"Berdasarkan laporan UNHCR gelombang kedatangan Rohingya mencatat total pengungsi yang berada di Aceh sejauh ini mencapai 1.608 jiwa"
elombang kedatangan orang Rohingya ke Aceh diwarnai sentimen negatif warganet Indonesia. Bahkan, narasi kebencian dan hoaks soal Rohingya marak beredar di media sosial.
Pada Kamis 14 Desember 2023, ada sebanyak 45 orang Rohingya yang seluruhnya pria ditemukan terdampar di Pantai Kuala Idi Cut, Aceh Timur.
Menurut wartawan Hidayatullah di Aceh yang melaporkan, puluhan pengungsi ini sudah dipindahkan ke Gedung Sport Center.
Berdasarkan laporan UNHCR, ini merupakan gelombang kedatangan Rohingya ke-10 dalam satu bulan terakhir. UNHCR mencatat total pengungsi yang berada di Aceh sejauh ini mencapai 1.608 jiwa, termasuk 140 orang yang bertahan dalam satu tahun terakhir.
Di tengah polemik ini, seorang anggota DPR mewacanakan agar penyelamatan pengungsi yang masuk wilayah Indonesia harus didahului pemeriksaan status mereka.
Peneliti yang fokus pada Rohingya dari BRIN mengkritik wacana tersebut, karena bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, sekaligus bertolak belakang pada aturan yang sudah dibuat Presiden Joko Widodo.
Sementara itu, seorang nelayan di Aceh mengatakan, “Kalau ada musibah [di laut], wajib kita tolong. Kalau tidak menolong, ada sanksi adat.”
‘Kalau tidak menolong, ada sanksi adat’
Seorang nelayan di Aceh, Rahmi Fajri, mengatakan hukum adat laut yang disepakati bersama dengan pimpinan adat yang disebut “Panglima Laot”, mengikat para nelayan untuk menolong siapapun yang kesusahan di laut.
“Di darat kita bermusuhan, tapi ketika di laut kita jadi saudara. Kalau ada musibah, wajib kita tolong. Kalau tidak menolong, ada sanksi adat,” kata Rahmi.
Menurut Rahmi, aturan tersebut sudah turun temurun berlaku dari nenek moyang yang menjadi “kekhususan adat Aceh” dan tidak goyah walau sejumlah kalangan menyuarakan penolakan pengungsi Rohingya.
“Jika di laut akan kita tolong. Tapi ketika dibawa ke darat, itu urusannya pengawasan dan pemerintah. Jadi di luar tanggung jawab nelayan,” tambahnya.
Panglima Laot Aceh, Miftah Tjut Adek, juga mempertegas hal itu: “Bagi kami, Rohingya itu bukan kewenangan hukom adat laot untuk menerima mereka”.
“Kami hanya menerapkan hukum sosial untuk membantu mereka di laut apabila mereka butuh. Tanpa menarik/mengangkut ke darat. Membantu orang yang butuh pertolongan adalah kewajiban kita semua,” kata Miftah.
Apa itu Hukum Adat Laut Aceh?
Berdasarkan keterangan Miftah, Lembaga Hukum Adat Laot adalah lembaga adat nelayan yang dipimpin seorang yang dipilih secara adat yaitu Panglima Laot. Panglima Laot ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai,16 abad yang lalu.
Secara historis, panglima laot bertugas sebagai perpanjangan tangan raja untuk menjaga laut sebagai lalu lintas perdagangan termasuk memungut pajak, melayani dan menjaga keamanan para pedagang dari luar kerajaan, termasuk pelindung untuk nelayan.
Seiring perkembangan zaman, lembaga ini mengambil peran menjaga keamanan di laut, agar nelayan tidak berkonflik dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan.
Kemudian, menjaga hukum adat dan adat istiadat yang tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat nelayan termasuk adat sosial di dalamnya, serta menjaga kelestarian lingkungan pesisir pantai dan laut.
“Hukum adat bukan qanun atau undang undang yang perlu disahkan oleh DPR Kabupaten/DPR Aceh/pemerintah,” kata Miftah.
Sebelum ramai kehadiran Rohingya, banyak nelayan Aceh membantu orang-orang di laut baik hidup maupun sudah meninggal. “Tanpa melihat agama, ras dan etnis,” tegas Miftah.
Panglima Laot Aceh tetap akan menolong pengungsi Rohingya, meskipun terdapat larangan pihak TNI.
Kearifan lokal yang tidak diperhatikan
Indonesia dianggap terjebak dilema antara kemanusiaan dan menjaga keamanan setelah Presiden Joko Widodo mengungkap dugaan TPPO dalam gelombang pengungsi Rohingya di Aceh.
Profesor Tri Nuke Pudjiastuti dari BRIN menyayangkan kearifan lokal yang dimiliki nelayan Aceh ini “tidak diperhatikan” oleh pihak otoritas.
Padahal hukum adat mereka satu napas dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, yang memprioritaskan penyelamatan.
"Kalau mereka menerima kapal yang ditolak beberapa kali, menunjukan sebenarnya mereka tidak menolak. Tetapi tekanan lingkungan dan ketidakjelasan kebijakan pemerintah, menjadikan mereka, tergantung situasi."
“Kalau perspektifnya hak asasi manusia, maka yang pertama orang itu ditolong,” kata Nuke.
Selain itu, jika terdapat pihak otoritatif yang mendorong kapal Rohingya kembali ke laut, maka “sudah jelas itu melanggar”.
Dalam Perpres No. 125/2016, kata Nuke, sudah gamblang dijelaskan agar pengungsi dari luar negeri melewati tahap apa yang disebut “penemuan, penampungan, dan pengamanan”.
“Jadi kalau dibilang, didata dulu, baru ditolong, nanti keburu tidak bernapas lagi,” lanjutnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR, Bobby Rizaldi, memaknai kewajiban operasi penyelamatan dalam Perpres No. 125/2016 harus didahului kejelasan status orang-orang yang masuk wilayah Indonesia.
Politikus dari Partai Golkar ini menengarai tidak setiap orang, termasuk dari komunitas Rohingya, masuk ke Indonesia dengan status pengungsi.
“Yang datang ke Indonesia mungkin tidak terdaftar sebagai pengungsi. Karena tidak ada teregistrasi sebagai pengungsi, otoritas akan memasukkan mereka sebagai imigran gelap,” ujar Bobby dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Rabu (13/12).
Presiden Jokowi meneken Perpres No. 125/2016 pada 31 Desember 2016. Regulasi ini mengatur penanganan pengungsi yang datang dari luar negeri.
Pengungsi yang dimaksud perpres ini adalah orang asing yang berada di wilayah Indonesia karena ketakutan yang beralasan terhadap persekusi berbasis ras, suku, agama, kebangsaan dan pendapat politik yang berbeda.
Yang masuk dalam kategori tadi adalah orang-orang yang tidak menginginkan perlindungan dari negara asal atau telah mendapatkan status pencari suaka atau pengungsi atau dari UNHCR.
Merujuk pasal 9 dalam perpres ini, pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat, seperti berada di kapal yang akan tenggelam, harus segera dipindahkan ke kapal penolong. Pengungsi tadi juga wajib dibawa ke darat jika keselamatan nyawa mereka terancam.
Perpres ini mengatur, lembaga yang bertugas melakukan ini adalah Basarnas. Operasi pertolongan itu dapat melibatkan TNI, Polri, Kementerian Perhubungan, Bakamla, dan organisasi non-kementerian di bidang serupa.
Setelah operasi penyelamatan dan pertolongan tadi, sebagaimana diatur pasal 9 huruf d, orang asing yang diduga pengungsi perlu dibawa ke Rumah Detensi Imigrasi atau Kantor Imigrasi setempat. Di situlah para pengungsi tadi akan menjalani pemeriksaan identitas.
Pasal 24 perpres ini mengatur, pejabat Rumah Detensi Imigrasi, bekerja sama dengan pemerintah daerah, harus menempatkan pengungsi yang ditemukan ke penampungan atau akomodasi sementara.
Tempat penampungan itu, seperti diatur pasal 26, harus dekat fasilitas kesehatan dan ibadah, berada di satu kabupaten atau kota dengan Rumah Detensi Imigrasi, dan memiliki kondisi keamanan yang mendukung.
Organisasi internasional di isu migrasi dapat turut memfasilitasi proses penampungan pengungsi. Pasal 26 mengatur, bantuan yang dapat diberikan adalah penyediaan air bersih, kebutuhan makan, fasilitas kesehatan dan ibadah.
Perpres ini juga mengamanatkan pengamanan pengungsi kepada Polri. Kepolisian, seperti tertulis pada pasal 32, ditugaskan untuk menjaga pengungsi agar tetap berada di tempat penampungan. Polri juga diminta menciptakan rasa aman terhadap warga di sekitar penampungan.
Kendati demikian, Perpres No. 125/2016 ini disebut “tidak cukup lengkap”, karena belum mengatur kewenangan pemerintah daerah terkait penggunaan anggaran dan pencarian dana bantuan, jelas Profesor Nuke.
Isu penyelundupan manusia, dan imigran gelap yang berkembang dikhawatirkan justru dapat menjadi pembenaran dalam pengusiran para pengungsi Rohingya saat berada di tengah laut.
Padahal, menurut Profesor Nuke, para pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh walaupun terbukti terhubung dengan penyelundupan manusia, status mereka tetaplah korban.
“Kalau kita push back mereka, itu artinya bahwa mereka adalah penyelundup. Padahal, mereka adalah korban dari penyelundupan,” kata Nuke.
Ia juga merujuk pada UUD 1945, Pasal 28G ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain”.
“Itu posisi Indonesia. Bukan posisi perorangan, lembaga, atau pemerintah. Tapi posisi Indonesia,” katanya.
Menurut Nuke, pemerintah Indonesia tidak bisa menghadapi gelombang pengungsi ini sendirian.
Kata dia, Indonesia sebagai ketua ASEAN masih berkesempatan membuka ruang pertemuan khusus yang membahas gelombang pengungsi Rohingya, di mana akar masalah sebenarnya ada di Myanmar.
Apa respons terbaru pemerintah?
Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah bertemu Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, untuk membahas isu pengungsi Rohingya yang masih di wilayah Indonesia.
Imigran Rohingya menunggu dalam truk Satpol PP dan WH setelah ditolak warga untuk direlokasi di UPTD Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya Dinas Sosial, Ladong, Aceh Besar, Aceh, Senin (11/12/2023).
"Kita bahas tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dengan kedatangan bertubi tubi pengungsi Rohingya di Indonesia. Dan saya sampaikan, terdapat dugaan kuat masalah penyelundupan dan perdagangan manusia," kata Menlu Retno dalam keterangan pers yang dikutip Rabu (13/12).
Ia melanjutkan, dalam pembicaraan empat mata yang dilakukan dengan sangat terbuka tersebut dengan Komisioner Tinggi UNHCR, "beliau sangat memahami tantangan yang dihadapi Indonesia".
Menlu Retno bilang, UNHCR akan berusaha semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah ini, antara lain dengan memberikan bantuan untuk mendukung kehidupan para pengungsi tersebut.
"Saya juga menyampaikan kepada UNHCR di dalam pertemuan tersebut untuk terus mendesak kepada negara pihak Konvensi Pengungsi untuk segera mulai menerima resettlement sehingga beban tidak bergeser ke negara lain seperti Indonesia," kata Retno.
‘Rohingya negara mana?’
Pencarian kata “Rohingya” dalam mesin pencarian Google mengalami peningkatan dalam beberapa pekan terakhir, menyusul sejumlah insiden penolakan warga Aceh atas kehadiran kelompok etnis Indo-Arya di tanah Rencong.
Sejak 14 November lalu, Badan PBB yang menangani pengungsi (UNHCR) mencatat bahwa Aceh telah kedatangan 1.075 pengungsi Rohingya yang tiba dalam enam gelombang.
Mengenai latar kelompok minoritas Islam yang mengalami persekusi di Myanmar dan penolakan di Indonesia ini perlu diketahui agar memahami konteks tentang pengungsi Rohingya.
Apa itu Rohingya? Rohingya warga mana? Rohingya negara mana? Pengungsi Rohingya berasal dari mana? Rohingya negara asal mana? Asal-usul Rohingya?
Itu adalah sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang terus dicari dalam mesin pencarian.
Pada dasarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut merujuk identitas Rohingya, kewarganegaraan, dan negara asal.
Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar - negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Apakah etnis Rohingya merupakan bagian dari Myanmar?
Hal itu masih kontroversial.
Kalangan sejarawan bersilang pendapat apakah Rohingya memang sudah menetap di Myanmar sebelum kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Sebagian sejarawan mengatakan komunitas ini sudah tinggal di Myanmar selama berabad-abad, hal yang diyakini komunitas Rohingya sendiri – bagian dari etnis di Myanmar.
Pendapat kedua, mengatakan mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir. Hal ini yang dijadikan dasar bagi junta militer – pemerintah di Myanmar – menyatakan mereka sebagai pendatang baru dari subkontinen India.
Tahun 1982 menjadi momentum paling penting bagi komunitas Rohingya, saat Pemerintah Myanmar menerbitkan Undang Undang Kewarganegaraan.
Melalui kebijakan ini, etnis Rohingya tidak dimasukkan sebagai ‘ras nasional’ Myanmar. Akibatnya, mereka menjadi populasi tanpa kewarganegaraan (stateless) terbesar di dunia.
“Sebagai populasi tanpa kewarganegaraan, keluarga Rohingya tidak memiliki hak-hak dasar dan perlindungan, serta sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, serta pelecehan,” tulis keterangan UNHCR.
Pengungsi Rohingya berasal dari mana?
Secara de facto, mayoritas Rohingya hidup di negara bagian termiskin Myanmar, yaitu Rakhine.
Dari sisi historis, keberadaan Rohingya tidak disukai oleh mayoritas penduduk di Rakhine yang didominasi agama Buddha.
Rohingya dipandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain. Kebencian terhadap Rohingya dari mayoritas penduduk di Rakhine ini meluas di Myanmar.
Kapan krisis kemanusiaan Rohingya dimulai?
Sejak mereka tidak punya kewarganegaraan, tapi masih tetap tinggal di Myanmar.
UNHCR menyebut hidup dan kehidupan mereka selama puluhan tahun mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi di Myanmar.
Orang Rohingya perlahan-lahan mulai meninggalkan Myanmar pada 1990-an.
Tapi puncaknya terjadi pada 2017, saat gelombang kekerasan besar-besaran di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih 742.000 orang – setengahnya anak-anak – mencari perlindungan di Bangladesh.
Peristiwa ini menjadi eksodus terbesar dalam sejarah Rohingya.
Seluruh desa dibakar, ribuan keluarga dibunuh atau terpisah, dan pelanggaran hak asasi manusia membanjiri laporan-laporan lembaga kemanusiaan.
"Lebih baik mereka membunuh kami daripada mendeportasi kami ke Myanmar," kata seorang etnis Rohingya di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh.
Apakah Indonesia satu-satunya tempat Rohingya mencari perlindungan?
Laporan UNHCR per 31 Oktober 2023 menunjukkan 1.296.525 pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan tersebar ke sejumlah negara.
Bangladesh menjadi negara paling banyak menampung, yaitu 967.842 orang. Diikuti dengan Malaysia (157.731), Thailand (91.339), India (78.731) dan terakhir Indonesia (882).
Meskipun jumlah yang masuk ke Aceh, Indonesia sedikit, tapi dalam satu pekan terakhir gelombang pengungsi Rohingya mengalami peningkatan lebih dari 100% dengan jumlah sekitar 1.000 orang.
Imigran etnis Rohingya makan siang saat berada di tenda penampungan sementara kawasan pesisir pantai desa Kulam, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, Aceh, Rabu (22/11/2023).
Direktur Arakan Project, lembaga advokasi HAM Rohingya, Chris Lewa menilai “Indonesia bukanlah negara tujuan” bagi pengungsi Rohingya dalam mencari perlindungan.
“Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia," kata Lewa.
Kasus-kasus pengungsi Rohingya yang kabur di Aceh menguatkan pernyataan ini. Pengungsi Rohingya yang berada di Malaysia mengatakan bahwa ia ‘berani membayar Rp20 juta’ untuk mengirim saudara dari Aceh ke Malaysia.
Secara umum, komunitas Rohingya di Malaysia juga lebih banyak dan mereka bisa bekerja walaupun secara gelap.
Namun, belakangan ini, situasi keamanan makin memburuk di kamp Cox's Bazar, membuat pengungsi Rohingya memprioritaskan mencari keselamatan. Indonesia pun mereka harapkan bisa menjadi tempat perlindungan.
Sementara itu, Pemerintah Malaysia menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya dalam beberapa tahun terakhir, dan ditegaskan kembali pada 2020 lalu.
Di sisi lain, jumlah pengungsi internal Rohingya di Myanmar sejauh ini sebanyak 2 juta jiwa, dan yang kembali ke negara itu dari pengungsian negara lain sebanyak 89.402 jiwa.
Mengapa gelombang pengungsi Rohingya makin banyak ke Indonesia?
Menurut perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Mayman ada dua faktor yang kemungkinan akan mendorong gelombang pengungsi ke Indonesia.
Pertama, konflik di Myanmar makin buruk.
“Semua orang berkonsentrasi pada apa yang terjadi di Timur Tengah [Gaza] dan Ukraina, sehingga intensifikasi konflik senjata di Myanmar adalah sesuatu yang hampir tidak diberitakan,” katanya.
Kedua, keamanan di kamp-kamp pengungsian Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, semakin memburuk: penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan.
“Para pengungsi tidak cukup terlindungi di Cox's Bazar. Ada peningkatan dalam insiden-insiden tersebut, sehingga mereka khawatir. Mereka takut. Itulah mengapa kami melihat peningkatan,” jelas Ann Mayman.
Mengapa warga Aceh menolak Rohingya?
Gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Aceh, dan mendapat penolakan sebagian warga di sejumlah wilayah.
Azwani, 65 tahun, mengaku sebagai perwakilan warga di Kabupaten Pidie, mengklaim warga menolak karena keberadaan pengungsi Rohingya melanggar “norma-norma yang telah disepakati”.
“Kedua, masuk mereka ke sini, tanpa konfirmasi dengan pihak setempat. Jangan kan dengan kami desa, dengan Mustika [aparatur desa] pun tidak pernah dibicarakan. Oleh karenanya, kami tidak dianggap pemerintah di [kecamatan] Padang Tiji ini, sehingga kami menolak,” kata Azwani.
Sementara perwakilan warga lainnya, Teuku Muslim mengatakan, "Kami atas nama kemanusian, dia [Rohingya] orang Islam, sudah kami terima. Sekarang sudah cukup kami menerima.”
Kepala Desa Lapang Barat di Kabupaten Bireuen, Mukhtar Yusuf, menolak pengungsi dengan alasan tidak ada tempat yang mendukung para pengungsi di wilayahnya.
”Bukan masalah logistik, tapi masalah tempat. Ini kan tempat orang-orang nelayan aktivitas, saya rasa mengganggu,“ ujarnya.
Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Mayman menyebut pengungsi Rohingya sebagai “orang Palestina di Asia”. Pihaknya mengakui ada ketegangan yang terjadi di lapangan.
“Kami menjelaskan alasan mengapa orang-orang melarikan diri. Mereka bukan penjahat. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan,” kata Ann.
Selain itu, kata Ann, sebagai “orang Palestina di Asia”, Rohingya tidak cukup mendapat perhatian yang serupa dengan korban konflik di Gaza.
“Inilah masalahnya. Semua orang memalingkan muka dan menyebut mereka sebagai penjahat, yang sama sekali tidak benar,” katanya.
Dalam keterangannya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, “Kejadian semacam ini akan terus berulang selama akar masalahnya tidak diselesaikan, yaitu masalah Rohingya di Myanmar.”
Apa tindakan Indonesia?
Indonesia dinilai terjebak dilema antara melakukan tindakan kemanusiaan dan menjaga keamanan setelah Presiden Joko Widodo menyebut dugaan tindak pidana perdagangan orang [TPPO] dalam gelombang pengungsi Rohingya di Aceh. Apa yang bisa dilakukan saat kebencian masyarakat kian kuat akibat hoaks?
Pengamat hubungan internasional dari UIN Jakarta, Mutiara Pertiwi, mengatakan pemerintah Indonesia harus mencari jalan tengah karena dilema memang akan terus membayangi negara yang menjadi tujuan maupun tempat transit para pengungsi.
“Sebenarnya ini tidak hanya di pengungsi Rohingya. Kecurigaan ada kelindan antara sindikat penyelundupan dan jalur migrasi pencari suaka ini memang menjadi dilema di semua tempat transit maupun destinasi suaka,” ujar Mutiara.
Pengamat sekaligus anggota Human Rights Resource for ASEAN, Rafendi Djamin, juga menegaskan pemerintah mau tak mau harus menangani pengungsi yang sudah menginjakkan kaki di Aceh karena Indonesia juga terikat dengan norma-norma internasional.
Meski demikian, Indonesia juga harus menjaga keamanan dari sindikat penyelundup manusia. Namun, karena sindikat penyelundup bekerja lintas perbatasan, maka penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan kerja sama regional, terutama ASEAN.
Lebih jauh, Mutiara mendesak pemerintah untuk bergerak cepat. Menurutnya, sentimen masyarakat di Aceh dan jagat maya semakin negatif terhadap Rohingya karena pemerintah bak lepas tangan pada masa awal kedatangan para pengungsi.
“Negara tidak hadir ketika para Rohingya ini baru datang sehingga peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah justru diserahkan kepada masyarakat,” katanya.
Dilema pemerintah dalam pernyataan perdana Jokowi
Isu penyelundupan manusia ini kembali menjadi sorotan setelah Presiden Jokowi menyebutnya secara spesifik dalam pidato pada Jumat (08/12) - dua hari sebelum sekitar 400 pengungsi Rohingya menambah gelombang kedatangan etnis tersebut di Aceh sebulan terakhir.
“Terdapat dugaan kuat keterlibatan jaringan tindak pidana perdagangan orang TPPO dalam arus pengungsian ini. Pemerintah akan menindak tegas pelaku TPPO dan bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi akan diberikan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal,” ujar Jokowi pada Jumat (08/12).
Dalam pernyataan tersebut, Jokowi menyentuh tiga aspek penting dalam penanganan masalah Rohingya: mementingkan keamanan dengan memberantas tindak pidana perdagangan orang [TPPO], tapi juga memberikan bantuan kemanusiaan terhadap Rohingya di tengah penolakan warga lokal.
Rafendi menganggap masalah pengungsi Rohingya ini sebenarnya lebih tepat dikatakan akibat peran serta penyelundup manusia, bukan lantaran perdagangan orang.
“Ada perbedaan antara TPPO dan people smuggling. Kalau people smuggling, ada keinginan orang itu untuk keluar, untuk melakukan proses membayar kepada jaringan penyelundup ini. Mereka dijanjikan untuk bisa berangkat,” ujar Rafendi.
“TPPO berbeda karena korbannya tidak sukarela untuk ikut. Dia biasanya dijebak dan ditipu, kemudian dieksploitasi. Tidak tepat mengatakan bahwa Rohingya adalah korban TPPO. Lebih banyak people smuggling.”
Dalam pemaparan terakhirnya, kepolisian menyebut sindikat yang membawa pengungsi Rohingya sebagai penyelundup manusia.
Kepolisian Aceh sendiri sudah beberapa kali mengungkap penangkapan tersangka yang menyelundupkan para pengungsi Rohingya, terakhir kali pada pekan lalu di Pidie, Aceh.
Kapolres Pidie, Imam Asfali, pada 6 Desember lalu mengumumkan bahwa jajarannya membekuk seorang pria asal Bangladesh berinisial HM (70) yang diduga menyelundupkan Rohingya ke Aceh.
Imam mengatakan HM diduga menyediakan dua kapal kayu untuk mengangkut Rohingya dari kamp pengungsian di Bangladesh menuju Aceh.
"Setiap penumpang kapal yang anak dibebankan membayar sebesar 50.000 taka atau kalau di-Rupiah-kan Rp7 juta, sedangkan dewasa sebesar 100.000 taka atau sekitar Rp 14 juta,” kata Imam, seperti dilansir Detikcom.
Ia kemudian berkata, “Apabila ditotalkan, agen mendapatkan hasil kejahatan tersebut bila dihitung kurs Indonesia sebesar Rp3,3 miliar.”
Saat ini, HM ditahan di Polres Pidie untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ia dijerat Pasal 120 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHP.
Rafendi mengatakan bahwa penyelundupan manusia seperti ini seharusnya dicegah sejak awal, di titik keberangkatan Rohingya di Bangladesh.
“Penyelundupan manusia harus di-tackle di awalnya. Sebelum dia berangkat, seharusnya sudah bisa di-intercept. Kerja samanya lebih di luar. Kalau di lokal ini ya kita sudah terima jadi,” ucap Rafendi.
Ia pun menegaskan kerja sama kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting dalam penanganan penyelundup manusia. Isu ini sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi ASEAN.
Sebagai mantan Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN pada 2009-2015, Rafendi sudah mengendus peran penyelundup manusia dalam deras arus pengungsi Rohingya sejak 2015 silam, ketika terjadi Krisis Laut Andaman.
Kala itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 100.000 orang Rohingya kabur dari Myanmar akibat persekusi dan konflik berkepanjangan di negara tersebut.
Dengan kapal, mereka mengarungi Laut Andaman untuk mencari perlindungan di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
“Respons pertama tahun 2015, dibuat pertemuan antara bareskrim negara-negara Asia Tenggara, sampai pertemuan tingkat menteri. Keluarlah deklarasi untuk merespons itu,” tutur Rafendi.
Dari pertemuan itu, tercapailah action lines atau langkah aksi yang menjadi pedoman dan komitmen ASEAN dalam menangani berbagai kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan dan perdagangan orang.
“Jadi sebenarnya sudah ada mekanismenya, tapi kenapa itu terulang terus? Satu, action line ini tidak terlalu konsisten dijalankan,” kata Rafendi.
Rafendi mengakui bahwa dalam kasus pengungsi Rohingya, ASEAN juga harus menggandeng Bangladesh sebagai negara asal pengungsian.
Ia lantas menyatakan ASEAN sebenarnya bisa bekerja sama dengan Bangladesh melalui mekanisme Bali Process yang diketuai oleh Indonesia dan Australia.
Beranggotakan 48 negara termasuk Bangladesh, Bali Process didirikan untuk mengeratkan kerja sama kawasan dalam menangkal kejahatan lintas batas, termasuk TPPO dan penyelundupan manusia.
“Dari situ sebenarnya bisa dilakukan upaya kerja sama keamanan untuk bisa menentukan langkah-langkah keamanan, mendeteksi people smuggling, kemudian mencegah dan melakukan intersepsi,” ucap Rafendi.
“Mereka harusnya punya kemampuan itu. Ini yang tidak berjalan. Itu yang menyebabkan masih saja pengungsi Rohingya datang.”
Beberapa hari belakangan, sekitar 400 pengungsi mendarat di Aceh. Total pengungsi Rohingya yang berlindung di Aceh kini sudah mencapai lebih dari 1.500 orang.
Rafendi pun mendesak Indonesia untuk menggulirkan roda kerja sama ASEAN ini agar kejahatan lintas batas seperti penyelundupan orang ini dapat diselesaikan dengan baik.
“Indonesia harus taking lead, karena Indonesia kemarin ketua ASEAN. Indonesia juga merupakan negara besar di ASEAN. Di Bali Process, Indonesia adalah co-chair, yang berarti pimpinan, bersama Australia,” tutur Rafendi.
Namun ketika sudah tiba di Aceh, Indonesia juga memang harus memperkuat pengawasan terhadap para pengungsi. Kepolisian Aceh sempat mengungkap bahwa Indonesia kerap kali hanya menjadi negara transit.
Para penyelundup manusia biasanya membawa para pengungsi ke Aceh. Dari Aceh, mereka akan dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.
“Kalau diperhatikan, para pengungsi yang dari tahun 2015, kan awalnya banyak. Terus tiba-tiba menyusut jumlahnya jadi puluhan yang tersisa. Ke mana mereka? Mereka lari,” kata Rafendi.
“Dibantu siapa? Dibantu juga sama orang-orang lokal yang menjadi bagian dari penyelundupan manusia. Kalau bicara kejahatan penyelundupan manusia, itu bisa melibatkan orang lokal. Dia juga bisa melibatkan oknum-oknum yang ada di dalam pengungsi sendiri.”
Dugaan ini terbukti dari operasi kepolisian di Aceh. Pada pertengahan November lalu, kepolisian Aceh sempat menangkap satu sopir truk yang membawa puluhan pengungsi Rohingya.
Meski demikian, Mutiara Pertiwi menggarisbawahi bahwa dalam kasus ini, Rohingya tak bisa disalahkan karena dalam norma internasional, pengungsi seharusnya dilindungi.
“Dalam prinsip perlindungan pengungsi itu ada yang namanya non-penalisation. Bukan berarti membenarkan praktik-praktik kriminal yang bersinggungan dengan penyelundupan manusia, tapi justru melihat bahwa pengungsi ini dalam kondisi tidak punya pilihan lain, sangat rentan,” ujarnya.
Keamanan vs kemanusiaan
Berangkat dari pemahaman bahwa pengungsi bukan pelaku tindak kriminal, Mutiara miris ketika melihat aparat masih menggunakan paradigma yang mengenyampingkan kemanusiaan.
“Aparat menyamakan para pengungsi itu sebagai kriminal, padahal kita melihatnya mereka memang mencari keselamatan, dan jalur-jalur formalnya sangat minim sehingga mereka mencari jalur-jalur yang informal,” ucap Mutiara.
“Benar, kebanyakan dari mereka undocumented karena memang status mereka di negaranya dalam situasi yang problematik.”
Rohingya memang merupakan minoritas Muslim di Myanmar. Di negara tersebut, Rohingya tak diakui sebagai warga negara, membuat mereka menjadi korban persekusi dan akhirnya kabur ke Bangladesh dan negara-negara lain.
Melihat status Rohingya sebagai pengungsi yang seharusnya dilindungi, Mutiara bingung dengan ketidakselarasan aturan di Indonesia.
Dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri tahun 1999, tertera penjelasan bahwa manusia berhak mencari suaka. Artinya, Indonesia mengakui ada kelompok manusia yang dalam kondisi terpaksa harus meminta perlindungan ke negara lain.
Di sisi lain, undang-undang keimigrasian di Indonesia, kata Mutiara, tak mencakup aturan mengenai pengungsi dan pencari suaka sehingga orang yang datang tanpa dokumen lengkap bakal dianggap sebagai pelaku kriminal.
“Ada clash antara UU hubungan luar negeri dan perpres dan imigrasi. Kita inginnya ada harmonisasinya dengan mengimbangi paradigma keamanan dan paradigma pengungsi,” katanya.
Meski demikian, kekosongan aturan ini sebenarnya sudah terisi dengan kehadiran Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri.
“Perpres 125 Tahun 2016 itu ada di tengah-tengah. Itu mengakui ada pengungsi, dan dia bilang bahwa negara mengambil peran untuk mengelola masalah ini, artinya tidak menelantarkan pengungsi,” ucap Mutiara.
Mutiara pun menyayangkan pemerintah tak langsung menjalankan perannya sesuai dengan perpres tersebut ketika gelombang pengungsi Rohingya kembali menerjang Aceh pada pertengahan November lalu.
Menurutnya, ketidakhadiran pemerintah ini menambah rasa frustrasi warga hingga akhirnya memicu penolakan dan kebencian yang berkembang belakangan ini.
“Negara tidak hadir sehingga akhirnya kondisi-kondisi di titik paling darurat, ketika para Rohingya ini baru datang, peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah justru diserahkan kepada masyarakat,” ucap Mutiara.
Petugas melakukan pendataan bagi seorang imigran Rohingya yang dipindahkan dari Pantai Ujong Kareung Sabang di tempat penampungan sementara di gedung eks kantor Imigrasi, Punteuet, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (23/11/2023).
Belakangan, sentimen negatif warga terhadap pengungsi Rohingya memang kian berkembang. Sejumlah warga Aceh menyatakan bahwa awalnya, mereka memang menerima Rohingya dengan tangan terbuka.
Namun, mereka jengah dengan kelakuan Rohingya yang sering kabur dan berperilaku tak sesuai nilai-nilai setempat. Sumbu kebencian warga itu semakin berkobar karena dibakar dengan segala hoaks di jagat maya.
Melihat fenomena belakangan ini, Rafendi memandang pemerintah seharusnya menggandeng masyarakat untuk bekerja sama mencegah penyebaran hoaks yang pada akhirnya menimbulkan kebencian terhadap Rohingya.
“Soal kejahatan penyelundupan manusianya ada di kepolisian. Soal kemanusiaannya [termasuk mencegah penyebaran kebencian] ada di tangan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri dibantu dengan dinas sosial,” tutur Rafendi.
Senada dengan Rafendi, Mutiara juga menganggap pemerintah harus mencari keseimbangan peran agar unsur kemanusiaan terhadap para pengungsi dapat terpenuhi, tapi juga tetap menjaga keamanan Indonesia.
“Kalau jaringan penyelundupnya memang perlu diproses dengan adil dan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Ke depannya itu bagaimana supaya keamanan negara kita tetap bisa dikelola tanpa mengorbankan orang-orang yang butuh dilindungi,” kata Mutiara.
“Mencari keseimbangannya adalah antara paradigma keamanan dan kemanusiaan. Di situ perlu ada koordinasi yang lebih baik antara pemangku kepentingan”. (*)
Tags : Rohingya, ASEAN, Pengungsi dan pencari suaka, Myanmar, Bantuan kemanusiaan, Indonesia, Asia tenggara, Hak asasi, Perdagangan manusia, Hak minoritas, Hubungan ras dan etnis, Asia tenggara, Islam, Muslim, Pengungsi dan pencari suaka, Hubungan ras dan etnis, PBB ,