SEORANG nelayan Natuna, Dedi bercerita keberaniannya menghadapi badai gelombang musim utara di Laut Natuna, Kepulauan Riau.
Padahal saat musim utara itu, seluruh nelayan perikanan tangkap dan bahkan kapal kargo barang berukuran 200 GT berhenti melaut karena takut gelombang tinggi yang bisa mencapai 7 meter.
Dedi nekad melaut karena sejak muda telah terbiasa berlayar di laut lepas dan justru saat musim utara, populasi ikan melimpah sehingga bisa panen ikan. Bahkan dia sempat panen 80 ton ikan. Karena keberaniannya itu dia dijuluki “Marco Polo” di Laut Natuna
Musim angin utara biasanya berlangsung dari November sampai Februari. Dimasa itu nelayan Natuna terpaksa berhenti melaut atau menangkap ikan di pesisir laut saja, sehingga pendapatan mereka berkurang.
Apalagi masih maraknya keberadaan kapal asing pencuri ikan dari negara lain di Laut Natuna menambah konflik dengan nelayan setempat.
Aliansi Nelayan Natuna (ANN), Dinas Perikanan Kabupaten Natuna, dan BMKG selalu menghimbau para nelayan Natuna untuk waspada dan berhati-hati melaut saat musim utara.
Bahkan Dinas Perikanan bersama BMKG setempat memberikan pendampingan kepada nelayan seperti memberikan data prakiraan cuaca terbaru dan pelatihan membaca cuaca kepada nelayan bekerjasama dengan BMKG, serta himbauan kondisi cuaca terkini melalu siaran radio.
Gelombang laut sekitar empat meter menghantam kapal Dedi dan tiga anak buahnya akhir tahun lalu di laut lepas Natuna Utara. Air laut menghempas masuk ke dalam kapal, membuat oleng ke kiri dan kanan, seperti hendak terbalik.
Ketika itu mereka berada di Laut Natuna Utara, sekitar hampir 200 mil dari Kota Ranai, Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Ombak besar yang menggulung karena hujan dan badai musim angin utara dengan kondisi gelap gulita membuat Dedi dan anak buahnya hanya bisa berlindung di ruang kemudi kapal berukuran sekitar 13 gross tonnage (GT).
“Yang penting jangan panik saja,” kata pria 40 tahun itu menceritakan pengalamannya pada mangobay indonesia di akhir November 2021 lalu.
Bagi nelayan Natuna, angin musim utara merupakan cuaca ekstrem dengan ombak yang sangat besar. Bahkan berketinggian dua sampai tujuh meter. Di musim itu nelayan memilih berhenti melaut.
Tetapi berbeda dengan Dedi, ia tetap melaut seperti biasa di musim utara. Kebiasaannya itu sudah dilakoni sejak lama. Sehingga Dedi dikenal banyak nelayan lainnya dengan julukan si ‘Marco Polo’ (petualang) laut Natuna Utara.
Marco Polo adalah saudagar sekaligus petualang asal Venesia, Italia, yang berkelana ke berbagai pelosok Asia lewat Jalur Sutra antara tahun 1271 sampai 1295.
Dedi sudah terbiasa menghadapi ombak besar musim utara di Laut Natuna sejak lama, bahkan ia menyempatkan diri mengabadikan momen-momen angin yang seolah menggulung kapal kayunya itu.
Dia nekad tetap melaut demi menghidupinya keluarganya. Kuncinya menghadapi angin utara adalah dengan tidak panic, tidak memaksakan laju kapal atau lebih baik berlabuh ketika cuaca mulai tidak bersahabat.
“Kita percaya yang di Atas (Tuhan YME) saja,” katanya sambil duduk santai di Pelabuhan Teluk Beruk Natuna menunggu ikan hasil tangkapannya dihitung pengepul.
Pengepul menghitung ikan hasil tangkapannya melaut selama 14 hari.
Dia bercerita hari melautnya semakin lama karena rusaknya beberapa spot karang tempat nelayan Natuna menangkap ikan akibat maraknya alat tangkap pair trawl kapal asing.
“Dulu sebelum ada kapal asing, tujuh hari melaut sudah dapat banyak ikan. Sekarang harus 14 hari,” katanya.
Dia harus mencari spot memancing yang baru sehingga membutuhkan waktu yang lama di tengah laut.
Biasanya ia melaut ke arah utara Natuna, sekarang bergeser ke arah Malaysia.
“Laut kita ikan sudah berkurang,” jelasnya.
Dedi nekad melaut saat musim angin utara karena bisa panen besar ikan sehingga penghasilannya lebih banyak. Salah satunya ikan anggoli yang banyak dibeli saat perayaan Imlek, dimana saat biasa dijualnya Rp80.000/kg, menjadi Rp135.000/kg.
Dalam 10 hari melaut, Dedi bisa memberikan upah untuk anak buahnya Rp7 juta setiap orang. “Kalau rata-rata melaut di Natuna ini, saya bisa dapat untung bersih Rp20 juta setiap bulannya,” katanya.
Karena keberaniannya menembus musim utara, dia sempat dapat bonus satu unit motor dari pengepul karena tangkapan ikannya bisa mencapai 80 ton.
Hasil yang didapatkan Dedi sekarang tidak gampang. Sejak muda, dia sudah berani melaut ke laut lepas sehingga memiliki banyak titik koordinat spot ikan di Laut Natuna yang berlimpah.
“Kalau nelayan sekarang gampang, tinggal minta koordinatnya. Saya dulu cari sendiri,” katanya.
Dia menyimpan ribuan titik koordinat dalam buku-bukunya yang ia sebut harta karun, yang disimpan dalam box fiber ukuran 1×1 meter.
Nelayan lainnya Rahmad, mengaku Dedi memang salah satu nelayan yang berani menghadapi angin utara. Pria 35 tahun ini memilih tidak mau mengambil resiko melaut pada musim utara, dengan memancing di pinggir laut Natuna, seperti mencari ikan tongkol.
Begitu juga nelayan lainnya, Khairul yang memilih melaut di daerah pesisir daripada menghadapi kencangnya angin utara. Meski akhirnya penghasilannya berkurang karena tangkapan lebih sedikit.
Minta Umpan pada Kapal Asing Pencuri Ikan
Nama Dedi terutama bagi nelayan di Kepulauan Riau tidak asing lagi. Selain terkenal melaut di laut lepas Natuna Utara, ia juga sempat viral karena melaporkan terdapatnya kapal ikan asing (KIA) pencuri ikan di Natuna. Ia diundang salah satu stasiun televisi untuk memberikan keterangan.
Beberapa waktu belakangan Dedi masih sering bertemu KIA di Laut Natuna Utara. Tetapi ia mengaku sudah bosan melaporkan KIA tersebut kepada pihak berwajib. “Saya punya banyak videonya, tetapi sudah capek melaporkan,” katanya.
Dedi sering berpapasan dengan KIA ketika melaut di Natuna Utara. Bahkan dia menjadikan kapal asing sebagai ‘kawan’ dengan naik ke atas kapal asing itu. Terkadang saling bertukar umpan, atau berbagai mie dan beras.
Bahkan, Dedi pernah meminta titik koordinat spot ikan kepada kapal asing itu. Beberapa titik koordinat diberikan kepadanya. Nelayan asing lebih banyak memiliki titik koordinat keberadaan spot ikan, karena memiliki alat pendeteksi ikan lebih canggih.
Meskipun begitu Dedi tetap berharap pemerintah membersihkan KIA di Laut Natuna karena khawatir ketika KIA dibiarkan, lama-lama ikan di Laut Natuna akan habis. Nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap tradisional tidak bisa lagi melaut. “Mau tidak mau, kita terpaksa gunakan juga alat yang merusak, seperti bius dan bom,” katanya.
Hati-hati Melaut
Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri mengatakan, selama musim utara pihaknya selalu menghimbau agar nelayan tetap menjaga keselamatan, selalu mematuhi himbauan BMKG dan selalu melihat aplikasi perkiraan cuaca. “Kita tidak bisa melarang nelayan pergi melaut musim utara, karena mereka butuh uang, kecuali pemerintah daerah memberikan subsidi,” katanya.
Tetapi Hendri bilang, beberapa nelayan mulai berani melaut saat musim angin utara salah satunya Dedi, karena sudah memiliki kapal ukuran besar. Dulu saat musim utara, Natuna secara keseluruhan terisolasi.
Tidak hanya nelayan berperahu kecil yang tidak bisa melaut, tetapi kapal kargo pengangkut barang berukuran 200-2000 GT di Laut Natuna juga tidak bisa melintas karena angin utara.
Prakirawan cuaca BMKG Hang Nadim Batam Ibnu Susilo mengatakan, angin utara di wilayah Kepulauan Riau secara umum terjadi pada bulan November hingga Januari. “Fenomena ini terjadi setiap tahunnya,” kata Ibnu pada Kamis 6 Januari 2022 lalu.
Musim utara ini terjadi berdasarkan gerak semu matahari dimana posisi matahari berada pada belahan bumi bagian selatan, mengakibatkan pergerakan massa udara dari utara menuju ke selatan. Kecepatan angin yang tinggi itu memicu gelombang berketinggian hingga 2,5 meter di wilayah Natuna.
Ibnu melanjutkan, BMKG selalu menghimbau untuk transportasi laut dan aktivitas kelautan waspada potensi gelombang laut yang dapat mencapai ketinggian 2,5 meter di wilayah perairan Natuna dan Kepulauan Anambas.
Sedangkan Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan Dinas Perikanan Kabupaten Natuna, Dedy Damhudy mengatakan, pihaknya selama ini terus memberikan pemahaman kepada nelayan Natuna tentang musim angin utara.
Beberapa kegiatan diantaranya memberikan data prakiraan cuaca terbaru dan pelatihan membaca cuaca kepada nelayan bekerjasama dengan BMKG, serta himbauan kondisi cuaca terkini melalu siaran radio.
“Kegiatan ini adalah bentuk perlindungan pemerintah daerah untuk nelayan Natuna,” kata Dedy.
Dedy menghimbau nelayan Natuna tetap waspada karena saat ini terjadi fenomena musim utara pancaroba dengan badai yang terjadi tidak setiap hari, yang berbeda dengan umumnya musim utara dengan badai yang terjadi setiap hari sepanjang Desember hingga April.
Hal itu membuat nelayan bisa melaut saat musim teduh, tetapi tiba-tiba dihantam badai angin utara ditengah laut.
“Jadi sekarang tidak bisa diprediksi, ada beberapa hari yang teduh, ada juga yang angin utaranya datang tiba-tiba, ini membuat nelayan kesulitan melaut karena perubahan cuaca yang tidak menentu,” katanya.
Akibat fenomena itu, jumlah tangkapan ikan nelayan menurun 50% dibandingkan musim utara sebelumnya. Padahal saat musim utara, ikan tenggiri yang terkenal mahal cukup banyak di Laut Natuna. (*)
Tags : nelayan, nelayan natuna, dedi nelayan penangkap ikan, nelayan punya keberanian hadapi badai gelombang, nelayan menaklukan badai laut saat musim utara,