Kolom Opini   2022/04/11 13:51 WIB

Ekonomi Islam Tetap Prospektif

Ekonomi Islam Tetap Prospektif

ISLAM makin menghiasi wajah dunia, tak terkecuali dalam tataran perekonomian global. Makin banyak negara yang mengakui peran ekonomi Islam. Imbasnya, semakin banyak pula negara yang mengadopsi model ekonomi Islam demi memetik manfaatnya bagi perkembangan ekonomi masing-masing negara.

Perkembangan ekonomi Islam tersaji dalam laporan State of the Global Islamic Economy 2022 yang baru rilis beberapa waktu lalu. Laporan Negara Ekonomi Islam Global kali ini merupakan edisi kesembilan yang mencakup perkembangan dari tengah pandemi 2020 hingga kuartal ketiga 2021. 

Laporan tersebut memperkirakan 1,9 miliar Muslim dunia menghabiskan belanja sebesar 2,0 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 28.704 triliun pada 2021. Belanja tersebut termasuk di sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan, dan media/rekreasi. Semuanya dipengaruhi oleh kebutuhan konsumsi etis yang diilhami oleh ajaran agama Islam.

Pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,9 persen pada 2021 dari kinerja 2020. Aset keuangan Islam diperkirakan telah tumbuh menjadi 3,6 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 51.667,2 triliun pada 2021, naik 7,8 persen dari 3,4 triliun dolar (setara dengan Rp 48.796,8 triliun) pada 2020.

Terlepas dari berlanjutnya ketidakpastian akibat wabah pandemi Covid-19, menurut CEO DinarStandard Rafi-uddin Shikoh, pengeluaran Muslim global pada 2022 diperkirakan bakal tumbuh sebesar 9,1% untuk sektor ekonomi Islam yang tercakup dalam laporan ini, tidak termasuk sektor keuangan syariah.

Semua sektor ini, kecuali perjalanan, telah kembali ke tingkat pengeluaran seperti pada kondisi sebelum pandemi pada akhir 2021. Pengeluaran Muslim diperkirakan mencapai 2,8 triliun dolar (setara dengan Rp 40.185,6 triliun) pada 2025 dengan tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif (CAGR) empat tahun terakhir sebesar 7,5 persen. 

Pandemi memang berpengaruh dalam menahan laju pertumbuhan ekonomi Islam dalam dua tahun terakhir. Namun, wabah ini juga memicu banyak perkembangan penting dalam ekonomi Islam, di antaranya percepatan digitalisasi lebih lanjut, meningkatkan kesepakatan perdagangan antarnegara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan meningkatkan fokus pemerintah pada ketahanan pangan dan kesehatan. 

Ekonomi Islam global, jelas Shikoh, terus ditopang oleh beberapa pendorong utama, termasuk populasi Muslim yang besar dan terus bertambah. Faktor lainnya adalah adanya dorongan yang meningkat untuk mematuhi nilai-nilai etika Islam yang berkaitan dengan konsumsi dan semakin banyak strategi nasional yang didedikasikan untuk pengembangan produk dan layanan halal.

Banyak dari 81 negara yang tercakup dalam Indikator Ekonomi Islam Global yang diperbarui pada 2022 ini terus mengembangkan ekosistem ekonomi Islam yang lebih kuat. Posisi empat teratas tetap tidak berubah dari tahun 2021 lalu. Malaysia tetap mempertahankan posisi teratas untuk sembilan tahun berturut-turut. Posisi berikutnya ada Arab Saudi, Uni Emirate Arab (UEA), serta Indonesia. 

Pendatang baru dalam daftar 15 besar pelaku ekonomi Islam, termasuk di antaranya adalah masuknya Inggris dan Kazakhstan. Turki dan Singapura menunjukkan perkembangan signifikan sehingga mampu menaikkan posisi masing-masing ke urutan kelima dan ketujuh dari sebelumnya berada pada posisi ke-12 dan ke-15.

Artinya, Turki berhasil melompat hingga tujuh peringkat, sementara Singapura melesat naik hingga delapan level. Kinerja ciamik Turki dan Singapura telah mengakibatkan Nigeria dan Sri Lanka keluar dari 15 besar.  

Bahrain menempati urutan keenam, sementara pada posisi kedelapan dan kesembilan milik Kuwait dan Iran. Yordania masuk urutan ke-10, lalu diikuti Oman (ke-11), Qatar (ke-12), Inggris (ke-13), Kazakhstan (ke-14), dan Pakistan (ke-15).

Laporan kali ini menambah satu indikator penting dalam metodologi surveinya. Indikator tersebut adalah penerapan teknologi dalam kriterianya dan menyesuaikan bobot untuk mencerminkan lebih banyak industri halal dibandingkan dengan keuangan Islam. Inilah yang membuat ada beberapa perubahan signifikan dalam peringkat negara.

Ekonomi Islam telah menjadi agenda di beberapa negara dan dianggap sebagai bagian inti dari kebijakan pemulihan ekonomi dari pandemi. Banyak negara telah mengikuti kebijakan ekonomi syariah nasional yang diterapkan sebelum muncul pandemi Covid-19, terutama terkait dengan hukum wajib halal di Indonesia.

Di negara lainnya, di antaranya Arab Saudi, UEA, Malaysia, dan Nigeria, semuanya telah banyak berbenah sehingga memperkuat bobot mereka dalam daftar ekonomi Islam terkuat di dunia. Mereka berinovasi dalam memperkuat ekonomi Islam, terutama dalam makanan halal, keuangan Islam, dan fintech.

Di sektor keuangan Islam, Pakistan, Qatar, dan Kuwait mengumumkan rencana untuk membuat peraturan terpusat baru demi meningkatkan aspek tata kelola keuangan Islam.

Menurut Shikoh, tak hanya pandemi yang memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Islam global. Ada faktor lain yang juga turut memengaruhinya. Pandemi sudah jelas terbukti mengganggu rantai pasokan ke seluruh aktivitas industri. Kondisinya semakin tidak kondusif di beberapa negara yang mengalami tambahan bencana, seperti terkena dampak perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan gelombang panas berlebihan. 

Laporan mencatat pandemi setidaknya menimbulkan dampak ekonomi yang merugikan terhadap 57 negara anggota OKI yang bergantung pada impor. Namun, gangguan tersebut juga memberikan peluang untuk pelokalan dan mendekatkan peluang ke sumber produk yang lebih dekat ke industri. Ternyata ini juga memberikan dampak positif pada produksi obat-obatan, pakaian, dan kosmetik. 

Ketahanan pangan telah menjadi prioritas utama, mendorong inisiatif publik dan swasta untuk meningkatkan pertanian, meningkatkan produksi pertanian dan pengolahan makanan, dari investasi di pertanian pintar di UEA hingga Nigeria yang meluncurkan pusat elektronik pertanian pertama di Afrika untuk mengembangkan pertanian cerdas. 

Mencermati Singapura

Dalam daftar Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2022, ada beberapa negara non-Muslim yang menunjukkan kinerja cemerlang. Negara-negara OKI tentu harus mewaspadai agresivitas mereka. Jangan sampai negara dengan jumlah populasi mayoritas justru tergilas oleh negara-negara non-Muslim.

Siapa mereka? Yang terutama adalah Singapura dan tentu Inggris. Singapura mampu menempatkan diri pada posisi ketujuh dengan skor GIEI secara total mencapai 65,0 poin. Skor Indonesia hanya 68,5 poin.

Karena itulah, Indonesia patut mewaspadai Singapura karena kini skornya hanya terpaut 3,5 poin. Inggris pun untuk pertama kali sudah masuk daftar 15 besar, tepatnya pada peringkat ke-13 dengan total skor sebesar 46,1 poin atau berselisih 22,4 poin dengan Indonesia. 

Singapura memang telah melakukan lompatan dahsyat. Pada laporan sebelumnya, posisi negara kecil ini hanya pada urutan ke-15. Namun, pada laporan tahun 2022 ini Singapura sudah kokoh pada posisi ketujuh.

Semua tentu sudah maklum Singapura merupakan pusat keuangan global. Tampaknya, negara ini tak puas hanya menjadi pemain sentral ekonomi konvensional. Singapura jelas sangat bernafsu menjadi pusat industri keuangan Islam. 

Meski sudah jelas jejak ambisiusnya, para pemangku kepentingan di Singapura tetap merendah dengan menyatakan posisi negara tersebut masih jauh dari capaian optimal. Norzulkarnien Nor Mohamed, Head of Islamic Banking Maybank Singapore, mengatakan kepada Zawya bahwa nasabah di negara tersebut meminta produk yang tidak disediakan oleh bank. “Solusi keuangan Islam utama yang diminta oleh individu termasuk pembiayaan rumah, kartu kredit, dan takaful,” jelasnya.

Nor Mohamed mengaku Singapura masih dalam proses memperkuat ekonomi Islam. Bank-bank di sana juga berusaha mengadopsi ekonomi Islam demi memenuhi kebutuhan domestik dan global.  

Menurut Nor Mohamed, layanan perbankan syariah juga mendapat tempat di hati masyarakat Singapura. Sebagai ilustrasi, Maybank saat ini menawarkan rangkaian produk perbankan syariah terluas di Singapura dan terutama bersaing dengan CIMB yang berkantor pusat di Malaysia di sektor perbankan syariah ritel.

Bisnis bank syariah, kata Nor Mohamed, telah berkembang. “Total pembiayaan dan simpanan Syariah Maybank Singapura tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan masing-masing 4,0 persen dan 11 persen selama empat tahun terakhir, dari 2017 hingga 2021,” katanya.

Pelaku industri utama di Singapura mengemukakan, mereka melihat peningkatan minat dan permintaan. Namun, portofolio keuangan syariah ritel Singapura belum bisa memenuhi permintaan pembiayaan rumah dan asuransi secara memadai.

Di sisi lain, pilihan investasi di sektor syariah juga masih sedikit. Inti dari tantangan industri syariah, menurut mereka, adalah meningkatkan tingkat kesadaran tentang keuangan syariah untuk permintaan ritel yang kuat agar bisa mendukung produk baru.

Nor Mohamed mengakui kecermatan Malaysia dalam memanfaatkan potensi keuangan Islam di Singapura. “Maybank melihat potensi bisnis yang layak karena kepemilikan rumah layak di Singapura, dan memiliki properti residensial adalah investasi kelas aset tetap yang stabil bagi investor properti,” ujarnya. 

Sani Hamid, yang memimpin divisi khusus Islamic Wealth Advisory (FAIWA) Aliansi Keuangan Singapura, mengaku memanfaatkan banyak potensi di Singapura. Karena itulah, perusahaannya juga memiliki pembiayaan rumah Islam di daftar keinginannya untuk Anggaran 2022. Ini yang kedua untuk mendapatkan dana sukuk yang disetujui CPF untuk investasi.

“Saat ini hanya ada satu dana syariah yang disetujui CPF,” kata Hamid, mengacu pada Franklin Templeton Shariah Global Equity Fund, salah satu dari 82 dana yang disetujui pada 3 Februari.

Bank Singapura memiliki aset sekitar $2 triliun, tetapi industri manajemen aset lebih besar mencapai $3,5 triliun pada 2020. Singapura memiliki lebih banyak aset yang dikelola (AuM) daripada industri keuangan Islam dunia secara keseluruhan, yang diperkirakan Refinitiv sebesar $3,374 triliun pada 2020.

Jelas sudah ekonomi Islam menawarkan potensi yang sangat besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global dan perekonomian setiap negara. Bagi negara-negara Muslim, potensi ini jelas tak boleh dilewatkan.

Jangan sampai yang mendapatkan keuntungan terbesar justru mereka yang tak berpenduduk mayoritas Islam. Hanya satu strategi yang bisa menguatkan ekonomi Islam, yaitu memperkuat kerja sama di antara negara-negara Islam tersebut. 

Sumber: Republika.co.id

Tags : halal, industri halal, ekonomi halal, islam,