JAKARTA - Hasil Survei Bloomberg menunjukkan adanya 15 negara berisiko mengalami resesi.
Indonesia masuk ke dalam daftar 15 negara di dunia yang terancam mengalami resesi, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) mewanti-wanti prospek ekonomi global kian 'gelap'.
Berdasarkan hasil survei Bloomberg, Indonesia masuk dalam daftar 15 negara yang berisiko mengalami resesi. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14.
Sri Lanka—yang mengalami ketidakstabilan ekonomi dan sosial baru-baru ini—menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan presentase 85%,
Menyusul kemudian New Zealand 33%, Korea Selatan dan Jepang dengan presentase 25%.
Sedangkan China, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan dengan presentase 20%.
Malaysia 13%, Vietnam dan Thailand 10%, Filipina 8%, Indonesia 3%, dan India 0%.
Menanggapi survei tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam daftar itu, Indonesia memiliki indikator ekonomi yang lebih baik.
"Indikator neraca pembayaran kita, APBN kita, ketahanan dari GDP (produk domestik bruto), dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga, serta monetary policy kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3%, dibandingkan negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas, yaitu di atas 70%," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Bali, Rabu (13/07).
Sementara, kepala IMF Kristalina Georgieva mengatakan pihaknya akan menurunkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global pada bulan ini.
Dalam perkiraan terakhir yang dikeluarkan pada April silam, IMF memperkirakan pertumbuhan global hanya akan mencapai 3,6% tahun ini.
Georgieva beralasan perang di Ukraina, inflasi tinggi di luar ekspektasi dan pandemi Covid yang masih terus terjadi, menjadi penyebab semakin gelapnya prospek ekonomi ke depan.
Beberapa hal ini membuat krisis biaya hidup semakin parah bagi jutaan orang, kata Georgieva.
Sementara yang paling terdampak, lanjut Georgieva, adalah keluarga miskin.
Ancaman resesi
Rencana IMF menurunkan prospek ekonomi global mengemuka ketika inflasi di Amerika Serikat—negara dengan ekonomi terbesar di dunia—mencapai 9,1%, tertinggi selama 40 tahun terakhir.
Peringatan Georgieva bahwa prospek ekonomi global "lebih gelap secara signifikan" dikemukakan ketika menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G-20 bertemu di Bali, Indonesia.
"Kami berharap yang terbaik, tetapi tentu saja bersiap untuk yang terburuk," kata Gubernur bank sentral Indonesia Perry Warjiyo.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, meski indikator ekonomi Indonesia lebih baik dibanding 14 negara lain yang terancam resesi, Indonesia masih tetap harus waspada terhadap potensi resesi yang masih dapat terjadi.
Pasalnya, saat ini negara-negara di dunia masih dibayangi resesi dan kenaikan inflasi.
"Kita tetap harus waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan.
Risiko global mengenai inflasi dan resesi, ujar Sri Mulyani, menjadi salah satu topik pembahasan dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20.
"Message-nya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita," kata Sri Mulyani.
Pertemuan itu membahas beragam isu yang meresahkan perekonomian global, antara lain kenaikan harga komoditas, ketahanan pangan, dan dampak perang di Ukraina mengingat Ukraina merupakan pengekspor pangan utama.
Georgieva berkata dalam unggahan di laman IMF bahwa inflasi telah "meluas melampaui harga makanan dan energi".
Ini membuat banyak bank sentral meningkatkan biaya pinjaman, sesuatu yang dia katakan akan "perlu dilanjutkan".
Adapun bank sentral Kanada menjadi bank sentral terbaru yang menaikkan suku bunga, dari 1,5% menjadi 2,5% demi mengatasi inflasi yang melonjak menjadi 7,7%.
Gubernur bank sentral Kanada, Tiff Macklem mengatakan angka kenaikan yang lebih tinggi dari perkiraan dan merupakan inflasi terbesar dalam 24 tahun, "mencerminkan kekhawatiran bahwa inflasi terlalu tinggi dan itu mempengaruhi semua warga Kanada".
Sementara bank sentral AS diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga, yang kemungkinan menjadi peningkatan suku bunga terbesar, dalam pertemuan bulan ini.
Sejauh ini, The Fed—sebutan bagi bank sentral AS—telah menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali tahun ini saja.
Suku bunga yang lebih tinggi, biasanya dilakukan untuk menekan inflasi, sebab itu berarti perusahaan dan orang-orang perlu menggunakan uang tunai untuk membayar pinjaman, ketimbang menghabiskan uang itu untuk makanan dan layanan.
IMF mengatakan sebanyak 75 bank telah menaikkan suku bunganya tahun lalu, dengan rata-rata kenaikan 3,8 kali.
Akan tetapi, jika pola itu tidak berlanjut, Georgieva mengantisipasi "lebih banyak kerugian bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja".
"Bertindak sekarang akan lebih sedikit merugikan daripada bertindak nanti," tambah kepala IMF Kristalina Georgieva.
Dia juga memperingatkan negara-negara yang telah menggelontorkan miliaran dolar untuk mendukung ekonomi mereka selama pandemi, perlu menguranginya untuk meredam permintaan barang dan jasa yang didorong oleh uang itu.
Bantuan uang tunai masih dibutuhkan
Bagaimanapun, bantuan uang tunai "untuk mendukung rumah tangga yang rentan", masih dibutuhkan, terutama mereka yang paling terdampak kenaikan harga energi atau pangan yang tinggi, katanya.
Georgieva mengatakan pengeluaran ini harus didanai oleh pemotongan di alokasi anggaran atau sumber pendapatan baru, selain utang.
Dalam jangka panjang, tambah Georgieva, kebijakan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja global, terutama yang mendorong lebih banyak perempuan untuk bekerja, juga akan membantu.
Menjelang pertemuan G20 yang berlangsung akhir pekan ini, Georgieva mengatakan bahwa kerja sama global yang lebih baik diperlukan karena "risiko ketidakstabilan sosial meningkat".
Risiko terjadi karena kekhawatiran atas pasokan makanan dan energi yang terus meningkat.
Kekhawatiran semacam itu telah berkontribusi pada meluasnya aksi demonstrasi di Sri Lanka, yang menderita krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan lebih dari 70 tahun yang lalu.
Kepala IMF mengatakan tindakan segera yang dapat diambil termasuk mengakhiri pembatasan ekspor makanan yang telah diberlakukan banyak negara sejak perang di Ukraina dimulai.
Dia juga menyerukan negara-negara terkaya di dunia untuk menggunakan pertemuan itu sebagai kesempatan untuk membantu "memberikan dukungan yang mendesak" kepada mereka yang paling membutuhkan. (*)
Tags : Ekonomi, Amerika Serikat, IMF, Inflasi, Sri Lanka, Indonesia,