PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Tak cuma sohor dengan hamparan pemadangan alamnya yang tersebar di 12 Kabupaten/Kota, Riau juga terkenal dengan daerah yang sering kebanjiran tatkala hujan deras mengguyur selama beberapa jam.
"Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir pada daerah-daerah jadi lebih sering dilanda banjir bahkan hingga menerjang permukiman penduduk."
"Terbaru banjir menerjang ribuan rumah penduduk di Kabuaten Kampar. Penyebabnya beragam, mulai dari saluran yang tersumbat sampah hingga pemanfaatan lahan hutan menjadi pertanian dan perkebunan, serta permukiman," kata Ir Marganda Simamaora M.Si dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba], dalam komentarnya melihat banjir kini sudah merebak di 7 daerah yang ditetapkan status siaga darurat.
Salamba ikut menyoroti banjir di 7 daerah, dia mengatakan banjir dengan kondisi sebagian lahan di hulu yang sudah gundul dan tidak ditanami tanaman keras.
Menurutnya, dibeberapa lahan di Riau yang berfungsi sebagai kawasan lindung baik tanah milik, tanah desa, lahan Perhutani ini seharusnya jangan ditanami sayuran karena tidak bisa menyerap air hingga akhirnya menyebabkan banjir.
"Jadi penyebab banjir ini tak hanya disebabkan akibat sampah yang dibuang masyarakat ke aliran air, tapi ada lahan yang tidak ditanami oleh pohon keras," ujar Marganda Simamora.
Pihaknya menyarankan agar semua instansi baik Pemerintah maupun pihak lain dan masyarakat setempat harus sinergi dan menghilangkan ego sektoral guna mencari solusi agar tak lagi gampang diterjang banjir.
"Upaya itu harus dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan khususnya di daerah," tuturnya.
Jadi menurutnya, banjir yang terjadi itu bukan hanya masalah saluran air akibat sedimentasi dan intensitas hujan yang sangat tinggi saja, tetapi justru karena pemanfaatan lahan.
"Sebetulnya [banjir] disebabkan banyak faktor, seperti pemanfaatan lahan. Di sini pertanian yang cukup banyak menggunakan lahan hutan. Jadi ada pengaruh ke resapan air meski tidak terlalu signifikan," kata Marganda.
Namun Marganda menjelaskan jika Hutan Pangkuan Desa [HPD] yang menjadi hulu di daerah, sedangkan yang saat ini dikembangkan menjadi lahan pertanian dan wisata kurang dari 10 persen.
Pemanfaatan lahan di kawasan hulu menurutnya harus mendapat pengawasan ketat dari Perhutani, pihak desa, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH].
"Sebetulnya masih banyak hutan-hutan yang masih alami, tapi ada anggapan dari masyarakat ada alih fungsi lahan. Sebenarnya tidak demikian, hutannya tetap hutan dan tidak ada tegakan yang diganggu, baik kontur atau apapun, tapi dimanfaatkan potensinya," ucapnya.
Dia mengaku pemanfaatan lahan milik Perhutani di Riau sudah diatur dalam Undang-Uundang [UU] nomor 83 tahun 2016. Artinya pembatasan pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan pihak swasta sudah jelas dasarnya.
"Begitupun pembangunan area wisata berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Permen LHK] nomor P.13 tahun 2020, menjelaskan soal batasan mana lahan atau area yang boleh dimanfaatkan dan mana yang tidak boleh dibangun."
"Makanya kita menyoroti soal alih fungsi hutan ini, jangan sampai alih fungsi hutan itu ditebang. Misalnya dijadikan rumah dan kebun sawit, itu baru alih fungsi," kata Marganda.
Marganda menilai pembukaan lahan baik di hulu maupun di hilir bisa menyebabkan banjir bandang dan bencana lainnya termasuk yang beberapa waktu belakang kerap menerjang Riau.
"Antisipasi ke depan, untuk aktivitas [di hulu] sebaiknya dihentikan sementara waktu terutama yang baru. Jadi untuk yang lama harus diselesaikan dulu aktivitasnya. Kalau sudah selesai baru dievaluasi bersama dengan desa dan stakeholder yang lain," kata dia.
"Dengan adanya kejadian [banjir] ini, hendaknya mereka pengguna lahan untuk menanam kembali baik dengan rumput hijau maupun dengan tanaman keras di lokasi-lokasi tertentu," ujarnya.
Sementara Anggota DPRD Riau Marwan Yohanis menyebut perkebunan sawit dan pembangunan secara masif di daerah resapan air punya andil sebabkan bencana banjir yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Riau belakangan ini.
Ia juga menepis pendapat yang mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi selama sepekan terakhir di Riau membuat debit air menjadi terlalu banyak hingga tak tertampung lagi oleh sungai.
"Memang hujan itu ada dan sekarang ini juga musim hujan. Tapi kenapa dulu tidak banjir? Kenapa semakin ke sini semakin sering banjir dan daerah yang mengalaminya semakin banyak?
"Ini karena sekarang ini kalau turun hujan air langsung ke aspal, dari aspal langsung kesungai. Tidak ada lagi tempat untuk air itu meresap, tidak ada lagi tanah yang bisa menahan air itu terlebih dahulu. Bahkan drainase-drainase di perkotaan tidak dirancang saling terhubung sehingga air terjebak, itulah yang membuat banjir," kata legislator daerah pemilihan Kuansing-Inhu itu.
Banyaknya perkebunan sawit juga dinilai Marwan punya andil terhadap banjir. Sebab dengan jutaan hektar perkebunan sawit yang ada di Riau, sebagian besar dibangun di atas rawa dan daerah resapan air lainnya serta tak dibentuk embung sebagai gantinya.
Diketahui, embung adalah sebuah waduk buatan yang biasanya dibuat untuk menyimpan air hujan atau air sungai.
"Tidak ada embung, tidak ada lagi resapan yang bisa menampung air tersebut. Kalau di desa tempat resapan jadi kebun, kalau di kota resapan jadi perumahan," ujar Marwan.
Mantan Ketua DPRD Kabupaten Kuansing itu meminta Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera mencari solusi jangka panjang.
"Penanganan banjir tidak dengan mie instan, kita butuh solusi jangka panjang agar tahun-tahun berikutnya ketika hujan ada penampungan-penampungan air," tegasnya. (*)
Tags : banjir, riau, penyebab banjir, yayasan sahabat alam rimba, marganda simamora ketua salamba, salamba ungkap penyebab banjir, banjir akibat hilangnya daerah resapan, lingkungan, alam jadi banjir,