JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengadili 93 orang pegawai KPK, Rabu (17/01), yang diduga terlihat skandal pungutan liar di rumah tahanan komisi antirasuah itu.
Dugaan keterlibatan puluhan pegawai KPK dalam skandal itu menunjukkan “pengeroposan nilai integritas yang sangat serius di tubuh KPK”, kata pengamat antikorupsi.
Namun demikian, KPK menegaskan bahwa proses penegakan etik dan dugaan tindak pidana masih berjalan secara independen.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman mengatakan pelanggaran yang terjadi di dalam lembaga anti-rasuah itu sudah merambat dari pimpinan hingga ke tingkat pegawai.
Ia merujuk pada kasus yang menjerat ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.
“Ketika pimpinan tidak memberikan keteladanan bahkan menerjang nilai-nilai integritas yang selama ini dijunjung tinggi, tentu anak buah, pegawai, bawahan itu akan berlaku lebih beringas lagi,” kata Zaenur seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (14/01).
Namun, Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan praktik pungutan liar di rumah tahanan KPK diduga sudah berlangsung sejak 2018, sebelum Firli menjabat. Sehingga, kedua hal tersebut tidak ada hubungannya.
Ia pun menegaskan proses penanganan pelanggaran internal melalui penegakan etik, dugaan tindak pidana, dan penegakan disiplin masih berjalan dan sidang etik.
“Dalam sidang etik nanti Dewas pastinya akan memutus dugaan pelanggaran ini secara independen, sebagaimana tugas dan kewenangannya yang diatur dalam UU 19 Tahun 2019,” kata Ali.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK mulai menyidangkan dugaan pelanggaran etik dalam kasus pungutan liar di rutan lembaga antirasuah, Rabu (17/01).
Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris mengatakan, pada Rabu, pihaknya akan menyidangkan 15 dari 93 pegawai yang diduga terlibat dalam kasus pungli.
Dari puluhan pegawai itu, Dewas mengelompokkannya menjadi tujuh berkas, sesuai pasal atau tuduhan pelanggaran etik yang sama.
Menurut Syamsuddin, terdapat enam berkas perkara yang masing-masing menyangkut 15 orang pegawai.
Pelanggaran etik pungli itu melibatkan kepala rutan, eks kepala rutan, staf, hingga pengawal tahanan, ungkapnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
“Macam-macam 93 itu ada kepala rutan ada mantan kepala rutan, ada apa ya semacam komandan regunya yang gitu-gitu,” katanya.
Syamsuddin menjelaskan, secara umum tindakan yang mereka lakukan adalah "memberikan pelayanan lebih" dan "melanggar ketentuan" kepada para tahanan. Saat itulah mereka mendapatkan "pungutan liar".
“Bisa juga dalam bentuk apa namanya ngecas Hp dan lain-lain,” ungkapnya, memberikan contoh.
Skandal pungli di rutan KPK kembali mencuat baru-baru ini usai Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan sidang dugaan pelanggaran kode etik terkait pungutan liar (pungli) di rutan KPK yang dilakukan oleh 93 orang pegawai akan segera digelar pada bulan ini.
Berdasar data Dewas KPK, setidaknya uang senilai Rp4 miliar berhasil diraup oleh puluhan pegawai tersebut hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja, pada periode Desember 2021-Maret 2022.
Indonesian Corruption Watch (ICW) memperkirakan angka ini akan terus bertambah seiring pengembangan lebih lanjut. Kondisi ini semakin memperlihatkan adanya “guncangan krisis integritas yang luar biasa” yang sedang melanda KPK.
Skandal pungli di rumah tahanan KPK pertama kali disampaikan oleh Anggota Dewas KPK Albertina Ho dalam konferensi pers pada Juni 2023 lalu. Dugaan pungli disebut mencapai nilai Rp4 miliar dalam kurun waktu Desember 2021 hingga Maret 2022 berdasarkan hasil pengusutan Dewas.
“Tanpa pengaduan, jadi kami di sini ingin menyampaikan Dewan Pengawas sungguh-sungguh mau menertibkan KPK ini dan tidak, siapa saja, kami tidak pandang," kata Albertina, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com Senin (19/06).
Menindak laporan tersebut, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus yang tengah berjalan serta kasus-kasus pelanggaran disiplin lainnya yang belum terungkap.
“Kami segenap pimpinan dan insan KPK menyesalkan dugaan peristiwa dimaksud dan KPK berkomitmen untuk menindak secara tegas, obyektif sesuai dengan paksa terhadap siapapun pelakunya,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers pada Rabu (21/06) malam.
Juru bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan bahwa KPK sudah merotasi beberapa pegawai rutan yang diduga terlibat dalam pungutan liar.
“KPK juga langsung melakukan rotasi dari beberapa pegawai di rutan cabang KPK untuk kemudian memudahkan juga pemeriksaan-pemeriksaan oleh penyelidik KPK,” kata Ali saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (20/6).
Menurut Ali, para pegawai yang terindikasi terkait dengan pungli itu ditempatkan pada bagian yang tidak mengganggu sistem kerja KPK ketika mereka dipanggil penyelidik.
Apa yang terbaru dari skandal pungli di rutan KPK?
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengatakan para terduga pelaku menerima uang pungli hingga ratusan juta rupiah.
"Itu macam-macam juga, ada ratusan juta, ada yang hanya jutaan. Ada puluhan juta. Beda-beda sesuai dengan posisinya," kata Syamsuddin kepada awak media di depan gedung ACLC KPK pada Jumat (12/1).
Ia mengatakan para korban pungli memberikan uang kepada pegawai KPK untuk mendapatkan fasilitas istimewa di tahanan. Nilai awal dugaan pungli yang disebut mencapai Rp4 miliar, kini sudah bertambah.
Sebelumnya, Dewas KPK mengungkapkan sebanyak 93 pegawai KPK akan menjalani sidang etik terkait pungutan liar di rumah tahanan KPK. Salah satu diantaranya adalah Kepala Rutan (Karutan) Achmad Fauzi.
"[Karutan] diduga terlibat dalam arti etik. Etiknya yang pasal mana, kita lihat lagi," kata Albertina pada Kamis (11/01) di gedung ACLC KPK, dikutip dari detikcom.
Ia menjelaskan 93 pegawai tersebut tidak akan disidangkan sekaligus, melainkan akan dibagi menjadi beberapa kelompok.
Eks penyidik dan mantan ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengaku terkejut saat mendengar bahwa 93 pegawai KPK diduga terlibat dalam kasus pungli. Menurut dia, jumlah tersebut sangat banyak dan turut merusak integritas, sistem dan kebersihan KPK.
“Kejadian ini menunjukan bahwa benar teori ikan busuk dari kepala. Setelah sebelumnya ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri juga terbukti melanggar etik berat dan menjadi tersangka kasus korupsi terkait Kementerian Pertanian.
“Kini, 93 pegawainya diseret ke sidang etik juga. Tentu ironis sekali apa yang terjadi di tubuh KPK ini,” kata Yudi, Minggu (14/01).
Lebih lanjut, ia berharap Dewas dan KPK dapat bersikap tegas dan jernih dalam menindak kasus tersebut. Sebab, menurut Yudi seharusnya KPK memiliki “zero tolerance” terhadap praktik korupsi, bukan malah terlibat melakukannya.
“Bagi saya, yang penting ungkap semua. Jangan ditutupi. Yang salah dihukum agar efek jera dan pecat agar tidak meracuni yang lain,” ujar Yudi.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman, mengatakan dugaan 93 pegawai rutan yang melakukan pungli menunjukkan bahwa KPK sudah “hancur dari berbagai sisi”, mulai dari kepimpinan hingga pengawasan yang lemah.
“Dari sisi internal terjadi pengeroposan nilai integritas karena pimpinan KPK itu sendiri yang memberi contoh buruk. Dari sisi dasar hukum, KPK-nya sendiri bukan lembaga negara yang independensinya tinggi berdasarkan UU No. 19 2019, dari revisi Undang-Undang KPK,” kata Zaenur.
Oleh karena itu, menurut Zaenur KPK perlu “di-install ulang” dengan memecat para pegawai dan pimpinan yang terbukti melakukan pelanggaran serta melakukan review terhadap sistem yang ada.
“Kalau dulu KPK terkenal sangat kuat di dalam menjunjung nilai integritas, bahkan air putih saja ditolak kalau itu diberikan oleh pihak-pihak yang ada kaitannya dengan tugas KPK.
“Sekarang jangankan menolak air putih, bahkan keluarga dari tahanan pun dipungli, ini artinya sudah sangat jauh berbeda antara KPK dulu yang dibangun di atas nilai-nilai integritas,” ujarnya.
Ia khawatir bahwa jika terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu akan semakin jatuh. Tanpa adanya kepercayaan publik, KPK akan sulit melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif.
Berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada akhir Desember 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terendah kedua di antara beberapa lembaga negara.
Posisi lembaga antikorupsi ini berada sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan angka 58,8%.
“Karena pemberantasan tidak selalu dalam arti penindakan, tapi juga dalam arti pencegahan. Itulah karena tidak ada keteladanan, susah untuk memasarkan nilai-nilai integritas,” lanjut Zaenur.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan bahwa selama periode kepemimpinan Firli Bahuri, telah terjadi setidaknya tujuh pelanggaran, baik di tingkat pimpinan maupun pegawai. Hal ini, menurut Kurnia, menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal KPK sudah sangat lemah.
“Maka periode kepemimpinan komisioner KPK 2019-2024 ini menjadi yang terbanyak dan dulu kalau kita melihat belum ada Dewan Pengawas,” kata Kurnia.
Ia menilai pokok masalah berada pada revisi UU KPK, yakni UU No. 19 tahun 2019, yang sebelumnya mengatakan pengawasan KPK merupakan tugas Deputi Pengawas Internal dan pengaduan masyarakat.
“Bahkan, sudah ada dua instrumen pengawas, justru lebih buruk ketimbang yang dulu. Jadi ini menandakan ada permasalahan yang juga sudah kita sampaikan sebelumnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pimpinan KPK berfokus pada pembenahan internal, yakni perbaikan tata kelola kelembagaan KPK serta merevisi UU KPK dan mengembalikannya seperti semula agar KPK dapat bekerja secara independen.
“Masyarakat tentu tidak akan lagi menaruh kepercayaan pada lembaga KPK khususnya dalam aspek penegakan hukum. Karena dalam periode saat ini justru terjadi jual-beli pengaruh yang sudah ditunjukan secara terang-berderang,” kata Kurnia
Berikut daftar pelanggaran etik nilai integritas berdasarkan hasil riset ICW dalam periode 2020-2023:
Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan Dewan Pengawas akan segera menggelar sidang etik atas dugaan pelanggaran di rutan KPK. Sidang tersebut akan diselenggarakan secara independen oleh Dewas sesuai tugas dan kewenangannya dalam UU 19 tahun 2019.
Hal ini, sambungnya, merupakan bagian dari komitmen untuk menjaga marwah kelembagaan KPK.
“Penanganan pelanggaran internal melalui penegakan etik, dugaan tindak pidana, penegakan disiplin, serta perbaikan tata kelola merupakan wujud komitmen kelembagaan KPK dalam menerapkan zero tolerance terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi,“ ujar Ali kepada BBC News Indonesia.
Terkait tudingan pimpinan Firli Bahuri yang menjadi salah satu faktor terjadinya pelanggaran tersebut, Ali mengatakan bahwa pungli rutan KPK diduga sudah terjadi sejak 2018.
“Sehingga tidak ada hubungan itu. Sekarang sedang berjalan etik, disiplin dan proses pidana. Tunggu saja prosesnya,“ kata Ali.
Ali mengatakan bahwa sejak awal memang sudah ada diskusi terkait UU KPK Nomor 19 tahun 2019 yang diminta untuk revisi kembali. Namun, ia menyebut KPK hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang tersebut dan tidak memiliki kewenangan mengubahnya.
“Andaikata pun sekarang undang-undang itu diubah, kami ikut dan tunduk pada undang-undang terbaru,“ ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan rumah tahanan (rutan) KPK kewenangannya berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Sehingga Kepala Cabang Rutan pun juga diangkat oleh Menkumham sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2983.
Selama periode 2012-2022, petugas rutan pun, katanya, merupakan pegawai tidak tetap (PTT) KPK. Baru pada 2021, PTT beralih status menjadi ASN KPK. (*)
Tags : Politik, Hukum, Indonesia, Korupsi,