Pilkada   2024/12/03 20:31 WIB

Dewan Nilai Minimnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 yang Penurunannya Jadi Ambles

Dewan Nilai Minimnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 yang Penurunannya Jadi Ambles

JAKARTA - Penurunan partisipasi pemilih di Pilkada 2024 didorong amblesnya partisipasi di provinsi-provinsi besar.

"Penurunannya pada Pilkada kali ini mencapai 20 persen dibandingkan dengan pemilu Februari lalu."

”Kalau MU lawan Chelsea, itu biasanya penontonnya banyak,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf sambil guyon di kantor KPU, Jakarta, Senin (2/12).

Dari catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) tampak pterbkti penurunan itu.

Di Jakarta, misalnya, partisipasi pilkada hanya 58 persen. Turun 21 persen dibandingkan dengan pemilu yang menyentuh 79 persen. Di Jawa Barat, capaian partisipasi pemilu sebesar 81,7 persen. Kini melorot tinggal 61,7 persen.

Dede Yusuf mengatakan, rendahnya minat pemilih mungkin disebabkan faktor ketokohan paslon yang tidak sesuai harapan publik sehingga tidak menarik partisipasi.

Dia mengatakan, dari sisi sosialisasi, dia menilai sudah maksimal. Mayoritas masyarakat sudah mengetahui adanya pilkada.

Karena itu, pengalaman ini harus menjadi bahan evaluasi bagi partai.

”Untuk benar-benar mencari calon yang memang menjadi jagonya masyarakat,” imbuhnya.

Faktor lainnya, menurut Dede, adalah waktu yang berdempetan dengan pilpres sehingga memicu kelelahan psikis pemilih terhadap politik.

”Mungkin bisa kita lakukan ke depan perubahan dengan beda tahun, misalnya,” jelasnya.

Faktor tersebut, lanjut dia, akan menjadi isu yang dibahas dalam revisi UU Pemilu. Namun, untuk detailnya, pihaknya masih akan melakukan exercise dan kajian.

Koordinator Nasional JPPR Rendy Umboh mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi minimnya partisipasi pemilih.

Faktor pertama adalah rendahnya minat masya-rakat yang dipengaruhi sosok calon yang tidak diharapkan.

Imbasnya, mereka tidak tertarik untuk datang ke TPS dan memilih abstain.

”Barangkali disebabkan animo pemilih itu sendiri yang memang enggan menunaikan hak untuk memilih,” ujarnya.

Situasi itu harus menjadi bahan evaluasi di tataran partai politik. Dengan begitu, ke depan, figur terbaik dengan elektabilitas yang paling tinggilah yang semestinya dicalonkan sebagai calon kepala daerah.

Kemudian, dari sisi penye-lenggara, Umboh mendesak agar cara sosialisasi dievaluasi.

Sejauh ini, pihaknya melihat sosialisasi yang dilakukan sebatas formalitas.

”Tidak menyentuh sisi-sisi substansial tujuan dan maksud sosialisasi tersebut. Jangan-jangan, banyak juga sosialisasi yang diselewengkan atau tidak dilaksanakan dengan benar,” imbuhnya.

Apa yang terpotret di pilka-da, lanjut dia, bisa jadi merupakan situasi nyata. Sementara itu, tingginya partisipasi pemilu Februari lalu justru didorong money politics.

”Karena para caleg dan timnya sangat masif dan kencang melakukan politik uang,” ungkapnya. Sementara pada pilkada, money politics relatif lebih berat akibat cakupan wilayah yang luas. Khususnya di pilgub yang harus menjangkau satu provinsi. (*)

Tags : pilkada 2024, pemilih di pilkada, penurunan partisipasi pemilih, penurunannya jadi ambles,