"Pemerintah kembalikan minyak goreng ke harga pasar untuk mengatasi kelangkaan, harganya sudah murah tetapi stok terus habis dan langka"
arga minyak goreng kemasan sudah dikembalikan ke harga pasar, yang berarti tidak ada lagi minyak goreng kemasan berharga murah demi mengatasi kelangkaan, suatu kebijakan yang dinilai tepat. Tapi pemerintah diminta tetap harus melakukan pengawasan agar tidak terjadi lagi kelangkaan.
Sebelum kebijakan terbaru itu, kelangkaan minyak goreng masih terjadi di banyak tempat sehingga banyak warga harus antre untuk membeli walau pemerintah sudah mengeluarkan beberapa aturan untuk menstabilkan harga dan pasokan sejak Januari lalu.
Bahkan kelangkaan minyak goreng juga terjadi di daerah-daerah lumbung kelapa sawit, yaitu Riau dan Kalimantan Barat. Sedangkan perwakilan dari kalangan pengusaha minyak sawit menilai kebijakan pemerintah mengembalikan harga minyak goreng ke harga pasar untuk mengatasi kelangkaan 'mungkin baru terealisasi pekan depan'.
Keputusan terbaru pemerintah itu, di sisi lain, "bisa membuat situasi menjadi lebih baik dari sekarang," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat M. Sinaga seperti dirilis BBC News Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga menilai kebijakan itu bisa mengurangi risiko penimbunan, tapi pemerintah harus tetap melakukan pengawasan.
"Berarti pemerintah harus memperketat kontrol dalam distribusi yang curah sekarang, karena kalau tidak diperketat kontrolnya, khawatirnya kejadian lagi, yang curahnya yang langka, yang ada hanya kemasan," ujar Faisal.
Kelangkaan di mana-mana
Kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi sejak pemerintah memberikan subsidi memberlakukan kebijakan minyak goreng Rp14.000 per liter, pada 19 Januari lalu. Per 1 Februari, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET), masing-masing untuk minyak goreng curah Rp11.500, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.000, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000.
Sampai Selasa 15 Maret 2022, kelangkaan minyak goreng masih terjadi di berbagai daerah, bahkan di lumbung kelapa sawit, seperti Riau dan Kalimantan Barat.
Warga bahkan harus bolak-balik mengecek ketersediaan minyak goreng di minimarket atau warung terdekat.
Santi, warga Pekanbaru, akhirnya memilih membeli minyak goreng curah di pasar tradisional, kendati harganya mencapai Rp20.000 per liter, tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah
Santi berharap pemerintah bertindak cepat dan tidak membiarkan persoalan ini berlarut-larut.
"Kami risau setiap hari harus masak tapi minyak goreng langka. Jadi bingung, bagaimana pemerintah biar bisa cepat menyelesaikan masalah ini," keluhnya.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, stok minyak goreng juga susah didapatkan. Padahal Kalimantan Barat juga merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia.
"Sudah tiga hari tak dapat antrean minyak. Cari ke Mitra Anda tak ada, kosong katanya. Ke Harmonis kosong, ke mana-mana kosong. Sekarang pakai minyak yang ada saja lah, banyakin rebusan," kata Puji Haryati, warga Pontianak.
Di Jakarta, kelangkaan minyak goreng juga masih terjadi. Nadia, warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, mengaku selalu kehabisan stok minyak goreng di sekitar rumahnya.
"Seminggu terakhir ini saya selalu susah nyari minyak goreng, selalu kehabisan. Di 10 minimarket, kompak tak ada minyak. Sampai dua hari lalu baru ketemu minyak goreng, setelah nyari ke tiga minimarket tak ada, itu pun mereknya yang gak pernah saya dengar," kata Nadia.
Hasil pemantauan Ombudsman di 274 pasar di seluruh wilayah di Indonesia, stok minyak goreng mengalami penurunan, terutama minyak goreng kemasan sederhana dan premium.
"Minyak goreng ternyata masih langka. Bahkan kelangkaan itu semakin memburuk. Sebentar lagi kita akan menghadapi hari raya, oleh karena itu pemerintah harus segera melakukan evaluasi, jangan hanya sekadar menyalahkan hal yang tidak bisa secara nyata meningkatkan ketersediaan minyak goreng ini," kata anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika.
Ombudsman menilai akar permasalahan dari kelangkaan minyak goreng saat ini adalah disparitas harga yang mencapai Rp8.000-9.000 per kilogram. Disparitas harga terjadi karena terdapat perbedaan harga yang sangat signifikan pada suatu harga komoditas bahan pokok, dalam hal ini minyak goreng, antar daerah.
"Para spekulan memanfaatkan disparitas harga minyak goreng di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi pemerintah. Aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," ujar Yeka.
Kapan harga minyak goreng kembali normal?
Menanggapi kelangkaan yang sudah berbulan-bulan terjadi itu, Kementerian Perdagangan hari ini (16/3) merilis aturan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 untuk minyak curah dan mengembalikan harga minyak goreng sesuai harga pasar.
Untuk menjamin pasokan minyak goreng stabil kembali, pemerintah meminta Kepolisian Republik Indonesia diminta untuk turut memastikan ketersediaan dan kelancaran pasokan minyak goreng di lapangan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengumumkan bahwa pemerintah akan mensubsidi harga minyak kelapa sawit curah sebesar Rp14.000 per liter.
Terkait dengan harga minyak goreng kemasan, "ini tentu akan menyesuaikan terhadap nilai keekonomian sehingga kita berharap dengan nilai keekonomian tersebut minyak sawit akan tersedia di pasar modern maupun di pasar tradisional, ataupun di pasar basah," katanya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenen Jakarta usai rapat terbatas, Selasa (15/3).
Namun, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat M. Sinaga mengatakan kemungkinan hal itu baru bisa terealisasi pekan depan.
"Saya kira mungkin tanggal 21 regulasi ini akan diberlakukan. Saya yakin lapangan akan banjir (stok minyak goreng)," kata Sahat.
Sahat mengatakan, Menteri Airlangga sudah menyampaikan kebijakan baru itu kepada para pengusaha.
"Tadi telah disampaikan oleh Pak Menko kepada 320 peserta webinar, mencakup seluruh asosiasi DMSI, GIMNI, AIMI, GAPKI, APKASINDO," ujar dia.
Sahat, yang juga Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), memperkirakan harga minyak kemasan premium nantinya sekitar Rp24.800 dan harga minyak goreng sederhana sekitar Rp23.000.
Sementara harga minyak goreng curah tetap Rp14.000 karena pemerintah memberikan subsidi yang dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang bersumber dari perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi hanya pada minyak goreng curah dinilai Mohammad Faisal, Direktur CORE Indonesia, lebih ideal dibandingkan menerapkan subsidi untuk semua jenis minyak goreng sampai akhirnya menciptakan kelangkaan di pasar.
"Kalau menurut saya idealnya targeted, ke golongan minyak goreng yang curah, yang untuk kalangan bawah, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Yang kemasan, yang dijual di pasar-pasar modern, bisa dilepas ke harga pasaran.
"Konsekuensinya memang golongan menengah yang tidak dapat subsidi, tapi jadinya itu lebih tepat. Yang terjadi sekarang itu ketidaktepatan sasaran," kata Faisal.
Subsidi pada semua jenis minyak goreng, menurut Faisal, membuat warga-warga yang mampu berpotensi melakukan "penimbunan". Untuk menghindari hal serupa terjadi pada minyak goreng curah, Faisal meminta pemerintah melakukan pengawasan yang ketat.
"Kalau tidak diperketat kontrolnya, khawatir kejadian lagi. Yang curahnya yang langka, yang ada hanya kemasan. Jadi, artinya yang miskin tidak kebagian lagi," tambah Faisal.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah juga sepakat dengan pengawasan distribusi dan perdagangan minyak goreng curah, sebab 61% konsumsi minyak goreng rumah tangga di Indonesia adalah minyak goreng curah.
"Dipastikan pelaporan selisih harga keekonomian dan HET 14.000 transparan. Jangan menjadi ajang mencari untung. Pada saluran distribusi, dipastikan jangan sampai ada yang bocor di jalan," kata Rusli.
Sahat juga meminta pemerintah melakukan pengawasan perdagangan minyak curah di lapangan agar "tidak dikumpulkan untuk jadi black market" dan meminta sanksi tegas terhadap pedagang yang tidak menerapkan harga Rp14.000.
Dalam konferensi pers, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan siap untuk mengawal distribusi dan ketersediaan minyak goreng di pasar.
"Kami akan bekerja sama dengan seluruh stakeholder yang ada untuk memastikan bahwa minyak curah, minyak kemasan, semuanya ada di pasar," kata Listyo.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tujuh hari setelah pemerintah memberikan subsidi minyak goreng untuk mengendalikan harga yang tinggi pada 19 Januari lalu, masyarakat masih kesulitan memperoleh minyak goreng. Di beberapa minimarket di sejumlah daerah, stok minyak goreng habis lebih cepat.
Selasa 25 Januari 2022 lalu, stok minyak goreng di salah satu minimarket di Bekasi Barat, Kota Bekasi, masih kosong. Satu hari sebelumnya, stok minyak sempat ada, tapi langsung ludes seketika tidak lama setelah penyuplai memasok barangnya.
"Palingan hari Kamis itu juga enggak tau datang atau enggak," kata salah satu penjaga toko ketika ditanya kapan stok minyak goreng datang lagi.
Cerita kehabisan minyak juga terjadi di Tangerang. Seorang warga, Rizaldy terpaksa pulang dengan tangan kosong setelah mengunjungi dua minimarket yang juga kehabisan stok minyak goreng.
"Tadi kata pekerja di minimarket, sore mereka sempat buka delapan karton, habis dalam tiga menit," ujar Rizaldy.
"Orang-orang heboh. Maksimal kan satu orang beli dua liter. Banyak yang ngajak anaknya. Orang tuanya beli dua liter, anaknya juga dikasih duit, beli dua liter," kata Tristy.
Kebijakan satu harga belum merata
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menilai stok minyak goreng yang cepat habis di ritel-ritel menandakan masyarakat merespons baik subsidi yang diberikan pemerintah, "tapi pemahamannya mungkin kurang komprehensif".
"Walaupun disampaikan bahwa jaminan dari pemerintah ini selama enam bulan ini berjalan terus, mereka sepertinya mengestimasikan ini hanya kebijakan sementara sehingga mereka melakukan rush (buying)," kata Oke.
Dia juga menduga, beberapa pihak memanfaatkan subsidi pemerintah untuk memborong merek minyak goreng premium "dengan harga murah".
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat M Sinaga menduga ada pihak yang sengaja melakukan "manipulasi" karena stok dari produsen normal, sesuai dengan konsumsi per kapita yang mencapai 15 kilogram per kapita per tahun.
Menurut ekonom, kata Sahat, pengeluaran masyarakat untuk minyak goreng hanya dua persen dari pengeluaran harian dan fenomena pemborongan ini patut dipertanyakan.
"Untuk apa berebut membeli minyak goreng? Berarti kan ada tujuan," kata Sahat yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Dugaannya, pihak-pihak tertentu yang memborong minyak goreng murah ingin menjual kembali minyak tersebut sebagai minyak curah karena harga minyak curah di pasar masih mencapai Rp18.000.
Oleh sebab itu, pihaknya sudah meminta pengawasan terhadap praktik tersebut dan menyarankan pelakunya mendapatkan hukuman pidana.
"Ini mengacau perekonomian masyarakat. Kan tujuan pemerintah supaya harga itu bisa terjangkau," ujar Sahat.
Kebijakan minyak goreng satu harga—yaitu Rp14.000— yang dibiayai pemerintah, memang belum merata di semua penjual.
Oke mengatakan untuk tahap awal harga itu baru berlaku di ritel-ritel modern karena pasar tradisional membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyamaratakan harga.
Kementerian Perdagangan memberikan para pedagang waktu satu minggu sampai Rabu (26/1) untuk berkomunikasi dengan para penyuplai mereka mengenai kebijakan minyak goreng satu harga.
"Ini yang belum banyak dipahami oleh mereka. Apakah mereka nanti sudah bisa mendapat pasokan dengan harga yang memang dispesifikan dengan harga Rp14.000, sehingga mereka belinya nanti Rp13.000," kata Oke.
Tak hanya itu, para pedagang tradisional juga kebingungan menghabiskan stok minyak goreng yang dibeli dengan harga tinggi sebelum paket kebijakan pemerintah diterapkan. Oke menjelaskan mereka bisa melakukan retur barang dengan distributor dan penyuplai.
Namun, Oke mengatakan, hal itu sulit dilakukan beberapa pedagang karena "banyak sekali pedagang yang belum tertib pajak".
"Masalah itu yang sedang diselesaikan," kata dia.
Di sebuah warung kelontong di Tomang, Jakarta Barat, harga satu liter minyak goreng kemasan mencapai Rp21.000 pada Senin (24/1). Di Bekasi, ada warung kelontong yang masih menjual satu liter minyak goreng seharga Rp20.000.
Sementara di sebuah supermarket di sekitar Glodok, harganya masih mencapai Rp22.000.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) akan membantu pemerintah menyiapkan minyak goreng murah untuk operasi pasar dalam lima bulan ke depan di seluruh Indonesia, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
"PTPN menyiapkan seperempat kapasitas produksi untuk operasi pasar di berbagai daerah. Operasi pasar perdana kami menggelar di Jawa Barat, salah satunya di Cianjur. Setiap bulannya, akan disediakan ratusan ribu liter minyak goreng murah," kata Erick Thohir saat menggelar operasi pasar di Cianjur.
Mengapa harga minyak goreng mahal?
Kenaikan harga minyak goreng sejak tiga bulan lalu sebenarnya sudah di prediksi beberapa pihak karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah di pasar global terus meningkat dan selalu mencetak harga tertinggi sampai Januari ini. CPO merupakan bahan baku minyak goreng.
Beberapa media mengatakan kenaikan harga CPO— yang belum pernah terjadi sebelumnya— disebabkan oleh situasi pandemi yang mengacaukan jumlah permintaan dan pasokan.
Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) memprediksi harga sawit akan tetap tinggi karena biaya pupuk melonjak dan kekurangan tenaga kerja dalam waktu yang lama, dikutip dari Reuters. Perubahan iklim juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pasokan CPO.
Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan kebijakan minyak goreng satu harga selama enam bulan karena harga CPO diperkirakan masih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
Pengamat ekonomi menilai kebijakan subsidi yang didanai dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) itu sudah tepat untuk mengendalikan harga minyak goreng yang terlalu tinggi, meski sosialisasinya terlalu singkat sehingga menyebabkan panic buying. Tapi, itu sifatnya hanya solusi "jangka pendek".
Peneliti senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah harus menerapkan kebijakan "special treatment" terhadap pasar dalam negeri.
"Semestinya pemerintah ada kebijakan yang memang memprioritaskan suplai di dalam negeri dulu, baru kemudian ekspor. Kalau sekarang kan treatment-nya sama. Apalagi sekarang harga di internasional lebih tinggi, jadi otomatis para produsen CPO—yang merupakan bahan baku dari minyak goreng—dia akan terdorong untuk menyuplai ke luar negeri dibandingkan ke dalam negeri," kata Faisal.
Dia mengatakan pemerintah harus tegas agar hal ini "tidak terulang" di negara yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia.
Namun, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan tidak setuju dengan wacana memprioritaskan suplai dalam negeri sebelum ekspor, atau yang dikenal dengan Domestic Market Obligation (DMO). Dia mengatakan pasokan di dalam negeri tersedia dan aman.
"CPO di dalam negeri tersedia, harga di dalam negeri dan di luar negeri kan sama saja, berbeda di transportasi saja. Tidak berbeda kalau dari sisi harga. Harga minyak goreng meningkat karena harga CPO meningat," kata Fadhil.
Dia menilai kebijakan subsidi merupakan "mekanisme yang sudah cukup bagus", toh uang subsidi juga didapatkan dari para eksportir kelapa sawit dan harga CPO tak selamanya akan tinggi karena diperkirakan tahun ini akan "mengalami tren penurunan, meski masih tinggi".
Fadhil mengatakan masalah kenaikan harga CPO yang menyebabkan harga minyak goreng naik terlalu kompleks karena disebabkan oleh berbagai faktor dan Indonesia, meski menjadi produsen CPO terbesar di dunia, tidak bisa serta-merta menjadi penentu harga.
Namun, Sahat mengatakan Indonesia bisa saja menjadi penentu harga di industri sawit dunia asalkan bisa meningkatkan produktivitas di dalam negeri.
Beberapa strategi harus dilakukan, seperti pemakaian hasil produksi sawit yang dikonsumsi dalam negeri minimal 60%, mengintensifkan areal pertanian sawit yang ada, memberikan jaminan berusaha bagi petani, meredefinisi sawit yang benar—"jangan mengikuti pola Eropa yang hanya mementingkan lemaknya, padahal nutrisinya tinggi".
Hal lain adalah mengembangkan teknologi mandiri untuk mengolah sawit menjadi minyak yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
"Lahan-lahan petani yang jutaan hektar itu supaya segera ditingkatkan produktivitasnya, diberikan benih yang baik, dibantu dengan pendanaan, diberikan sertifikat tanah, jadi ada jaminan berusaha. Sampai sekarang dipersulit," kata Sahat.
Hal tersebut nantinya berkaitan dengan penambahan pasokan CPO, yang kata Faisal, juga bisa dilakukan untuk mencegah kenaikan harga minyak goreng di tanah air.
"Tidak mesti dengan ekspansi lahan, perkebunan yang sudah ada saja harus diintensifkan karena produktivitas lahan perkebunan CPO masih relatif rendah dibandingkan negara lain, seperti Malaysia," kata Faisal. (*)
Tags : Harga Minyak Goreng, Minyak Goreng Sudah Murah, Stok Minyak Goreng Habis dan Langka,