INTERNASIONAL - Kepolisian Hong Kong menjerat 47 aktivis pro-demokrasi dengan pasal subversi. Mereka adalah sebagian dari total 55 orang yang ditangkap aparat keamanan, Januari lalu.
Ini untuk pertama kalinya Undang-Undang Keamanan Nasional digunakan secara masif di Hong Kong sejak disahkan pemerintahan China pada Juni tahun lalu. China menerbitkan beleid ini untuk menjerat orang-orang yang dipandang melakukan subversi, atau gerakan untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan cara di luar undang-undang. Mereka mengklaim regulasi itu dibutuhkan untuk menjaga stabilitas negara.
Sebanyak 47 pegiat demokrasi yang dijerat pasal subversi ini diwajibkan melapor diri ke kepolisian Hong Kong. Mereka akan ditahan jelang persidangan yang mulai bergulir Senin (01/03). UU Keamanan Nasional disahkan usai serangkaian unjuk rasa pro-demokrasi tahun 2019. Sebagian demonstrasi di Hong Kong itu berakhir dengan bentrokan antara pendemo dan polisi.
Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, mengecam keputusan kepolisian menggunakan pasal subversi terhadap para aktivis Hong Kong. Dia menilai langkah itu 'sangat mencemaskan'. Orang-orang yang diperintahkan untuk melapor ke kepolisian awal pekan ini adalah para aktivis pro-demokrasi yang pada tahun 2020 turut membantu pemilihan tidak resmi para calon anggota legislatif dari kubu oposisi.
Namun calon anggota parlemen oposisi itu akhirnya gagal bertarung karena pemilihan legislatif yang dijadwalkan berlangsung Agustus lalu ditunda. Pejabat China dan Hong Kong menuding pemilihan calon anggota legislatif dari kubu oposisi itu bertujuan menggulingkan pemerintah. Dalam pernyataan tertulis, Minggu kemarin, Kepolisian Hong Kong menyebut, "Polisi sore ini menjerat 47 orang dengan tuduhan persekongkolan untuk melakukan subversi."
Dari total 47 orang yang dijerat, 39 di antaranya adalah laki-laki dan delapan lainnya perempuan. Mereka berusia antara 23-64 tahun. Hari Senin ini mereka dijadwalkan menghadiri sidang perdana di Pengadilan West Kowloon. Beberapa orang yang dijerat pasal subversi ini adalah pegiat demokrasi paling terkenal di Hong Kong. Beberapa di antara mereka antara lain Benny Tai dan Leung Kwok-hung. Keduanya merupakan pegiat demokrasi senior.
Di antara mereka ada juga pengunjuk rasa berusia muda seperti Gwyneth Ho, Sam Cheung dan Lester Shum. Nama lainnya adalah Jimmy Sham (33 tahun). Dia merupakan salah satu penggerak unjuk rasa tahun 2019. Sham tetap menyerukan protes walau menyerahkan diri ke kantor polisi. "Demokrasi bukanlah anugerah dari surga. Demokrasi harus diperoleh banyak orang dengan kemauan yang kuat," ujar Sham dirilis BBC. "Kami akan tetap kuat dan berjuang untuk apa yang kami inginkan," kata dia.
Sebelum menyerahkan diri ke kepolisian, Gwyneth Ho mengunggah sebuah pernyataan di media sosial. "Saya harap semua orang dapat menemukan jalan mereka menuju ketenangan pikiran dan kemudian tetap maju dengan kemauan yang tak tergoyahkan," ujarnya.
Sementara Sam Cheung berkata, "Saya harap semua orang tidak menyerah pada situasi Hong Kong. Teruslah berjuang". Hukuman terberat yang diancamkan pada pasal subversi adalah pemenjaraan seumur hidup. Penahanan orang yang dijerat pasal ini tidak dapat ditangguhkan dengan jaminan. Salah satu aktivis, Benny Tai, mengatakan peluangnya bebas dari jeratan ini tidak terlalu besar.
Sekitar 100 orang sejauh ini telah ditangkap berdasarkan ketentuan dalam UU Keamanan Nasional, termasuk kritikus terkemuka China sekaligus taipan media, Jimmy Lai.Penahanan Lai tidak dapat ditangguhkan. Dia kini berada di tahanan untuk menunggu persidangan. Belum ada proses persidangan yang tuntas terhadap para aktivis ini. Persidangan yang diprediksi pertama kali selesai digelar untuk aktivis bernama Tong Ying-kit. Dia didakwa menabrakkan sepeda motor ke polisi, Juli 2020.
Ying-kit muncul pertama kali di pengadilan, November 2020. Saat itu dia mengaku tidak bersalah. Vonis terhadap Ying-kit diperkirakan akan diambil oleh tiga hakim, bukan juri seperti persidangan lain dalam sistem hukum Hong Kong. Amnesty International sebelumnya menyebut penahanan 55 aktivis Januari lalu adalah pertunjukan paling mencolok tentang bagaimana UU Keamanan Nasional dipersenjatai untuk menghukum siapa pun yang berani menentang kebijakan negara.
Hong Kong merupakan bekas koloni Inggris. Pada tahun 1997, Inggris mengembalikan Hong Kong ke China. Wilayah ini selanjutnya dijalankan di bawah prinsip "satu negara, dua sistem". Prinsip itu seharusnya menjamin sejumlah kebebasan untuk warga Hong Kong, antara lain kebebasan berkumpul dan berbicara, peradilan independen serta beberapa hak demokratis yang tidak dimiliki warga China daratan.
Namun UU Keamanan Nasional mengurangi otonomi Hong Kong dan mempermudah otoritas hukum China menjerat para pengunjuk rasa. Beleid ini memuat sejumlah kejahatan baru dan hukuman penjara seumur hidup. Siapapun dapat dinyatakan melakukan kejahatan jika berkonspirasi dengan orang asing untuk memprovokasi "kebencian" terhadap pemerintah China atau otoritas Hong Kong.
Pengadilan terhadap orang-orang yang dijerat UU Keamanan Nasional dapat digelar secara rahasia dan tanpa keterlibatan juri. Kasus-kasusnya pun dapat diambil alih oleh penegak hukum di China daratan. Aparat keamanan China daratan juga dapat beroperasi secara legal di Hong Kong tanpa mendapat hukuman. Setelah undang-undang itu diberlakukan, sejumlah kelompok pro-demokrasi di Hong Kong membubarkan diri karena mencemaskan keselamatan mereka.
Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, Minggu kemarin berkata bahwa dakwaan terbaru terhadap para aktivis menunjukkan bagaimana undang-undang itu digunakan untuk "menghilangkan perbedaan pendapat politik". "UU Keamanan Nasional melanggar Deklarasi Bersama, penggunaannya seperti ini bertentangan dengan janji yang dibuat pemerintah China, dan hanya dapat semakin merusak kepercayaan bahwa UU ini akan terus digunakan terhadap masalah sensitif seperti itu," kata Raab. (*)
Tags : Hong Kong, Aktivis dijerat Pasal Subversi,