Riau   17-04-2025 13:29 WIB

Gubri dan Wagubri Plototi Direktur RSUD AA yang 'Kehilangan' Uang Rp455 M, Relawan Garapan: 'Ini Bentuk Kecerobohan yang tak Bisa Ditolerir'

Gubri dan Wagubri Plototi Direktur RSUD AA yang 'Kehilangan' Uang Rp455 M, Relawan Garapan: 'Ini Bentuk Kecerobohan yang tak Bisa Ditolerir'

RSUD Arifin Achmad sepertinya sudah 'kehilangan' uang ratusan miliar yang tak bisa lagi ditolerir.

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Salah satunya utang ratusan miliar jadi temuan BPK, akhirnya RSUD Arifin Achmad (AA) ini diminta harus bisa mandiri, bukan terus menyusu ke APBD.

Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid menyoroti berbagai permasalahan keuangan di RSUD Arifin Achmad, termasuk utang rumah sakit yang mencapai ratusan miliar rupiah dan pendapatan yang tidak dapat diklaim ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Tetapi Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) mengaku sudah lama memperhatikan pelayanan kesehatan yang tak memadai di RSUD Arifin Achmad sebagai bagian dari misi Pemprov untuk menjadi termaju di Indonesia ini.

"Penerapan kebijakan untuk mencapai targetnya justru mendapat sorotan tajam dari semua pihak. Yang ada dugaan korupsi menyeruak, pelayanan kesehatan yang buruk, terlebih bagi pasien BPJS dan mangkraknya pembangunan tanpa transparansi yang dilakukan di RSUD ini," kata Larshen Yunus Ketua Umum (Ketum) GARAPAN ini, seperti Kamis (17/4).

Jadi Larshen menilai bobroknya tata kelola RSUD Arifin Achmad berakibat gagal [tercapainya Riau sebagai] Provinsi termaju di Indonesia.

Seharusnya, pelayanan kesehatan harus dijadikan prioritas utama. Tetapi saat ini RSUD tampak seperti membuat sekat-sekat, mana yang pasien BJPS atau reguler.

Kini salah satu persoalan utama adalah selisih pendapat antara rumah sakit dan BPJS terkait tarif obat, yang menyebabkan pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebesar Rp455 miliar dalam kurun waktu 2020-2022 tidak bisa ditagihkan, kata Gubri Abdul Wahid.

Hal ini, menurutnya, terjadi karena RSUD Arifin Achmad menggunakan obat dari vendor pihak ketiga, bukan yang direkomendasikan BPJS.

Selain itu, ditemukan kelebihan pembayaran jasa pelayanan (Jaspel) sebesar Rp3,8 miliar yang belum dikembalikan ke kas BLUD.  

Selain itu menurut Gubernur, pembayaran insentif tenaga medis seharusnya berdasarkan realisasi pendapatan, bukan estimasi, agar tidak merugikan daerah.

Gubernur juga menyoroti utang rumah sakit yang membengkak hingga Rp130 miliar per akhir 2024, dengan Rp60 miliar di antaranya merupakan utang obat-obatan.

Ia meminta agar masalah ini segera diselesaikan agar tidak berdampak pada pelayanan kesehatan masyarakat. 

"Klaim BPJS yang belum dibayar sebesar Rp40,9 miliar seharusnya bisa membantu mengurangi utang rumah sakit. Yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana utang ini tidak semakin bertambah," tegas Abdul Wahid, Rabu (5/3). 

Ia juga mempertanyakan mengapa RSUD Arifin Achmad masih mengalami kesulitan keuangan, padahal fasilitas dan operasionalnya didanai oleh APBD dan APBN.

"Saya heran, rumah sakit swasta saja bisa mandiri dalam beberapa tahun setelah berdiri. Sementara RSUD Arifin Achmad yang sudah mendapat dukungan pemerintah justru masih berutang. Ini harus segera diperbaiki," tegasnya.

Sementara Wakil Gubernur (Wagub) Riau SF Hariyanto juga ikut semprot Direktur RSUD Arifin Achmad yang terakhir diketahui banyak temuan dan hutang ratusan miliar yang tak tuntas. 

Direktur RSUD Arifin Achmad, drg Wan Fajriatul, akhirnya kena serangan bertubi-tubi yang dinilai kurang becus memimpin rumah sakit pemerintah tersebut.

Berbagai persoalan ditemukan dan tidak bisa diselesaikan, khususnya persoalan keuangan RSUD Arifin Achmad yang sampai menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK menemukan persoalan keuangan di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan mencapai ratusan miliar.

Adapun temuan BPK, yakni terdapat pendapatan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) di rumah sakit pemerintah tersebut yang tidak bisa ditagihkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).

Hal ini karena adanya selisih pendapat antara RSUD Arifin Achmad Riau dengan BPJS terkait pendapatan dan tarif obat yang ditetapkan BPJS, yang mencapai Rp455 miliar lebih selama kurun waktu tiga tahun (2020-2022).

Persoalan ini terjadi karena rumah sakit tidak menggunakan obat-obatan yang direkomendasikan BPJS dan memilih obat-obatan yang ditawarkan oleh pihak ketiga atau suplier (vendor).

Selain itu, juga terdapat persoalan pembayaran jasa pelayanan (Jaspel) sebesar Rp174 miliar yang tidak sesuai dengan peraturan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 79 Tahun 2018 tentang BLUD, sehingga terdapat kelebihan pembayaran jasa pelayanan sebesar Rp3,8 miliar.

Kelebihan pembayaran jasa pelayanan untuk dokter sebesar Rp3,8 miliar tersebut belum dikembalikan RSUD Arifin Achmad Riau ke rekening kas BLUD rumah sakit setempat.

Hal ini terjadi karena pembayaran jasa pelayanan (insentif) seharusnya berdasarkan realisasi penerimaan yang masuk ke BLUD. Namun, dalam praktiknya, pembayaran jasa pelayanan di RSUD Arifin Achmad Riau dilakukan berdasarkan estimasi, sehingga terjadi kelebihan pembayaran insentif yang berpotensi menimbulkan kerugian daerah dan negara.

Tak hanya itu, persoalan hutang RSUD Arifin Achmad Riau ke pihak ketiga juga menjadi catatan Gubernur dan Wagub Riau saat rapat dengan pihak RSUD Arifin Achmad Riau.

Pasalnya, hutang rumah sakit ke vendor mencapai ratusan miliar per 31 Desember 2024.

"Catatan saya dan yang perlu saya kritik itu persoalan keuangan RSUD Arifin Achmad Riau, tolong diperbaiki. Kemudian, tolong persoalan BLUD yang tidak bisa diklaim ke BPJS cari solusinya. Termasuk soal temuan BPK itu tolong diselesaikan, serta hutang rumah sakit ke vendor dituntaskan karena ini akan berdampak terhadap pelayanan kepada masyarakat," pinta Wagubri SF Hariyanto.

Wagubri juga menyoroti persoalan hutang RSUD Arifin Achmad terhadap vendor obat dan lainnya sebesar Rp130 miliar. Khusus hutang obat-obatan ke vendor sebesar Rp60 miliar.

"Tadi juga disebut ada klaim BPJS sebesar Rp40,9 miliar yang belum dibayarkan. Kalau ini dibayarkan BPJS, maka bisa mengurangi hutang ke vendor obat-obatan sebesar Rp130 miliar itu. Yang perlu dicari solusi adalah bagaimana hutang itu tidak bertambah, karena akan menjadi beban dan kondisi rumah sakit tidak sehat," terangnya.

Sedangkan Gubri Abdul Wahid mengaku sering berdiskusi dengan pemilik rumah sakit swasta.

"Mereka mendirikan rumah sakit dengan membeli lahan dan membangun gedung, namun dalam beberapa tahun bisa surplus dan membayar gaji dokter serta kebutuhan lainnya."

"Sedangkan RSUD Arifin Achmad ini komponennya dibiayai oleh pemerintah. Gedung dan peralatan rumah sakit dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Yang saya tak habis pikir, mengapa masih terhutang? Heran, ini kan tak masuk akal. Padahal, beban operasional saja yang ditanggung rumah sakit, masa bisa tekor (rugi)," tegasnya.

Sementara itu, Wagub Riau, SF Hariyanto, mengatakan bahwa hutang RSUD Arifin Achmad Riau ke vendor akibat klaim ke BPJS yang tidak bisa dibayarkan.

"Pertanyaannya, kenapa tidak bisa diklaim? Ini harus disampaikan, apa solusinya. Ini tiba-tiba hutang banyak, lalu lapor ke Gubernur. Ini angka hutang bukan sedikit, cukup besar. Ini yang harus diobati setiap hari, tapi seperti ini tidak bisa diobati," kata Wagub Hariyanto.

Wagub Riau pesimis hutang RSUD Arifin Achmad ke vendor obat-obatan bisa diselesaikan karena merujuk pada temuan BPK yang hingga saat ini belum ditindaklanjuti.

"Jangan Gubernur dan Wakil Gubernur hanya tahu penyakitnya saja. Ada masalah hutang, baru itu tanggung jawab Gubernur. Silakan gunakan anggaran itu, tapi harus pakai aturan dan bisa dipertanggungjawabkan, karena ini uang rakyat. Jangan asal pakai sana pakai sini, buat ini buat itu, akhirnya hutang banyak," tegasnya.

"Seharusnya rumah sakit sebesar ini tidak lagi menyusu ke APBD, tapi sudah bisa subsidi sendiri. Tapi ini sudah disubsidi APBD, malah terhutang sebanyak itu. Belum lagi temuan yang belum ditindaklanjuti," tukasnya.

Wagubri SF Hariyanto juga menyoroti buruknya pengelolaan keuangan di RSUD Arifin Achmad, yang kini terlilit utang hingga ratusan miliar rupiah.

Ia menegaskan bahwa rumah sakit daerah sebesar itu seharusnya mandiri, bukan terus bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sambil menumpuk utang.

“Seharusnya rumah sakit sebesar ini tidak lagi menyusu ke APBD, tapi bisa mandiri. Tapi kenyataannya, sudah disubsidi pemerintah, malah terutang sebanyak ini. Belum lagi temuan BPK yang belum ditindaklanjuti,” tegas SF Hariyanto saat melakukan sidak bersama Gubernur Riau Abdul Wahid di RSUD Arifin Achmad, Rabu 5 Maret 2025.

Salah satu persoalan utama adalah utang rumah sakit ke vendor yang mencapai Rp130 miliar per 31 Desember 2024, termasuk Rp60 miliar untuk obat-obatan.

Masalah ini diperparah dengan klaim BPJS Kesehatan sebesar Rp40,9 miliar yang belum bisa dicairkan, menghambat arus kas rumah sakit.

“Pertanyaannya, kenapa klaim ini tidak bisa dicairkan? Ini yang harus dijelaskan. Tiba-tiba utang membengkak, lalu lapor ke Gubernur. Ini jumlahnya bukan kecil, ini harus segera diselesaikan,” kritiknya.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengungkap bahwa RSUD Arifin Achmad memiliki pendapatan BLUD sebesar Rp455 miliar (2020-2022) yang tidak bisa ditagihkan ke BPJS karena perbedaan tarif obat.

Rumah sakit lebih memilih obat dari vendor pihak ketiga daripada yang direkomendasikan BPJS.

Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran jasa pelayanan (Jaspel) sebesar Rp3,8 miliar yang belum dikembalikan ke kas BLUD.

Bahkan, pembayaran insentif dilakukan berdasarkan estimasi, bukan realisasi penerimaan, yang berpotensi merugikan daerah.

SF Hariyanto menegaskan bahwa penyelesaian masalah keuangan RSUD Arifin Achmad harus dilakukan dengan transparansi dan mengikuti aturan yang berlaku.

“Jangan asal pakai uang rakyat tanpa pertanggungjawaban. Kalau dibiarkan, utang ini akan semakin membebani keuangan daerah dan pelayanan kepada masyarakat pun terganggu,” pungkasnya.

Tetapi kembali seperti ditambahkan Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tingkat I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang minta Jaksa seharusnya bisa memeriksa Dirut RSUD Arifin Ahmad soal dana Rp455 milliar yang tak bisa ditagih ke BPJS.

Dia minta kepada pihak Kejaksaan Tinggi Republik Indonesia untuk segera tegas untuk memeriksa Direktur RSUD Arifin Achmad Pekanbaru sdri WFM yang diduga memanfaati jabatannya untuk melakukan tindakan pidana korupsi, dengan point sebagai berikut :

1. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Provinsi Riau menemukan persoalan terkait kondisi keuangan di RSUD Arifin Achmad tahun anggaran 2020-2022 yang mana terdapat kejanggalan pada pendapatan BLUD di Rumah Sakit  pemerintah tersebut tidak bisa ditagihkan ke BPJS karena terdapat selisih pendapatan RSUD Arifin Achmad dengan tarif obat yang sudah ditetapkan BPJS.

2. Kondisi ini terjadi karena Direktur RSUD Arifin Achmad menggunakan dana BLUD untuk melakukan pembelian obat-obatan yang tidak sesuai dengan rekomendasi dari BPJS melainkan membeli obat-obatan yang ditawarkan  pihak ketiga supplier (vendor).

3. Kongkalikong antara oknum Direktur RSUD Arifin Achmad dan pihak perusahaan penyedia obat-obatan diduga ada indikasi kelebihan bayar karena pihak perusahaan tidak menetapkan harga tarif dari BPJS, dalam hal ini sisa uang kelebihan bayar tersebut diduga untuk kepentingan pribadi oknum Direktur RSUD Arifin Achmad dan kroni-kroninya.

4. Oknum Direktur RSUD Arifin Achmad merangkap sebagai PA dan KPA dan memanfaatkan jabatannya untuk melakukan dugaan tindak pidana korupsi dengan cara menerima fee dari perusahaan pemasok obat-obatan.

5. Atas tindakannnya tindakan yang dilakukan oknum Dirut, sebesar Rp455 miliar pendapatan terhambat dan tidak dapat diproses hal ini meyebabkan kerugian negara akibatnya menambah beban anggaran Rumah Sakit dan mengurangi ketersediaan dana untuk meningkatkan fasilitas dan kualitas pelayanan.

6. Selain dampak finansial yang sangat besar terhadap rumah sakit tindakan yang dilakukan oknum Dirut juga berdampak terhadap kondisi obat-obatan Rumah Sakit diduga karena adanya obat yang sudah kadaluarsa sehingga obat tidak dapat digunakan sehingga berpotensi terjadinya pemborosan anggaran.

"Hal di atas menjadi pertanyaan bagi rakyat yang notabenenya sudah menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Namun belum adanya pemeriksaan yang mendalam terkait kasus ini oleh aparat penegak hukum (APH)," sebutnya.

"Sebenarnya kasus ini sudah lama tapi masih berjalan di tempat dan tidak ada tindakan hukum yang jelas, kami punya data yang sangat jelas dan konkret. Gerakan ini tidak sampai di sini tetap akan kami kawal, kami akan melakukan gerakan aksi ketika tidak ada ketegasan dari Aparat Penegak Hukum, kami kasi waktu 2×24 jam, demi memberi keadilan, dan memberantas korupsi di Riau," kata Larshen.

Ia juga mendesak Aparat Penegak Hukum untuk memeriksa Direktur RSUD Arifin Achmad sebagai berikut:

1. Mendesak Kejagung RI periksa aliran dana pembelian obat-obatan RSUD Arifin Achmad diduga oknum Dirut terindikasi menerima fee 20 persen dari perusahaan pemasok obat-obatan atas tindakannya sebanyak Rp455 miliar pendapatan tidak bisa tagih ke BPJS yang mana hal tersebut berpotensi merugikan keuangan negara.

2. Mendesak Kejagung RI Periksa oknum Dirut RSUD Arifin Achmad diduga bermain pada kegiatan pengadaan obat-obatan yang mana oknum Dirut kongkalikong dengan 
pihak perusahaan pemasok obat-obatan untuk untuk mendapatkan fee 20 persen dan mendesak Kejagung RI juga periksa seluruh Direktur perusahaan pemenang.

3. Mendesak Kejagung RI periksa semua tunggakan pendapatan, kelebihan pembayaran, kelebihan belanja dan utang belanja yang terjadi di BLUD RSUD Arifin Achmad yang terjadi tahun anggaran 2020 dan 2022 sehingga hal tersebut berpotensi merugikan keuangan negara.

4. Meminta Kejagung RI memberikan perintah kepada jajarannya untuk segera memanggil dan memeriksa oknum Dirut RSUD Arifin Achmad WFM yang diduga menjadi aktor di balik terjadinya korupsi pada BLUD RSUD Arifin Achmad.

5. Meminta Kejagung RI serius dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan oknum Dirut RSUD Arifin Achmad yang diduga melakukan penyimpangan keuangan negara yang menyebabkan pendapatan tidak bisa ditagih ke BPJS senilai Rp455 milliar.

"Mari bersama-sama kita basmi para koruptor yang ada di Negeri ini," tutup Larshen. (*)

Tags : rumah sakit umum daerah, rsud arifin achmad, pekanbaru, gubri dan wagubri semprot direktur rsud arifin achmad, rsud kehilangan uang rp455 miliar, kecerobohan rsud arifin achmad dalam jalankan mamajemen,