PEKANBARU - Dua tokoh Riau beda pendapat tentang wacana pembentukan Provinsi Riau Pesisir.
Mantan Gubernur Riau, Brigjen (Purn) TNI H. Saleh Djasit SH dan H. Darmawi Wardhana Zalik Aris, Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) Jakarta Pusat, Selasa (14/9/2022) malam saling berbicara lewat ponsel mengemukakan pendapatnya masing-masing.
Provinsi Riau di Pulau Sumatera (Sumatera Tengah) baru memiliki 2 provinsi yakni (Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau/Kepri)) sejak disahkan dan terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 merupakan provinsi ke-32 di Indonesia, tepatnya tanggal 24 September 2002.
"Artinya baru 1 provinsi (Kepri) merupakan pemekaran provinsi Riau, sehingga jika ada pemekaran kembali nantinya akan ada 1 lagi (Provinsi Riau Pesisir) di Bumi Lancang Kuning rasanya wajar saja," kata Saleh Djasit.
Lantas, apa alasan di balik adanya pemekaran Provinsi Riau Pesisir?
Saleh Djasit menilai Provinsi Riau yang luas, wajar ada wacana pemekaran ini.
"Tujuan pemekaran salah satunya untuk percepatan pemerataan pembangunan dan mempercepat peningkatan layanan publik."
Saleh Djasit menyampaikan hal tersebut tentu tertuang oleh pemikiran anak-anak muda sekarang ini, "jadi pemikiran mereka lebih kencang, beda dengan zaman kita," sebutnya.
"Mempercepat kesejahteraan masyarakat dan mengangkat harkat derajat orang asli, itu juga masih menjadi alasan," kata dia.
Tetapi Saleh Djasit tidak menampik pemekaran provinsi Riau Pesisir ini, telah memerhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya.
"Hanya saja yang tidak kalah pentingnya juga memerhatikan kesiapan Sumber Daya Manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang dan aspirasi masyarakat," terangnya.
Jadi Saleh Djasit menilai untuk pemekaran tentu melalui proses panjang harus dibahas lebih dulu untuk penyebaran pembangunan di Riau.
“Pemekaran diharapkan dapat meretas berbagai hambatan dan membuat pelayanan publik oleh pemerintah lebih cepat," katanya.
Namun juga perlu adanya antisipasi terhadap potensi konflik sosial.
Wacana pembentukan Provinsi Riau Pesisir heboh sejak September 2014 lalu. Tetapi kini bak mati suri hanya beberapa waktu setelahnya, gerakan politik itu sudah layu sebelum berkembang.
Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta, H. Darmawi Wardhana Zalik Aris memandang selain soal anggaran, pemerintah harus menunjuk pejabat sementara sebagai gubernur di provinsi baru sampai digelar pilkada pada 2024.
Ia pun lantas mempertanyakan kesiapan provinsi baru itu. Pembentukan provinsi baru Riau Pesisir 'tidak ada masa persiapan yang cukup'.
Untuk menjadi daerah yang otonom, kata dia, provinsi tersebut setidaknya harus mandiri secara ekonomi untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Dana itu utamanya diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Wacana pembentukan provinsi baru (Provinsi Riau Pesisir) di Riau dikahawatirkan tak bisa terwujud karena masa persiapan untuk menjadikan daerah tersebut mandiri secara finansial maupun secara pemerintahan, kata Darmawi menilai.
Wacana ini kembali didengungkan hingga Kementerian Dalam Negeri akan tetapi suara penolakan masih mengemuka.
Pihak pejabat di Riau juga menyatakan ketidak setujuannya jika pemerintah terus melanjutkan rencana pemekaran di Riau.
Sementara pembahasan RUU Daerah otonomi Baru (DOB) di Riau hampir pasti belum dilakukan apalagi untuk disahkan pada rapat paripurna di DPR RI.
"Jikapun nanti pembahasannya di Panitia Kerja Komisi II DPRD Riau dengan pemerintah dilakukan, salah satu hal yang disepakati adalah anggaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Riau tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai provinsi induk," kata Darmawi.
Namun sebagai daerah otonom baru, Darmawi menilai kemampuan untuk bisa mendapatkan PAD "sangat kurang" hanya saja sumber daya alam cukup.
"Kalau begini yang terlihat akibatnya akan ada dana bantuan dari pemerintah pusat. Kalau enggak lancar dana bantuan dari pemerintah pusat, maka tentu saja daerah otonom itu tidak bisa berjalan dengan baik," ujarnya.
Selain soal finansial, daerah otonom juga semestinya sudah harus memiliki sarana dan prasarana seperti kantor dan yang tidak kalah penting batas wilayah dengan provinsi tetangga.
Jika segala syarat itu tidak bisa dipenuhi sebuah provinsi baru, maka dikhawatirkan akan menjadi daerah otonom gagal, kata Darmawi.
Dia merujuk pada studi yang dilakukan Kemendagri dan Bappenas pada 2014 menyebutkan 80% daerah otonom baru yang dibentuk pascareformasi 1999-2004 gagal, lantaran tidak ada masa persiapan dan pembentukannya lebih didominasi kepentingan politis.
"Pada masa Reformasi terjadi animo keinginan pemekaran tinggi dan tidak terkendali. DPR RI langsung mengangkat aspirasi itu dan pemerintah diminta menerima sehingga dibentuk daerah otonom tanpa kajian yang baik," katanya.
"Sejak 1999-2004 ada 223 daeerah otonom baru dalam tempo 15 tahun. Delapan puluh persen gagal."
Berkaca pada kegagalan itu, menurut Darmawi, pemerintah semestinya membentuk daerah persiapan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi daerah otonom.
Masa persiapan itu berlangsung selama tiga tahun. Dalam masa persiapan ini, provinsi induk yakni Provinsi Riau memiliki peran besar untuk merekrut aparatur sipil negara hingga membangun infrastruktur yang dibutuhkan.
"Kalau langsung jadi provinsi otonom, bisa saja nanti persiapan kurang baik. Misalnya pelayanan publik jadi menurun karena yang tadinya di provinsi induk jadi tidak bisa."
"Pembiayaan pemerintahannya juga jadi tidak stabil. Ujung-ujungnya jadi daerah otonom gagal," kata Darmawi. (*)
Tags : Wacana Pembentukan Provinsi Riau Pesisir, Provinsi Baru, Dua Tokoh Riau Beda Pendapat Tentang Pembentukan Provinsi Baru, News,