"Betapa ganasnya gejala Covid, bahkan serangan Covid ketiga dirasakan jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan serangan ke dua"
ovid selalu menimbulkan beragam gejala. Bahkan sebelum adanya vaksin, beberapa orang tidak sakit atau tidak menunjukkan gejala apa pun. Gejala yang lazim dialami adalah batuk, sakit kepala, atau demam selama seminggu yang diikuti dengan rasa lelah yang berkepanjangan.
Bagi sebagian dari kita, Covid hanyalah pilek - bahkan tidak cukup untuk membuat Anda mencari-cari tes swab.
Namun para ilmuwan spesialis sistem kekebalan tubuh memperingatkan bahwa Covid masih bisa menyebabkan sakit parah yang mungkin lebih buruk dari sebelumnya dan membuat kita ‘tumbang’ selama berminggu-minggu.
Sementara, Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Indonesia,Corruption Investigation [ICI] menilai, pengaruh Covid-19 juga terjadi pada kondisi sosial ekonomi global termasuk yang terjadi di Indonesia.
"Pada tahun 2020 lalu hampir setiap orang mendambakan menjadi tahun yang penuh dengan pengharapan. Dunia seakan tampak lelah dengan hadirnya berbagai tantangan besar dalam perekonomian," sebut H. Darmawi Wardhana Zalik Aris, Koordinator ICI Pusat Jakarta ini dalam pembicaraannya belum lama ini.
Menurutnya, perang dagang dan proteksionisme telah menciptakan dinamika perekonomian tak berujung, yang membuat pertumbuhan ekonomi tertekan.
Meski pemulihan ekonomi di tahun 2020 lalu diprediksi tidak akan mudah, setidaknya tidak ada yang membayangkan bahwa sebuah badai yang jauh lebih besar sedang menanti untuk semakin memporak-porandakan perekonomian dunia.
"Siapa yang menyangka badai tersebut datang dalam wujud sebuah wabah penyakit, akar permasalahan yang mungkin tidak terpikirkan oleh sebagian besar pengamat ekonomi. Kehadirannya yang tiba-tiba dan sifatnya yang “unik” menciptakan situasi yang serba tidak pasti dan dampak yang dahsyat," sebut Darmawi Wardhana.
Lantas, apa yang terjadi?
Bagaimana keadaan kita setelah terpapar Covid bergantung pada pertarungan antara virus dan pertahanan tubuh kita.
Tahapan awal sangat penting karena menentukan seberapa besar virus dapat masuk ke dalam tubuh kita, dan seberapa parah dampaknya.
Namun, melemahnya kekebalan tubuh dan berkembangnya virus menjadi faktor penentu.
‘Merasa sangat parah’
Profesor Eleanor Riley, seorang ahli imunologi di Universitas Edinburgh, juga pernah mengalami serangan Covid yang "mengerikan" dan "jauh lebih buruk" dari yang diperkirakan.
Dia mengatakan: "Tingkat antibodi masyarakat terhadap Covid mungkin sekarang sama rendahnya dengan masa ketika vaksin pertama kali diperkenalkan."
Antibodi ibarat rudal mikroskopis yang menempel pada permukaan virus dan menghentikannya menginfeksi sel-sel tubuh kita.
Jadi, jika seseorang memiliki banyak antibodi, antibodi tersebut dapat membasmi virus dengan cepat sehingga infeksi apa pun akan berlangsung ringan dan singkat.
“Sekarang, karena antibodi lebih rendah, dosis [virus] yang lebih tinggi akan menyebar dan menyebabkan serangan penyakit yang lebih parah,” kata Prof Riley.
Tingkat antibodi relatif rendah karena sudah lama sejak sebagian besar khalayak menerima vaksinasi atau jatuh sakit akibat Covid, yang juga meningkatkan kekebalan.
Prof Peter Openshaw, dari Imperial College London, mengatakan: "Hal yang membuat perbedaan besar sebelumnya adalah vaksinasi secara sangat luas dan cepat - bahkan orang dewasa muda pun berhasil mendapatkan vaksinasi - dan itu membuat perbedaan yang sangat besar."
Tahun [2023], semakin sedikit orang yang menerima vaksin.
Prof Openshaw menegaskan dia bukanlah seseorang yang menyerukan akan terjadi "malapetaka".
Kendati demikian, menurutnya, akan ada "banyak orang menderita penyakit yang sangat parah dan akan membuat mereka tumbang selama beberapa hari atau minggu".
“Saya juga mendengar ada orang-orang terkena serangan Covid-19 yang parah, padahal mereka masih muda dan bugar. Ini adalah virus yang sangat licik, terkadang membuat orang sakit parah dan terkadang menyebabkan ‘Covid berkepanjangan',” jelasnya.
Dia berpendapat ada "kemungkinan besar" seseorang rentan sakit jika tidak tertular Covid-19 dalam setahun terakhir.
Keputusan resmi pemerintah di Inggris adalah memvaksinasi orang-orang yang berisiko meninggal akibat Covid atau membutuhkan perawatan di rumah sakit. Hal ini mengurangi tekanan pada Layanan Kesehatan Nasional.
Prof Riley berpendapat: "Tetapi itu tidak berarti orang yang berusia di bawah 65 tahun tidak akan tertular Covid-19, dan tidak akan merasa gejala parah.
"Saya pikir konsekuensi dari tidak memberikan booster kepada orang-orang tersebut adalah lebih banyak orang yang tidak bekerja selama satu atau dua atau tiga minggu selama musim dingin."
Keputusan mengenai siapa yang akan menerima vaksinasi bukan satu-satunya hal yang berubah – virus ini juga berubah.
‘Kekebalan rendah’
Antibodi sangat tepat karena bergantung pada kecocokan antara antibodi dan bagian virus yang ditempelnya. Semakin banyak virus berevolusi untuk mengubah penampilannya, semakin tidak efektif antibodi tersebut.
Prof Openshaw berkata: “Virus-virus yang beredar saat ini secara imunologis cukup jauh dari tipe virus yang digunakan untuk membuat vaksin-vaksin awal, atau yang terakhir kali menginfeksi khalayak.
“Banyak orang memiliki kekebalan yang sangat rendah terhadap virus Omicron dan variannya.”
Jika Anda merasa tidak nyaman dengan Covid – atau gejalanya lebih parah dari sebelumnya – bisa jadi itu adalah kombinasi dari berkurangnya antibodi dan berkembangnya virus.
Namun bukan berarti Anda lebih berpeluang sakit kritis atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
Bagian lain dari sistem kekebalan tubuh kita – yang disebut sel T – bekerja ketika infeksi sudah berlangsung dan mereka telah dilatih oleh infeksi dan vaksin di masa lalu.
Sel T tidak mudah dibingungkan oleh virus yang bermutasi karena mereka mengenali sel yang telah terinfeksi Covid dan membunuhnya.
“Mereka [sel T] akan menghentikan Anda dari penyakit parah dan berujung di rumah sakit, namun dalam proses membunuh virus tersebut ada dampak buruk yang membuat seseorang merasa sangat tidak nyaman,” kata Prof Riley.
Mengandalkan sel T Anda untuk membasmi Covid menyebabkan Anda mengalami nyeri otot, demam, dan menggigil.
Jadi, bagaimana dengan anggapan bahwa Covid sedang menuju ke arah infeksi yang ringan dan tidak berbahaya?
Ada empat virus corona lain pada manusia, terkait dengan Covid, yang menyebabkan gejala flu biasa.
Salah satu alasan mengapa penyakit ini dianggap ringan adalah karena kita terjangkit penyakit ini di masa kanak-kanak dan kemudian sepanjang hidup kita.
Prof Openshaw dengan jelas menyatakan bahwa “kita belum sampai di sana” dalam menghadapi Covid, tetapi “dengan infeksi berulang kita semestinya sedang membangun kekebalan alami”.
Sementara itu, apakah sebagian dari kita harus menghadapi masa yang buruk dalam waktu dekat?
“Saya khawatir demikian,” kata Prof Riley.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia, situasi menunjukkan adanya tren peningkatan kasus sejak pekan ke-41 atau periode 8-14 Oktober 2023.
Data hingga Jumat (15/12/2023) menunjukkan kasus konfirmasi Covid-19 sebanyak 336 atau meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Meski demikian, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan masa pandemi.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu memprediksi bahwa puncak kasus Covid-19 pada fase ini akan muncul setelah liburan Natal dan Tahun Baru.
"Kalau melihat dari pengalaman sebelumnya, kita mulai awal tren naik itu awal bulan Desember. Akhir November dihitung dari situ paling lama enam sampai delapan minggu puncaknya. Jadi kalau saya hitung kalau dari Desember ya mungkin puncaknya di awal Januari 2024 nanti," ucap Maxi kepada Detikcom, Minggu (17/12/2023).
Untuk proyeksi jumlah kasus yang muncul nantinya, Maxi mengungkapkan bahwa hal tersebut akan bergantung dengan jumlah testing. Ia menambahkan bahwa jumlah testing Covid-19 saat ini dilakukan dengan lebih masif.
"Testing kita alhamdulillah saat ini kan juga mulai naik. Tadinya kan ratusan atau seribu, sekarang kita sudah dua ribuan hampir tiga ribu. Kalau makin banyak orang testing, maka kasusnya naik," jelasnya.
Maxi mengatakan perlu ada upaya pencegahan penularan yang dilakukan serentak oleh seluruh elemen masyarakat.
“Untuk itu, masyarakat diimbau untuk segera melengkapi dosis vaksin COVID-19, segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat di Puskesmas atau Kantor Kesehatan Pelabuhan, jangan ditunda tunda,” ujar Maxi sebagaimana dipaparkan dalam rilis pers Kementerian Kesehatan.
Tetapi kembali disebutkan Darmawi Wardhana, di Indonesia, sedang diuji dengan level krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini pun sontak membuat para pemangku kebijakan berpacu dengan waktu demi mencegah dampak lebih parah.
Segenap tenaga dan pikiran dicurahkan karena kesehatan maupun perekonomian harus segera diselamatkan. Tidak seperti krisis-krisis sebelumnya, pemicu krisis kali ini adalah virus Covid-19 yang terus bergerak dinamis, menempatkan para pemangku kepentingan pada situasi sulit dan dilematis untuk memutuskan opsi kebijakan terbaik.
Pada akhirnya, Covid-19 memberi kita sebuah pelajaran penting bahwa kejadian yang luar biasa tentu harus direspons dengan kebijakan yang juga luar biasa, meski ketidakpastian sangat tinggi.
Pandemi covid-19
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) telah resmi mengumumkan kejadian luar biasa virus korona atau Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global.
Semua orang tersentak. Sebagian mungkin awam dengan istilah pandemi, namun dapat dirasakan bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.
Pandemi Covid-19 memang sebuah kejadian luar biasa, virus tersebut telah tersebar dengan pesat setidaknya di 21 negara/teritori.
Total infeksi global sudah melebihi 81 juta kasus dengan 1,7 juta kematian per 28 Desember 2020.
Tingginya kecepatan penyebaran wabah ini memberikan dampak negatif yang luar biasa besar bagi seluruh negara, baik dari sisi kesehatan, sosial dan kesejahteraan, maupun ekonomi.
Kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di pasar ikan Wuhan, Tiongkok. Hewan diprediksi menjadi medium penyebaran virus ini.
Berdasarkan klasifikasinya, Covid-19 dikategorikan mirip dengan wabah SARS pada 2002 dan MERS 2012, tetapi dengan tingkat penularan yang lebih tinggi dan mampu menginfeksi manusia dengan cepat.
Pada kasus yang menjangkiti orang lanjut usia atau dengan riwayat penyakit tertentu, Covid-19 dapat menjadikan penyakit tersebut lebih parah sehingga berpotensi menyebabkan kematian.
Mulanya, Covid-19 menyebar cepat dalam waktu singkat di Tiongkok hingga mendorong Pemerintahnya melakukan lockdown ketat, kebijakan yang pada waktu itu dinilai kontroversial dan disebut draconian measure oleh dunia.
Selama bulan Januari hingga awal Februari 2020, fokus penanganan Covid-19 memang masih terkonsentrasi di Tiongkok.
Pada titik ini, belum banyak informasi yang diketahui mengenai virus ini, penyebaran yang luas secara global dan cepat belum terbayang secara gamblang sehingga antisipasi yang dilakukan oleh negara di luar Tiongkok relatif masih terbatas.
Dengan mobilitas manusia yang masih tinggi, penyebaran virus ini pun semakin tidak terelakkan, terutama bagi mereka yang baru bepergian ke atau dari Tiongkok.
Memasuki bulan Februari 2020, beberapa negara mulai melaporkan peningkatan kasus positif yang cukup signifikan seperti Iran, Korea Selatan, dan Italia.
Hal tersebut diikuti dengan beberapa langkah yang dilakukan untuk menekan penyebarannya yang lebih luas seperti pelarangan/pengurangan perjalanan (travel ban/restriction).
Arab Saudi bahkan mengambil langkah tegas untuk menutup seluruh penerbangan dan menangguhkan kedatangan para wisatawan yang akan melakukan umrah dari luar negaranya.
Penundaan kegiatan umrah tersebut menjadi salah satu langkah paling monumental yang menandai ancaman besar sedang terjadi secara global. Travel ban seolah menjadi penarik tuas rem pariwisata sebagai sektor yang tumbuh sangat pesat.
Bulan Maret 2020 menjadi titik waktu penyebaran Covid-19 yang lebih luas lagi, khususnya di Eropa dan Amerika. Per 31 Maret 2020, sudah terdapat 941 ribu orang yang positif dan tersebar di 202 negara/teritori. Jumlah kasus tersebut kemudian meningkat lebih dari 3 kali lipat hingga mencapai 3,2 juta kasus pada akhir April 2020.
Amerika Serikat (AS) telah menjadi episenter baru virus ini dengan jumlah kasus mencapai 30 persen dari total kasus kumulatif Covid-19 di dunia.
Dengan kecepatan penyebaran yang semakin eksponensial, upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat semakin intensif dilakukan.
Kebijakan lockdown pada periode ini semakin awam digunakan oleh berbagai negara. Selain lockdown dan travel ban, negara-negara juga menerapkan penutupan perbatasan, memberlakukan physical distancing melalui penutupan sekolah, perkantoran, dan pembatasan berbagai kegiatan yang melibatkan pengumpulan banyak orang.
Tercatat 59 negara memberlakukan travel ban dan total border shutdown serta sebanyak 85 negara memberlakukan partial border shutdown. Selain itu, kurang lebih 160 negara menutup sekolah-sekolah yang dimilikinya untuk mengurangi penyebaran Covid-19. (*)
Tags : Inggris raya, Virus Corona, Indonesia, Vaksin, Kesehatan, Sains,