JAKARTA - Penayangan ulang film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Soeharto dan mulai diputar pada 1980-an, kini kembali menjadi kontroversi. Film itu sempat diwajibkan untuk ditonton masyarakat sampai 1998.
Menanggapi silang pendapat itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, melalui akun Twitternya menyebut tidak ada larangan maupun kewajiban menonton film tersebut. Pipit Ambarmirah, seorang anak yang orang tuanya yang dijebloskan ke penjara tanpa diadili menyusul kekerasan tahun 1965 mengatakan film itu "menghidupkan kembali hantu-hantu masa lalu".
Ayah dan ibu Pipit dicap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pernah diadili. Ia mengatakan sekarang masyarakat mudah mengakses informasi untuk mempelajari kebenaran dari kejadian sejarah, namun tetap saja pemutaran film ini akan memberikan dampak. "Karena kan sampai saat ini masyarakat di Indonesia ini persepsinya masih belum berubah. Sekarang saja dengan kemudahan mencari informasi, untuk mencari imbangannya, tak banyak yang melakukannya. [Pemutaran film] ini seperti menghidupi hantu-hantu zaman dulu ... sebetulnya orang-orang sudah tahu sebetulnya bahwa ini ada yang tidak benar, juga ada film-film tandingannya juga," kata Pipit dirilis BBC News Indonesia, Senin (28/09).
'Menyadarkan masyarakat'
Meski demikian, Pipit berpendapat bahwa belum banyak yang menyadari hal itu, sehingga tugas untuk menyadarkan masyarakat masih berat. "Ini kan sebetulnya satu film provokasi, ujaran kebencian yang didengungkan dan dilembagakan terus menerus karena itu terus diputar. Jadi, ya menyedihkan, kenapa masih percaya sama hal-hal yang tidak benar seperti itu?" kata Pipit. Penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI oleh satu stasiun televisi swasta baru-baru ini ditanggapi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD melalui akun Twitter miliknya.
Mahfud mengatakan dalam cuitannya, bahwa tidak ada larangan maupun kewajiban untuk menayangkan atau menonton film itu. Film yang pertama kali dirilis pada tahun 1984 itu diwajibkan oleh pemerintah untuk ditonton oleh para pelajar hinga tahun 1998. Saat itu Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, mencabut kebijakan kewajiban itu. Mengapa ada tuntutan pemutaran ulang 'film G30S/PKI'?
Di sisi lain, Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212, Haikal Hassan, mengatakan penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI penting untuk pelajaran sejarah. Alumni 212 ini termasuk salah satu pihak yang merencanakan untuk menyelenggarakan nonton bersama film ini. Haikal mengatakan film itu merupakan "rujukan yang jujur akan keganasan pengkhianatan PKI". Dalam berbagai kesempatan, para pegiat HAM berulangkali menilai pemutaran film Gerakan 30 September oleh TNI sebagai 'kemunduran' dan merupakan bentuk tekanan dalam pengungkapan kasus tersebut.
Para aktivis anti kekerasan juga menilai pemutaran film Gerakan 30 September versi pemerintah Orde Baru akan mempersulit pengungkapan kasus yang terjadi pada 1965. Penayangan ulang film tersebut juga dianggap akan mempersulit upaya pemulihan nama para korban dan penyintas yang dituduh terlibat dan menjalani hukuman tanpa pernah diadili terkait prahara kekerasan pasca 1965. Namun Haikal mengklaim ada "indikasi-indikasi yang mencerminkan kebangkitan komunisme di masyarakat yang dapat membahayakan elemen nasionalisme".
"Indikasinya apa? Banyak, upaya penguburan film itu indikasi, upaya yang mengatakan tidak jelas siapa korbannya - jelas indikasi," kata Haikal, (28/09).
"Kan terbukti, Partai Komunis Indonesia melakukan pembunuhan secara biadab. Menghilangkan idelogi Pancasila, jelas itu bahaya. Komunis itu tidak akan pernah cocok dengan insan beragama," tambahnya.
Tidak semua sepakat dengan Haikal. Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadyah, menyebut komunisme ibarat 'macan ompong' dan 'tak layak' diangkat sebagai isu. "Komunisme sudah runtuh di mana-mana. Kalau Soviet dan China masih kuat, mungkin bisa kita bicara... Cari-cari isu sudah tak layak. Saya antikomunis, tahun 1960an saya aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), saya sangat antikomunis, saya mengerti betapa dahsyatnya PKI zaman itu, tapi sekarang sudah macan ompong kok," kata Syafii, tiga tahun silam.
Menurut Syafii, isu kebangkitan PKI yang dimunculkan tiap bulan September, "sarat politik". "Mengapa (isu ini di) Indonesia diangkat, karena ada tujuan politik, karena Jokowi (Presiden Joko Widodo) juga jadi sasaran," jelasnya, kala itu.
'Penuh dengan kontroversi sejarah'
Peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan film tersebut semestinya ditayangkan dengan diiringi diskusi demi memberi konteks dan pembahasan substansi. Asvi mengatakan berbagai segmen dalam film itu tidak mencerminkan kenyataan dengan benar. "Film ini durasinya lebih 4,5 jam - sangat lama ... bagus kalau didiskusikan, dalam arti, dibahas segmen demi segmen yang ada di dalam film ini yang menurut saya penuh dengan kontroversi sejarah," kata Asvi.
Sejumlah orang menyiapkan proyektor dan layar untuk menonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI di Cipinang, Jakarta, 29 September 2017.
"Jadi misalnya penggambaran tentang keganasan ataupun kekejaman yang dialami oleh para jenderal itu - yang mungkin ini juga satu film kekerasan yang tidak layak ditonton oleh anak-anak - tetapi di samping itu juga kan ada visum et repertum yang memperlihatkan bahwa perlakuan yang diterima oleh jenderal itu tidaklah seganas yang ada di film ataupun yang ada di dalam pemberitaan media militer pada bulan Oktober tahun 65," tambahnya.
Film Pengkhianatan G30S/PKI tersebut dibuat oleh pemerintah Orde Baru dan dirilis pertama kali pada tahun 1984. Sejak itu, film tersebut diwajibkan untuk ditayangkan di televisi nasional hingga Orde Baru berakhir pada 1998. (*)
Tags : G30S/PKI, Film G30S/PKI, Partai Komunis Indonesia,