Politik   2025/11/04 17:36 WIB

Faktor Psikologi Jadi Pemicu Kenapa Orang Pilih Melakukan Korupsi, Tapi Benarkah Karena Tradisi?

Faktor Psikologi Jadi Pemicu Kenapa Orang Pilih Melakukan Korupsi, Tapi Benarkah Karena Tradisi?
Larshen Yunus, Ketua Umum DPP Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN).

PEKANBARU - Dalam bincang-bincang bersama narasumber dan ngopi santai pagi hari bersama Larshen Yunus, Ketua Umum DPP Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) terbesik sedikit pembicaraan soal perilaku korupsi yang masih menjadi permasalahan di lingkup birokrasi pemerintahan, baik itu di pusat maupun di daerah.

"Buktinya, setiap tahun selalu saja ter-ekspose perbuatan korupsi yang melibatkan oknum pejabat pemerintahan."

"Berdasarkan publikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di akun media sosial resmi miliknya, psikologi menjadi salah satu faktor mengapa seseorang melakukan Tindak Pidana Korupsi," sebut Ketua DPD I KNPI Provinsi Riau ini, Selasa.

Tidak tanggung-tanggung, tindak pidana korupsi itu pernah dilakukan oleh pejabat sekelas menteri hingga kepala daerah.

Ia juga singgung dan menjadi perbincangan soal tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid S.Pd.i M.Si bersama 9 orang lainnya terkait Operasi Senyap Tangkap Tangan (OTT) oleh Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tetapi mengutip dari Kajian Profil Koruptor Berdasarkan Tinjauan Basic Human Values oleh Yuwanto  pada tahun 2015 silam, KPK sudah menjelaskan, merujuk pada kajian ilmiah pada tahun 2015 lalu oleh 52 psikolog tersebut, dijelaskan jika beberapa faktor psikologi menjadi penyebab perilaku koruptif.

Larshen Yunus menilai, ada beberapa faktor psikologi yang menjadi penyebab korupsi adalah pertama tradisi alias kebiasaan turun-temurun.

Pelaku korupsi, kata Larshen, adakalanya menganggap perbuatan tersebut merupakan warisan turun-temurun sehingga tidak merupakan sesuatu yang salah.

"Hal itu seperti ucapan 'terima kasih' yang diberikan kepada pelayan publik."

Faktor psikologi kedua, menurutnya,  yang menjadi penyebab korupsi adalah sifat hedonism dan power alias gaya hidup berdasarkan kesenangan dan kesenangan itu memiliki kontrol.

"Dengan kekuasaan yang dimiliki, seseorang punya potensi untuk semena-mena untuk memenuhi kebutuhan materi yang dibutuhkan," kata Larshen Yunus.

Faktor psikologi ketiga, menurutnya adalah Conformity dan Security alias Sistem Korup yang telah dibentuk di dalam lingkungan.

"Dalam situasi seperti ini, seseorang bisa melakukan korupsi atas dasar takut dikucilkan, karena melawan atau bertolak-belakang dengan sistem tersebut."

Jadi menurut Larshen Yunus, korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah tak kunjung berhenti, silih berganti kepala daerah ditangkap oleh KPK maupun oleh aparat penegak hukum lainnya, bahkan saat mencalonkan diri dalam pilkada-pun, kepala daerah masih nekat korupsi. 

"Ini juga karena tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada, menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi," ungkapnya.

Ia menegaskan, bahwa para pejabat eksekutif maupun legislatif di negeri ini, mayoritas sudah tersandera akibat ulah masyarakat itu juga, yang menjadi pemilih berdasarkan apa yang diterimanya, alias pemberian dari para calon kepala daerah maupun dari calon legislatif.

Khusus di Riau, sebut Larshen, sudah saatnya kita berbenah, introspeksi diri dan jangan merasa paling bersih. Mulailah dari hal-hal yang paling kecil. Perilaku jujur dimulai dari rumah dan lingkungan tempat tinggal, prinsipnya adalah yang paling terpenting, jangan menjadi manusia yang serakah, jangan sepele terhadap suatu hal, walaupun untuk menjadi bersih dan lurus 100 persen itu sulit, tetapi setidaknya berani jujur itu hebat. Bermainlah yang cantik!!! ibarat kata, boleh mencubit, tapi jangan berbekas. (*)

Tags : korupsi, faktor psikologi pemicu orang korupsi, benarkah korupsi sebuah tradisi, Gabungan Rakyat Prabowo Gibran, GARAPAN, Larshen Yunus,