Artikel   19-05-2025 10:27 WIB

Harga Pangan Terus Melonjak, 'Sepertinya Era Makanan Murah Sudah Berakhir'

Harga Pangan Terus Melonjak, 'Sepertinya Era Makanan Murah Sudah Berakhir'
Pola makan berubah di seluruh dunia, salah satunya adalah konsumsi daging yang meningkat.

PENGGEMAR kafein kini beralih ke minuman bubuk "rasa kopi". Sementara banyak restoran di AS menambahkan biaya ekstra untuk hidangan telur.

Dalam beberapa tahun terakhir, harga makanan di berbagai belahan dunia—mulai dari minyak zaitun, jus jeruk, hingga kakao—mengalami pelonjakan.

Secara keseluruhan, harga pangan mencapai rekor tertinggi setelah invasi skala penuh Rusia ke Ukraina pada 2022.

Meskipun levelnya sudah sedikit menurun, tetapi harga ini masih lebih tinggi dibandingkan hampir sepanjang enam dekade terakhir.

Para ahli mengatakan ini adalah bagian dari tren yang didorong sejumlah faktor yang tampaknya akan terus berlanjut.

"Era makanan murah sudah berakhir. Dunia harus beradaptasi dengan kenyataan baru ini," tutur Rob Vos, peneliti senior di International Food Policy Research Institute (IFPRI).

Harga pangan dunia mencetak rekor tertinggi setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada 2022. Hal ini tercermin dari Indeks Harga Pangan badan pangan PBB, FAO.

Indeks ini melacak lima kelompok komoditas pangan utama: minyak nabati, serealia (bijian), daging, gula, dan produk susu. Selain itu, indeks ini juga menyajikan angka keseluruhan yang merangkum kelima kategori tersebut.

Data indeks menunjukkan, harga pangan dalam nilai riil—yang berarti angka-angka ini sudah memperhitungkan inflasi umum—mencapai puncak tertinggi pada Maret 2022.

Sebetulnya levelnya sempat menurun pada 2023, tetapi harga pangan kembali naik perlahan dalam setahun terakhir.

José Eustáquio Diniz, pakar demografi dan ekonomi yang juga mantan profesor di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Nasional Brasil, mengatakan rata-rata harga pangan riil dekade ini merupakan yang tertinggi dalam 100 tahun terakhir.

Menurut Diniz, tren ini adalah risiko yang "serius" bagi ketahanan pangan global.

Harga pangan mencapai rekor tertinggi terakhir kali pada 1974 dan 1975. Krisis minyak pada 1973 mendorong kenaikan biaya di berbagai industri, termasuk ongkos produksi dan transportasi makanan.

Situasi konflik di Ukraina mengguncang pasar pangan global.

Baik Rusia maupun Ukraina merupakan eksportir utama gandum dan minyak bunga matahari. Selain itu, Ukraina juga dikenal sebagai pengekspor jagung.

Harga-harga komoditas tersebut melonjak pada awal 2022 setelah Rusia memblokade pelabuhan-pelabuhan Ukraina.

Namun, kesepakatan yang dicapai antara kedua belah pihak—dan ditambahkannya rute pengiriman baru—memungkinkan Ukraina untuk kembali melakukan ekspor.

Monika Tothova, ekonom senior FAO, mengatakan bahwa dampak dari invasi Rusia pada akhirnya tidak separah yang dikhawatirkan sebagian pihak.

Akan tetapi, konflik Rusia-Ukraina juga menyoroti kekhawatiran lain bagi para petani: harga pupuk.

Gas alam adalah kunci dalam produksi pupuk. Pada 2022, harga pupuk yang sebelumnya sudah tinggi makin melonjak lagi karena konflik Ukraina mendorong kenaikan harga gas.

Hal ini kian melambungkan harga pangan.

Selain invasi Rusia, terdapat faktor-faktor jangka panjang yang turut berperan.

"Era harga pangan yang rendah merupakan buah dari peningkatan besar dalam produktivitas pertanian sejak 1970-an," ujar Vos dari International Food Policy Research Institute.

Periode ini menjadi saksi "Revolusi Hijau", yakni pergeseran luas ke varietas tanaman berproduksi tinggi dan teknik pertanian intensif.

Namun, Vos menyebut pertumbuhan produktivitas pertanian sekarang ini melambat.

Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya permintaan pangan, harganya secara rata-rata pun turut meningkat.

Permintaan pangan khususnya meningkat di banyak negara berkembang. Populasi di negara-negara ini makin bertambah dan pola makan juga berubah.

"Orang-orang mengonsumsi lebih banyak daging, produk susu, buah-buahan, dan sayuran," ujar Diniz.

"Namun, daya produksi di sektor-sektor ini belum seimbang dengan permintaan, sehingga harga makanan menjadi lebih mahal."

Perubahan iklim juga memberikan dampak terhadap harga pangan.

Kenaikan suhu diperkirakan dapat meningkatkan inflasi pangan hingga 3,2% per tahun pada 2035.

Hal ini merupakan kesimpulan studi bersama antara Bank Sentral Eropa dan Potsdam Institute for Climate Impact Research pada tahun lalu.

Perubahan iklim telah memperlambat pertumbuhan produktivitas pertanian dalam 60 tahun terakhir, menurut laporan Bank Dunia pada 2022.

Laporan tersebut memperingatkan adannya potensi "titik kritis" ketika dampak iklim menggagalkan semua kemajuan di masa depan dalam upaya meningkatkan produktivitas pangan.

Menurut Bank Dunia, situasi ini bisa menjadi "bencana". 

Tothova menekankan sebagian besar produksi pertanian bergantung pada cuaca.

"Ini adalah bisnis yang sangat tidak pasti," ujarnya.

Produksi untuk minyak zaitun, kopi, dan kakao, misalnya, sangatlah rentan dengan cuaca, menurut Tothova.

Dia menjelaskan komoditas-komoditas tersebut bergantung pada pohon-pohon tahunan dan produksinya terkonsentrasi di beberapa negara saja.

Sebagai contoh, harga minyak zaitun melonjak pada 2023 dan 2024.

Gelombang panas ekstrem yang melanda Eropa selatan pada tahun-tahun tersebut memicu kekeringan di Spanyol dan wilayah penghasil zaitun lainnya.

Para ilmuwan dari World Weather Attribution (WWA) di Imperial College London mengatakan bahwa suhu yang sangat tinggi tersebut "hampir mustahil" terjadi tanpa perubahan iklim akibat ulah manusia.

Panen kopi juga terkena dampak cuaca ekstrem.

Harga biji kopi Arabika juga melonjak ke rekor tertinggi di pasar komoditas internasional pada Februari. Hal ini disebabkan kekeringan di Brasil yang terjadi selama dua tahun.

Para peneliti WWA mengatakan perubahan iklim adalah pendorong utama kondisi sangat kering pada tahun 2023.

Di AS, wabah flu burung telah menyebabkan pemusnahan puluhan juta ayam.

Harga selusin telur naik lebih dari tiga kali lipat sejak 2021 dan mencapai rekor tertinggi US$6,23 (sekitar Rp102.611) pada Maret, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS.

Presiden AS Donald Trump menyalahkan kebijakan pendahulunya, Joe Biden, atas lonjakan harga tersebut.

Sementara itu, para aktivis dan beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat khawatir produsen telur mematok harga telur terlalu tinggi.

Flu burung juga telah mendorong kenaikan harga telur di tempat lain dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Afrika Selatan, Australia, dan Jepang, meskipun dampaknya bervariasi dari satu negara ke negara lain.

Harga jus jeruk juga mengalami lonjakan baru-baru ini. Pada September lalu, harganya mencapai rekor tertinggi di pasar komoditas.

Panen di Brasil dan AS telah terdampak oleh penyakit kuning jeruk (citrus greening) yang disebarkan hama penghisap getah yang membuat buah menjadi pahit dan perlahan membunuh pohon.

Kekeringan di Brasil dan badai di Florida juga memukul produksi.

Namun, harga jeruk sekarang telah menurun.

Situasi perdagangan global yang tidak menentu, khususnya akibat tarif impor yang baru-baru ini diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, juga dapat memengaruhi harga pangan.

Ketidakpastian adalah salah satu masalah bagi para petani.

"Jika perang dagang pecah dan tarif diberlakukan, mereka mungkin kehilangan pasar ekspor utama sehingga memaksa mereka untuk menyesuaikan produksi di tengah musim," ujar Tothova.

Efek domino juga bisa terjadi.

Contohnya, ketika China memberlakukan tarif balasan pada kedelai AS, para pengimpor China mencari pemasok lain seperti Brasil.

Namun, menurut laporan Bank Dunia baru-baru ini, mereka tidak dapat memenuhi permintaan sehingga harga kedelai impor naik.

Vos mengatakan belum jelas apakah tarif AS akan berdampak mendorong kenaikan harga pangan global.

Di sisi lain, tarif AS juga belum dapat dipastikan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dapat menurunkan harga.

Bahkan jika terjadi perlambatan pun, Vos memperingatkan inflasi harga pangan mungkin akan tetap tinggi di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah.

Hal ini dikarenakan penurunan permintaan ekspor negara-negara tersebut dapat melemahkan mata uang mereka, sehingga impor makanan pun menjadi lebih mahal.

"Tidak ada kepastian bagaimana tepatnya situasinya akan berkembang, tetapi secara keseluruhan, ada sedikit kabar baik di masa yang akan datang," ujar Vos.

Meskipun harga pangan di pasar global telah menurun sejak 2022, bukan berarti harga yang dibayar konsumen di berbagai belahan dunia juga ikut turun.

Dawit Mekonnen, ekonom senior di Prospects Group Bank Dunia, mengatakan bahwa di banyak negara, harga pangan masih jauh lebih tinggi dibandingkan empat tahun lalu.

Menurutnya, situasi ini secara signifikan "mengikis kemampuan masyarakat untuk membeli makanan".

Malnutrisi atau kekurangan gizi meningkat secara global.

Angkanya sempat mencapai titik terendah, 7,1% dari populasi dunia pada 2017, tetapi kini kembali naik menjadi 9,1%, menurut data FAO.

Lebih dari sepertiga populasi dunia tidak mampu membeli makanan sehat—termasuk hampir dua pertiga populasi Afrika, menurut penilaian terbaru FAO.

Beberapa ekonom memprediksi harga pangan mungkin akan sedikit menurun dalam 12 bulan ke depan, tetapi sebagian besar ahli memperkirakan akan ada lebih banyak gejolak di masa depan.

"Faktor-faktor yang mendorong kenaikan harga—kenaikan biaya produksi, gangguan rantai pasokan, perubahan iklim, dan kebijakan perdagangan—akan senantiasa ada," tegasnya. (*)

Tags : harga pangan, harga panganmelonjak, era makanan murah berakhir, pangan, pertanian,