Riset dan Teknologi RI Bambang Brodjonegoro. Dalam jumpa pers di BNPB awal bulan lalu, ia menjelaskan bahwa sedikitnya ada lima lembaga penelitian dan universitas di Indonesia yang sedang meneliti vaksin merah-putih dengan berbagai pendekatan atau platform.

Siapa saja mereka, dan platform apa saja yang digunakan? Sebelum membahas lebih lanjut, mari segarkan dulu ingatan kita tentang cara kerja vaksin.

Cara kerja vaksin

Pada dasarnya, vaksin bertujuan 'melatih' sistem imun untuk menghasilkan antibodi yang mampu memusnahkan virus. Virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, terdiri dari materi genetik berupa asam ribonukleat atau RNA yang dibungkus 'kapsul' protein. Pada pembungkus itu terdapat bagian seperti paku atau spike yang digunakan virus untuk menempel pada sel manusia dan menginfeksinya.

Vaksin konvensional, seperti yang dibuat Sinovac dan G42-Sinopharm, menggunakan virus yang dimatikan. Materi genetik SARS-CoV-2 dihancurkan sehingga ia tak bisa lagi menginfeksi sel manusia; yang tersisa hanyalah selubung proteinnya. Sistem imun kita akan mendeteksi 'kapsul' protein ini sebagai benda asing dan menciptakan antibodi untuk menghancurkannya. Dengan itu, ketika virus yang hidup masuk ke dalam tubuh kita, kita sudah memiliki antibodi untuk melawannya.

Namun beberapa penelitian - termasuk di Indonesia - mengambil pendekatan lain dalam membuat vaksin yang tidak membutuhkan virus utuh. Cara ini dianggap lebih aman karena para peneliti tidak perlu mengembangbiakkan virus dalam jumlah besar di laboratorium serta meminimalkan risiko timbulnya reaksi dalam tubuh penerima vaksin yang dikhawatirkan bisa terjadi bila menggunakan virus utuh.

Berikut sejumlah lembaga penelitian dan universitas di Indonesia yang sedang melakukan penelitian vaksin Covid-19, dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan.

Protein Rekombinan - Eijkman dan LIPI

Lembaga Biologi Molekular Eijkman saat ini memimpin pengembangan vaksin Covid-19 di Indonesia, dengan progresnya dilaporkan sudah mencapai 50%. Lembaga penelitian yang berbasis di Jakarta ini menggunakan metode yang disebut protein rekombinan. Para peneliti mengambil gen yang mengkode kapsul protein dari sekuens RNA virus SARS Cov-2. Gen tersebut disisipkan dalam vektor atau pembawa gen yang disebut plasmid kemudian dimasukkan ke dalam sel bakteri.

Bakteri berfungsi sebagai 'pabrik' protein, yang kelak disuntikkan ke dalam tubuh manusia untuk memicu respons sistem imun. Kepala lembaga Eijkman, Profesor Amin Soebandrio menjelaskan timnya menggunakan sedikitnya dua gen - S atau spike, struktur yang digunakan SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel manusia, dan N atau nukleokapsid, protein yang menyelubungi RNA virus. Dengan ini, vaksin bisa melatih antibodi untuk mengenali virus yang hendak menginfeksi sel tapi juga virus yang terlanjur masuk ke dalam sel, menambah keampuhannya. "Karena mekanisme kerjanya ada dua," kata Prof. Amin dirilis BBC News Indonesia.

Vaksin yang dikembangkan Eijkman mungkin akan diberikan dalam dua kali suntikan. Suntikan pertama untuk menghasilkan respons primer sistem imun. Suntikan kedua diberikan dua atau tiga minggu kemudian sebagai pendorong atau booster. "Sehingga diharapkan nanti terjadi maturity of immune response (respons imun yang matang)," kata Prof. Amin.

Pendekatan protein rekombinan juga diambil tim peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemimpin pengembangan vaksin Covid-19 di LIPI, Dr. Wien Kusharyoto mengatakan mereka menargetkan uji praklinis dimulai pada pertengahan tahun depan. Wien menjelaskan, vaksin LIPI menggunakan gen yang mengkode protein spike utuh serta berbagai bagian dari spike, termasuk Receptor-Binding-Domain (RBD). Hal itu bertujuan menciptakan antibodi penetral yang mampu melumpuhkan virus. "Kalau nanti bisa mengikat RBD, bagian-bagian RBD dan sekitarnya, maka virusnya tidak akan mampu lagi menginfeksi sel," ujarnya.
Adenovirus - Unair dan ITB

Sementara ITB dan UNAIR disebut mengambil pendekatan lain, yaitu dengan menggunakan Adenovirus. Virus ini biasanya menginfeksi simpanse dan manusia, menyebabkan beragam penyakit. Untuk membuat vaksin, para peneliti memodifikasi adenovirus sehingga tidak bisa memperbanyak diri di tubuh manusia. Adenovirus yang sekarang tidak berbahaya ini digunakan sebagai vektor atau pembawa gen yang mengkode protein 'spike' pada SARS-CoV-2.

Ketika vaksin adenovirus dimasukkan ke dalam tubuh, ia akan memasukkan gen tersebut ke dalam sel. Kemudian, sel tubuh kita sendirilah yang memproduksi antigen virus corona. Hal ini akan memicu respons sistem pertahanan tubuh. Sehingga kalau nanti virus corona betulan masuk ke dalam tubuh, sistem pertahanan kita sudah terlatih untuk melawannya. Profesor Ni Nyoman Puspitaningsih, salah satu peneliti dari tim pengembangan vaksin Covid-19 di Unair, mengatakan pihaknya menggunakan gen yang diisolasi dari SARS-CoV-2 yang menginfeksi pasien Indonesia. Mereka juga membuat desain vaksin dari gen mutan dan subunit.

"Jadi ada tiga desain kita - desain protein utuh, protein mutannya, dan bagian dari protein ... Sehingga nanti kita bandingkan dari yang wildtype (galur asli) dan yang mutan, protein utuh itu seperti apa; kalau hanya subunitnya saja yang kita ambil seperti apa; kalau di-mix seperti apa," ia menjelaskan.

Prof. Nyoman mengatakan bahwa progres penelitian telah mencapai tahap kloning gen, dengan target konstruksi gen siap dimasukkan ke dalam vektor adenovirus pada akhir September. Ketika ditanya kapan akan memulai uji coba pada hewan, ia menjawab: "Mudah-mudahan November ya." Vektor Adenovirus juga digunakan tim peneliti vaksin di Oxford, yang sudah mencapai uji klinis tahap tiga, dan perusahaan asal China CanSino Biologics. Pendekatan ini juga telah digunakan dalam pembuatan vaksin untuk berbagai patogen termasuk flu, Zika, dan MERS.

mRNA, DNA, Virus-like particles - Unud dan UI

Sementara peneliti di Universitas Udayana (Unud) mengembangkan vaksin dengan platform messenger RNA atau mRNA. Messenger RNA adalah molekul yang membawa instruksi dalam bentuk kode - disebut gen - ke bagian sel yang memproduksi protein. mRNA sintetik yang memuat kode untuk protein 'spike' pada SARS-Cov-2 dibungkus dengan selaput lemak yang disebut liposom, yang mirip dengan struktur dinding sel kita.

Ketika dimasukkan ke dalam tubuh, mRNA akan masuk ke dalam sel. Kemudian, sel akan menggunakan gen dalam mRNA tersebut untuk memproduksi protein 'spike' yang melatih sistem pertahanan tubuh kita. Unud memilih platform mRNA karena proses pengembangannya relatif cepat dan tidak membutuhkan fasilitas canggih, kata Profesor GN Mahardhika dari Fakultas Kedokteran Hewan Unud, yang melakukan penelitian vaksin. "Semua prosesnya dalam tabung reaksi," ujarnya.

Selain itu, lanjut Prof. Mahardhika, mRNA lebih mudah diisolasi dan dimurnikan. "Sehingga teknik ini sangat potensial untuk mengembangkan vaksin pandemi yang cepat dan kemurniannya tinggi," katanya.

Ia menjelaskan, pihaknya menggunakan gen pengkode spike protein serta gen pengkode nukleokapsid dan dua gen lain yang diduga memicu gejala gangguan pernapasan berat (Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS) pada orang yang terinfeksi virus Covid-19. Unud mulai membuat prototipe vaksin mRNA pada bulan Juni dan berharap bisa mendapatkan data tentang imunopotensinya dari percobaan pada hewan uji pada akhir tahun, kata Prof. Mahardhika. "Awal tahun depan diharapkan bisa mulai uji coba pada monyet, kerja sama dengan Unair yang punya lab BSL3," ujarnya.

Platform mRNA juga digunakan oleh Moderna, salah satu perusahaan yang memproduksi kandidat vaksin potensial di AS. Bagaimanapun, hingga saat ini belum ada produk vaksin mRNA yang mendapat persetujuan dari badan pengawas obat manapun di dunia. Sementara Universitas Indonesia menggunakan platform DNA, yang mekanismenya untuk memunculkan respons sistem imun kurang-lebih sama dengan vaksin mRNA. Bedanya, vaksin DNA harus dimasukkan sampai ke dalam inti sel - hal yang menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti. "Untuk DNA bisa masuk ke dalam inti sel, menembus dinding inti sel inilah tantangannya," kata Dr. Budiman Bela, peneliti utama dalam tim pengembangan vaksin Covid-19 di UI, kepada kantor berita Antara.

"Kalau sel kita sedang membelah, DNA bisa masuk ke dalam inti sel, tapi problemnya adalah sebagian besar sel kita berada dalam keadaan tidak membelah, jadi dinding inti sel masih utuh, inilah tantangan paling besar daripada delivery DNA ke dalam inti sel yang tidak membelah," ia menjelaskan.

Budiman mengatakan bahwa vaksin DNA yang dikembangkan UI sedang diujicobakan pada hewan untuk melihat kemampuannya menginduksi respons imun protektif yang dibutuhkan.

Jangan dianggap 'senjata pamungkas'

Keenam lembaga penelitian tersebut, yang tergabung dalam konsorsium vaksin nasional, berlomba untuk menciptakan kandidat vaksin untuk Covid-19. Kandidat yang terbukti paling potensial akan berlanjut ke tahap produksi massal. Dalam konferensi pers di Istana Negara, 9 September lalu, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia butuh lebih dari 500 juta vaksin Covid-19. Itu karena ada kemungkinan vaksin perlu diberikan dua kali, untuk memastikan respons sistem imun yang cukup kuat. "Dan otomatis, ini membutuhkan kapasitas produksi yang besar karena itulah kami mengajak Biofarma untuk melakukan ekspansi dan perusahaan-perusahaan swasta lain untuk ikut mendukung," ujar Bambang.

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo memperkirakan bahwa kebutuhan vaksin bagi seluruh rakyat Indonesia mustahil dicukupi dalam waktu sekejap. Karena itu, ia memperingatkan bahwa vaksin janganlah dianggap sebagai 'senjata pamungkas' untuk melawan virus Covid-19. Selain itu, berdasarkan penelitian awal ada indikasi bahwa vaksin mungkin tidak memberi proteksi 100 persen dari infeksi SARS-CoV-2. Uji praklinis vaksin yang dikembangkan Oxford-Astrazeneca pada monyet menunjukkan bahwa vaksin bisa mencegah pneumonia, namun materi genetik virus masih ditemukan di saluran napasnya. Ahmad mengatakan, yang menjadi prioritas tetaplah memutus rantai pandemi. "Karena tidak mungkin kita bisa memproduksi lima-ratus juta dosis dalam waktu sehari. Artinya tidak mungkin pula melindungi 200 juta warga Indonesia dalam tempo sehari," ujarnya.

"Maka sebenarnya, di tengah ketidakpastian ini yang saya ingin pemerintah itu saat ini jangan terlalu banyak bicara mengenai vaksin. Sekarang ini kita harus fokuskan energi kita pada memutus rantai pandemi, dan cuma ada satu caranya: 3T - test (tes), trace (lacak), treat (rawat)."

Presiden Joko Widodo meminta pengembangan vaksin merah putih bukan hanya untuk mengatasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi, tapi juga menunjukkan kemampuan dan kemandirian Indonesia. (*)

Tags : Covid-19, Vaksin Merah-Putih',