PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] I Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Riau bersilaturahmi ke Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.
"Desa Karya Indah dikenal kaya akan Sumber Daya Alam [SDA] nya."
"Di banyak daerah otonomi cenderung jamak menyediakan karpet merah bagi kelompok usaha untuk mengelola sumber daya alam daerah," kata Larshen Yunus Ketua DPD I KNPI Riau ini yang juga memberitahukan cara pengelolaannya SDA di desa.
Menurutnya, pada era otonomi saat ini daerah lengket dengan paradigma market driven development dan desa masih terpinggirkan.
Tetapi menurut Larshen Yunus lagi, bagi salah satu desa seperti Desa Karya Indah yang dikenal kaya akan sumber daya alam [SDA] ini bisa dilihat bagaimana untuk pengelolaannya.
"Mimpi menjadi daerah kaya dengan cara menyerahkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam kepada pasar ternyata benar-benar melenakan banyak kepala daerah."
"Alih-alih, desa seringkali justru menjadi arena untuk melakukan aksi pengerukan kekayaan negara."
"Di daerah yang kaya sumber daya alam seperti minyak dan gas [Migas] maupun kelapa sawit di Riau ini masih banyak desa yang miskin dan tertinggal. Wilayah yang kaya migas, mineral dan tambang dirambah sedemikian rupa, hingga akhirnya hanya menyisakan ceruk-ceruk yang tak lagi produktif," menurut Larshen menilainya.
Begitupun pembabatan hutan masih terus berlangsung, hingga sebagin daerah di bumi Riau kehilangan fungsi sebagai paru-paru sekaligus penyimpan air tanah, sebut Larshen Yunus yang juga Bakal Calon Legislatif [Bacaleg] dari Partai Persatuan Indonesia [Perindo] Dapil II Kabupaten Kampar ini yang mengirimkan Vidio hasil kunjungannya ke desa itu melalui Whats App [WA] nya tadi, Senin (10/7/2023).
Menurutnya, praktik kebijakan di era otonomi daerah tak jarang menyebabkan desa banyak kehilangan sumber kakayaan hayati, kekayaan mineral, dan sumber penghidupan semakin minim.
Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau
"Otonomi daerah juga terlalu fokus pada membangun kawasan perkotaan yang menjanjikan revenue bagi pemerintah sehingga desa hanya diberi sisanya saja," sebutnya.
Menyitir apa yang ditulis oleh Sach dan Warner (1995); "Sejarah mencatat bahwa kelimpahan SDA suatu negara seringkali justru menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam. Hampir tak ada teladan yang bisa dirujuk negara yang kaya SDA bisa menjadi bangsa yang makmur. Karena itu, pelaksanaan UU Desa secara konsisten dan terarah diharapkan mampu menciptakan terwujudnya desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Dan itulah prototipe imajinasi tentang desa baru yang ditegaskan oleh UU Desa sebagai arah perubahan desa berkelanjutan pada masa depan".
"Jujur saya akui, dalam soal pengelolaan sumber daya alam, bangsa ini memiliki masalah yang akut. Eksploitasi SDA begitu tak terkendali," sebut Larshen lagi.
Pertanyaan besarnya kemudian, bagaimana bisa anugerah SDA yang dimiliki desa dapat dikelola dengan sebesar-besarnya?
Pemerintahan desa yang kaya SDA pertama-tama harus memiliki formulasi kebijakan yang baik.
"Kebijakan yang dikeluarkan pun harus berkualitas, bersumber dari realitas bahwa kekayaan alam yang ada bisa diperoleh dan dikelola dengan jalan baik pula."
"Jadi, kebijakan ekonomi yang diproduksi hanya fokus pada eksploitasi SDA untuk dijual tanpa menghitung kelayakan daya dukung lingkungan."
"Dengan adanya kebijakan yang baik akan menunjukkan perubahan yang berarti ketika proses eksploitasi SDA telah berlangsung," sebutnya.
"Dengan demikian proses kemajuan ekonomi desa akhirnya berakhir akan berpihak kepada masyarakat karena eksploitasi SDA memiliki batas, ditambah sebagian besar pelaku eskploitasinya (operatorship) menonjolkan dan mendorong pihak-pihak putera daerah yang tentunya memiliki sumber daya manusia [SDM] yang handal," katanya.
"Jika itu dapat dijalankan, niscaya aset SDA yang dimiliki desa justru tidak menjadi kutukan bagi sebagian besar desa yang memiliki kekayaan ekonomi berbasis SDA," sambungnya.
"Tentu saja, di luar itu selalu terdapat potensi rente ekonomi yang bisa diperoleh birokrasi pemerintah untuk mengeskploitasi SDA ketimbang melakukan proses penciptaan kebijakan ekonomi yang berfokus pada penciptaan nilai tambah."
Larshen Yunus, Ketua DPD I KNPI Riau yang juga Bacaleg Dapil II dari Partai Persatuan Indonesia [Perindo] [berkacamata hitam] berfose bersama dengan apartur Desa Karya Indah.
"Rente ekonomi eksploitasi SDA tersebut berasal dari konsesi ataupun kebijakan fasilitatif lain yang memberikan hak kepada pelaku ekonomi (swasta) mengeksploitasi SDA yang ada," jelasnya.
Tetapi Larshen balik merasa khawatir, karena disebagian daerah perkembangan kondisi SDA nya sudah pada tahap yang sangat mencemaskan.
Di satu sisi, sebagian SDA yang tidak terbarukan sudah hampir habis sehingga sumbangannya terhadap pendapatan nasional kian menciut, sebutnya.
Di sisi lain, menurut Larshen lagi, implikasi kerusakan lingkungan telah menimbulkan aneka bencana alam yang tak tertanggulangi.
Menutunya, implikasi yang lebih serius adalah ketidakberdayaan negara untuk memompa aktivitas ekonomi akibat SDA yang telah habis, sementara kegiatan ekonomi alternatif berbasis tekonologi belum bisa banyak dijamah.
"Dampaknya, dalam jangka panjang negara akan terus dihantui oleh soal bencana alam, modal yang cekak akibat hilangnya penerimaan dari SDA, dan kemiskinan yang kian kronik," terangnya.
Pelajaran berharga dari pengalaman bangsa ini yang relevan dipikirkan adalah bahwa pembangunan berbasis SDA yang sifatnya hanya mengeksploitasi selalu berakhir dengan kegagalan, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Karena itu, kata dia, rekonstruksi pembangunan berbasis SDA mutlak diperlukan dengan menempatkan SDA bukan sebagi pusat pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga memosisikannya sebagai sumber keberlanjutan pembangunan.
"Dalam posisi ini, SDA bukan sekadar sebagai bahan baku, namun justru sektor ekonomi yang harus diselamatkan dan dilindungi."
"Konsekuensinya, metode penghitungan pembangunan (pertumbuhan) ekonomi konvensional, yang tidak mempertimbangkan degadrasi lingkungan sebagai pengurang pertumbuhan harus dibuang jauh-jauh," kata dia.
Menurutnya, perlu dibuat sebuah tolak ukur bahwa pembangunan (ekonomi) akan dianggap gagal apabila kekayaan alam justru menyusut ketika proses kemajuan dicapai, meskipun pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka positif.
Artinya, kata dia lagi, pendapatan nasional yang berlanjut (sustainable) harus juga memperhitungkan penyusutan SDA sekaligus biaya pemulihannya.
Merefleksi semua hal di atas, pekerjaan rumah terpenting saat ini adalah menghentikan praktik rente ekonomi.
"Wujud rente ekonomi tersebut adalah korupsi, kelembagaan ekonomi yang rapuh, serta pengambil kebijakan yang lebih memilih transfer SDA ketimbang memodernisasi ekonomi negara."
Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] I Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Riau ini yang baru saja mengujungi Desa Karya Indah
Jadi semua itu menurut Larshen, bisa dimulai dari tumbuhnya kemandirian desa yang kuat. Komitmen membangun dari pinggiran harus dimaknai dalam kerangka dan garis filosofis portofolio kebangkitan desa.
"Basis argumentasi yang kita bangun adalah bahwa desa merupakan entitas dan sekaligus basis penghidupan sebagian besar rakyat di perdesaan yang ada di Karya Indah," terangnya.
Tetapi Larshen mrngakui selama ini kebijakan pembangunan dan desentralisasi kurang secara serius berpihak dan responsif terhadap desa, sehingga yang terjadi desa hanya menjadi subyek dari supra desa. (*)
Editor: Surya Dharma Panjaitan
Tags : sumber daya alam, pengelolaan sda, pengelolaan sumber daya alam desa, desa karya indah, kampar, sumber daya alam desa karya indah, news daerah,