Nasional   2024/03/25 21:29 WIB

Gugatan Hasil Pilpres 2024 Buat Kesempatan MK Kembalikan Citra dan Kepercayaan Publik 

Gugatan Hasil Pilpres 2024 Buat Kesempatan MK Kembalikan Citra dan Kepercayaan Publik 
Ketua MK Suhartoyo saat memimpin sidang uji materiil pada Kamis (29/02).

JAKARTA - Pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar resmi mengajukan gugatan hasil Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tetapi mengingat rapor lembaga itu, apakah MK masih kredibel untuk menangani sengketa pilpres?

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengaku dirinya masih menaruh kepercayaan kepada MK meski tidak memungkiri tetap ada keraguan.

“Jadi, saya masih 50:50-lah. Dalam arti, doubt [keraguan]-nya ada tapi masih punya harapan,” kata Bivitri Susanti pada media, Kamis (21/03).

“Saya sih masih berharap mudah-mudahan ada terobosan.”

Sementara jubir MK, Fajar Laksono, mengakui bahwa dalam beberapa bulan terakhir ketidakpercayaan publik terhadap lembaganya berada dalam kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Langkah-langkah MK ke depan, katanya, penting untuk menunjukkan kepada publik bahwa MK tetap berada di jalurnya.

“Karena bagi MK, mustahil eksistensi sebuah lembaga peradilan tanpa public trust [kepercayaan publik],” ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (20/03) malam mengumumkan kemenangan pasangan calon (Paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Prabowo-Gibran meraih perolehan suara terbanyak dengan 96.214.691 alias 58,58% dari total 164.270.475 suara sah.

Beberapa jam setelah penatapan pemenang Pilpres 2024, pada Kamis (21/03) pagi, Tim Hukum Nasional (THN) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar resmi mendaftarkan gugatan terkait dugaan kecurangan Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md secara terpisah mengatakan pihaknya juga akan mendaftarkan gugatan ke MK.

Dalam konteks Pemilu 2024, khususnya Pilpres, MK menjadi sorotan terutama semenjak putusan lembaga yudikatif itu tentang gugatan syarat umur minimal capres-cawapres pada Oktober tahun lalu atau yang sering dijuluki “putusan 90” atau “perkara 90”.

Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman, memimpin sidang putusan gugatan syarat umur minimal capres-cawapres.

Dia pun disorot disorot karena dugaan konflik kepentingan yang mengacu statusnya sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo – ayah dari Gibran Rakabuming Raka.

Perkara yang diputuskan oleh Anwar Usman ini mengenai syarat capres-cawapres di bawah usia 40 tahun selama bakal calon berpengalaman sebagai kepala daerah.

Putusan MK kala itu melanggengkan jalan Gibran menjadi cawapres.

Anwar sendiri kemudian diberhentikan dari posisinya sebagai Ketua MK dan posisinya digantikan Suhartoyo.

Salah satu hal yang membuat pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti masih menaruh kepercayaan kepada MK adalah lembaga peradilan itu telah memastikan Anwar Usman tidak ikut dalam menyidangkan sengketa pemilu presiden.

Seperti dilansir Tempo, Anwar Usman tidak akan menjadi hakim dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk Pilpres 2024.

Hakim-hakim MK yang akan menangani sengketa pilpres adalah Suhartoyo (Ketua MK), Saldi Isra (Wakil Ketua MK), Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.

Ridwan Mansyur dan Arsul Sani menjadi hakim MK setelah Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul purnabakti.

“Ada dua hakim baru yang [...] bisa mengubah konstelasi di dalam 8 hakim itu. Bukan berarti mereka berdua superman… tapi namanya sebuah konstelasi politik, kalau ada orang baru pasti akan berubah konfigurasi politik,” ujar Bivitri.

Bivitri menyebut “putusan 90” atau "perkara 90" sering menjadi ukuran dan dua hakim yang menjadi bagian dari putusan itu sudah tidak di MK.

“Dua hakim baru ini [Ridan dan Arsul] belum terbukti di perkara politik tapi di putusan akhir-akhir ini mereka lumayan oke,” imbuhnya.

Dia mencontohkan dua putusan MK pada Kamis (21/03) yang menolak gugatan larangan tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil, juga tentang pencemaran nama baik yang diajukan Haris Azhar.

Terpisah, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, punya sentimen yang sama.

“Beberapa putusan MK terakhir bisa dikatakan cukup progresif. Karena mengubah pattern [pola] kepatuhan MK kepada partai politik menjadi kepatuhan kepada Konstitusi," ujarnya.

"Mudah-mudahan itu juga yang akan mengubah situasi terutama dalam perselisihan hasil pemilu dan MK ikut terlibat membongkar kecurangan yang yang luar biasa,” tutur Feri.

“Jika tidak sekarang MK lakukan maka bukan tidak mungkin proses penyelenggaraan pemilu kita hanya menjadi seremonial belaka karena seseorang yang menang sudah ditentukan jauh-jauh hari dengan berbagai kecurangan yang ada.”

Di sisi lain, Feri berharap putusan-putusan positif MK belakangan bukanlah sekadar upaya mereka “menutup malu” karena tidak berhasil membongkar kecurangan pemilu yang ada.

Dari sisi kepemimpinan MK sekarang, Bivitri juga angkat topi ke Ketua MK yang baru, Suhartoyo, yang menggantikan Anwar Usman. Dia menilai MK di bawah Suhartoyo sejauh ini tulus dalam berusaha mengembalikan citra MK.

“Kayaknya emang Pak Suhartoyo ini pengen nunjukin bahwa [MK] nih lagi berusaha untuk mengembalikan citra. Langkah-langkahnya sudah mulai kelihatan kalau menurut saya. Jadi saya percaya itu,” tuturnya.

Lalu faktor apa yang membuat Bivitri ragu?

“Doubt-nya sistem di kita ini. Misalnya, di MK itu cuma 14 hari waktu untuk memutus perkara sepenting itu. Itu buat saya hambatan banget,” tutur Bivitri mengomentari pendeknya waktu MK untuk memutuskan sengketa pilpres.

Selain itu, Bivitri menyorot ‘kebiasaan’ MK yang memperlakukan sengketa hasil pemilu seolah “hitung-hitung angka kemenangan saja”.

“Makanya dibilangnya ‘Mahkamah Kalkulator’. Jadi, mereka harus mampu keluar dari zona nyaman itu,” lanjut dia.

Bivitri juga menilai satu hakim MK, Guntur M. Hamzah, harus diperhatikan. Guntur dinilai secara konsisten mendorong kelonggaran untuk Gibran pada “perkara 90” juga masuk ke MK secara kontroversial menggantikan Aswanto.

Feri Amsari juga sepakat bahwa Guntur termasuk hakim yang bermasalah karena beliau berasal dari mekanisme yang salah.

“Dan [dia] digerakkan untuk kepentingan Presiden Joko Widodo,” ujar Feri.

Ditanya soal kans para penggugat, Bivitri menyebut tantangan terbesar adalah menghadirkan saksi kunci untuk membongkar kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis dan masif di pengadilan MK.

Bivitri mencontohkan pada tahun 2019, kubu Prabowo saat itu melalui tim kuasa hukum sempat meminta hakim untuk mengeluarkan surat supaya saksi punya kekuatan hukum dan dilindungi.

“Tapi 2019, itu hakim menolak. Jadi, si tim Prabowo tidak bisa menghadirkan [saksi]. Nah, jadi itu tantangan dalam pembuktian [untuk gugatan Pilpres 2024],” ujarnya.

Sementara dari sisi pembuktian, Feri mengatakan bukti untuk membongkar kecurangan pemilu tidak akan pernah cukup karena “itu adalah operasi dari kekuasaan”.

Namun, bukti yang ada tetap patut dipertimbangkan apabila betul-betul menjelaskan bahwa penyelenggara tidak independen dan alat kekuasaan negara terlibat sehingga membuat proses penyelenggaran tidak jujur dan adil.

‘Mahkamah Konstitusi harus berani memutus rantai ini’

Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Tim Nasional Pemenangan (TPN) Anies-Muhaimin mengatakan “tidak ada jalan lain” untuk mengajukan gugatan pilpres karena MK yang memiliki kewenangan.

Di sisi lain, dia percaya bahwa ada hakim MK yang memiliki kredibilitas yang cukup bagus.

“[Hakim-hakim MK] itu kan jumlahnya sembilan orang toh dan satu orang tidak boleh menyidangkan pilpres yaitu Pak Anwar Usman. Jadi delapan orang itu saya yakin banyak memiliki kredibilitas. Jadi, saya tidak khawatir mengenai hal itu,” tuturnya.

Hamdan menyebut sudah menjadi pandangan umum bahwa pemilu kali ini “bobrok” dan itu bisa dijadikan pertimbangan MK.

“Kita tinggal mengajukan bukti-bukti yang mendukung itu. Di mana sisi bobroknya? Di mana sisi-sisi masalah dalam pemilu ini? Dan itulah yang menjadi sorotan dari permohonan dari [Paslon 01],” ujarnya.

Menurut Hamdan, kecurangan pertama dimulai dengan diloloskannya Paslon 02 tanpa prosedur – merujuk pada perubahan aturan batas umur. Menurutnya, jikapun putusan MK itu sah dan konstitusional, seharusnya tidak langsung dipakai karena aturan KPU tentang batas umur 40 tahun masih eksis.

“KPU menerabas itu. Dan ternyata diperiksa di DKPP, itu adalah sebuah tindakan yang salah. Dan seluruh anggota KPU dikenai sanksi oleh DKPP,” ujarnya.

Hamdan menyebut hal ini berdampak pada rangkaian selanjutnya karena melibatkan anak Presiden Jokowi – Gibran – karena pemihakan presiden menjadi sangat jelas dalam memenangkan salah satu pasangan calon.

“Dan itu haram dilakukan oleh pejabat pemerintah, oleh Presiden, apabila membuat kebijakan-kebijakan yang memihak satu pasangan yang merugikan pasangan lain,” tutur Hamdan.

“Kalau keadaan ini tidak dikoreksi, maka demokrasi Indonesia tidak pernah akan baik [...] proses pemilu kemarin pasti akan digunakan juga pada masa-masa yang akan datang dengan cara yang sama dan bisa jadi oleh orang yang sama. Mahkamah Konstitusi harus berani memutus rantai persoalan ini,” tandasnya.

Tujuan akhir dari gugatan ini, jelas Hamdan, adalah pilpres ulang tanpa Paslon 02 – atau setidaknya Gibran digantikan dengan cawapres baru yang memenuhi syarat.

Secara terpisah, Wakil Deputi Hukum TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Firman Jaya Daeli, mengatakan pihaknya tetap optimis dalam mengajukan gugatan kepada MK.

“Apalagi kalau MK berkeinginan kuat untuk mengembalikan kepercayaan publik,” ujarnya.

Firman mencontohkan sikap kemandirian MK terlihat dari putusan mereka yang menetapkan Pilkada serentak pada November meskipun jajaran Pemerintah mengusulkan dilakukan September.

Apa tanggapan kubu Prabowo-Gibran?

Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Viva Yoga Mauladi, menyebut pihaknya mempersilakan Paslon 01 Anies-Muhaimin untuk mengajukan gugatan karena itu adalah “hak konstitusional” mereka.

Di sisi lain, pihak mereka menilai Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan tersebut karena data yang diajukan akan kurang komprehensif.

“Ya, silakan saja mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena hal itu dijamin di undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dimana ketika ada perselisihan atau gugatan terhadap hasil pemilu itu yang menyelesaikan adalah Mahkamah Konstitusi,” ujar Viva melalui pesan suara.

Viva menyebut gugatan MK merupakan “jalur hukum” yang sifatnya “objektif dan imparsial”.

“Jadi, ajukan saja data-datanya [...] seluruhnya harus detil dan harus dibuktikan di Mahkamah Konstitusi,” tutur Viva Yoga.

“Nanti kita menunggu putusan Mahkamah Konstitusi saja. Tapi kami TKN Prabowo-Gibran yakin jika seandainya 01 melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, tidak ada data yang komprehensif dan akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.

Ditanya soal kredibilitas MK, Viva Yoga menyebut lembaga itu “masih kredibel”.

“Buktinya ketika ada pelanggaran maka Bapak Paman itu kena sanksi. Kemudian tidak boleh untuk menjadi anggota hakim yang mengadili dalam sengketa pilpres. Jadi, apa pun background dari hakim MK, MK tetap kredibel,” tuturnya.

Viva Yoga mengonfirmasi yang dimaksud dengan “Bapak Paman” di sini adalah Anwar Usman.

MK sarang konflik kepentingan?

Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengakui dalam beberapa bulan terakhir MK mengalami ketidakpercayaan publik yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Menurut dia, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang melarang pihak yang berkepentingan untuk menyidangkan kasus tertentu memperlihatkan bahwa lembaga peradilan itu ingin “kembali ke rel yang seharusnya”.

Selain Anwar Usman, hakim Konstitusi yang baru terpilih, Arsul Sani, sebelumnya menjabat di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang untuk pertama kalinya tidak lolos ambang batas parlemen 4% pada Pemilu 2024 ini.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berharap Arsul berinisiatif mundur untuk sengketa pemilu legislatif untuk menghindari konflik kepentingan.

Sementara menurut jubir MK Fajar, Arsul sudah menyampaikan kepada media-media bahwa tidak mengambil perkara-perkara yang melibatkan PPP.

“Tetapi itu harus diputuskan oleh 9 hakim konstitusi MK,” ujarnya.

BBC Indonesia telah menghubungi Arsul Sani untuk meminta tanggapan namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada respons. 

Di sisi lain, Fajar menekankan bahwa MK sangat membutuhkan kepercayaan publik.

“Public trust [kepercayaan publik] itu yang dibutuhkan MK. Karena bagi MK mustahil eksistensi sebuah lembaga peradilan tanpa public trust,” ujarnya.

“Ini menjadi momentum bagi MK untuk memulihkan kembali public trust itu dengan independensi dan imparsialitas.”

Dalam konteks sengketa pilpres, Jubir MK menyebut lembaga yudikatif itu akan berupaya menunjukkan ke publik kinerja mereka bukan hanya dari persidangan, melainkan dari proses sebelumnya dengan mementingkan aspek transparansi dan aksesibilitas publik.

“Nah, persoalan nanti putusannya nanti seperti apa itu kan otoritas atau kewenangan hakim yang kita tidak bisa masuk ke sana,” ujar dia.

"Jadi jangan hanya diukur dari apa putusannya. Kalau putusan kan orang bisa berdebat adil atau tidak adil. Kita melihat itu sebagai proses yang utuh dari proses sampai hasil.

Ditanya soal apakah MK rentan menjadi sarang konflik kepentingan, pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut citra MK tidak bisa sekadar “dipoles”.

Dia berpendapat MK mesti mengubah sistemnya antara lain membuat kriteria perekrutan hakim lebih operasional. Selain itu, metode antara hakim yang diajukan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung sekarang pun berbeda-beda.

Bivitri juga menyoroti sistem pengawasan MK yang sekarang dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) jauh dari ideal.

“Walaupun sekarang sudah lumayan [karena] ada Pak [I Dewa Gede] Palguna. Kebetulan saja Pak Palguna bagus. Tapi secara sistem seharusnya pengawasan hakim ada di lembaga yang independen. Makanya dulu tuh Komisi Yudisial bisa mengawasi MK itu bagus,” tutur Bivitri.

Komisi Yudisial sebelumnya berwenang mengawasi Mahkamah Konstitusi hingga tahun 2006 saat MK memutus KY tidak bisa mengawasi hakim MK. (*)

Tags : Politik, Prabowo Subianto, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024, Populisme,