
JAKARTA - Hukuman kepada pengusaha Harvey Moeis makin diperberat menjadi 20 tahun penjara.
Demikian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dalam putusan bandingnya, Kamis (13/02), dalam perkara korupsi tata kelola niaga timah.
Harvey juga harus membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp420 miliar.
Hukuman ini jauh lebih berat dibanding putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang sebelumnya menghukumnya 6,5 tahun penjara, akhir Desember 2024 lalu.
"Perbuatan terdakwa sangatlah menyakiti hati rakyat, di saat ekonomi susah terdakwa melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Teguh Hariyanto di Pengadilan Tinggi Jakarta, Kamis (13/02).
Selain dihukum 20 tahun penjara, Harvey harus membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp420 miliar.
Apabila tak mampu membayarnya selama rentang satu bulan, harta miliknya akan disita.
Dalam amar putusannya, Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama.
Di ruangan sidang, hakim juga menyebut tidak ada hal yang dapat meringankan terdakwa.
Sebelumnya, Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah secara bersama-sama. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Siapa Harvey Moeis dan apa perannya dalam perkara korupsi timah?
Sebelumnya, Harvey Moeis divonis hukuman penjara selama enam tahun dan enam bulan terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada 2015–2022.
Dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/12), Eko Aryanto selaku hakim ketua mengatakan Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama.
Harvey, yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), disebut terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP.
Selain hukuman penjara, Harvey dikenakan hukuman denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Harvey berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider dua tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga memerintahkan seluruh aset terdakwa Harvey Moeis yang disita agar dirampas untuk negara.
"Barang bukti aset milik terdakwa tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai uang pengganti kerugian negara yang akan dibebankan terhadap terdakwa," ucap hakim anggota Jaini Basir dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (23/12), sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Beberapa aset Harvey dan sang istri, Sandra Dewi, yang telah disita penuntut umum, antara lain tanah dan bangunan di beberapa wilayah di Jakarta; beberapa mobil mewah seperti Ferrari, Rolls-Royce, Vellfire, Porsche, dan Mini Cooper; 88 tas bermerek; 141 perhiasan; hingga logam mulia.
Sebelumnya, Harvey Moeis, meminta majelis hakim melepaskan aset milik istrinya, Sandra Dewi, yang disita oleh Kejaksaan. Sebab, Harvey menjelaskan aset itu hasil kerja keras Sandra Dewi selama berkarier sebagai artis tanpa campur tangan dari Harvey.
"Terkait dengan mohon mempertimbangkan Yang Mulia, dengan sangat untuk aset-aset ibu Sandra Dewi, istri dari saudara Harvey Moeis yang telah berkarier selama 25 tahun dan memiliki 25 juta followers di Instagramnya, dia tidak memerlukan sensasi, tetapi dia sangat dirugikan di dalam perkara ini," kata kuasa hukum Harvey.
Siapa saja yang divonis?
Selain Harvey, dalam sidang terbaru, pengusaha Helena Lim divonis 5 tahun penjara.
Perempuan yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) terbukti membantu terpidana Harvey Moeis melakukan korupsi lewat perusahaan money changer-nya, PT Quantum Skyline Exchange (QSE), kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rianto Adam Pontoh.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Helena dengan pidana penjara selama lima tahun, dikurangkan lamanya terdakwa ditahan, dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di rutan," kata Hakim Pontoh, Senin (30/12).
Hakim Pontoh menyebut Helena terbukti berperan membantu Harvey Moeis mengumpulkan uang hasil korupsi dengan PT Timah Tbk yang disamarkan sebagai dana corporate social responsibility (CSR).
Helena dihukum membayar denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Hakim juga menyatakan Helena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ia dihukum dengan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 900 juta yang harus dibayarkan selambatnya satu bulan setelah terbit putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Jika belum dibayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutup uang pengganti.
"Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama satu tahun," kata Hakim Pontoh.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa agar Helena dihukum delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
Jaksa juga menuntut Helena dihukum membayar uang pengganti Rp210 miliar subsidair 4 tahun kurungan.
Dalam persidangan sebelumnya vonis penjara juga dijatuhkan kepada Suparta selaku Direktur Utama PT RBT serta Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Suparta divonis secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang sama dengan Harvey.
Oleh karena itu, Suparta dijatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun, denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider enam tahun penjara.
Adapun Reza dijatuhkan hukuman penjara selama lima tahun dan denda sebanyak Rp750 juta subsider pidana kurungan selama tiga bulan.
Putusan vonis kepada para terdakwa ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya.
Harvey dituntut agar dijatuhkan hukuman penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Harvey juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama enam tahun.
Sementara itu, Suparta dituntut pidana penjara selama 14 tahun, pidana denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan satu tahun, dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider pidana penjara selama 8 tahun.
Sedangkan Reza dituntut agar dikenakan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebanyak Rp750 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan.
Dalam kasus korupsi timah, ketiga terdakwa diduga melakukan korupsi bersama-sama sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.
Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sedangkan Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun. Kedua orang tersebut juga didakwa melakukan TPPU dari dana yang diterima.
Sementara Reza diduga tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun, dirinya didakwa terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu.
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di lahan milik PT Timah, yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara hingga Rp271 triliun, belum menyentuh "pemain utama".
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengeklaim dirinya memiliki cukup bukti untuk membuka keterlibatan seorang pengusaha berinisial RBS sebagai terduga official benefit atau penikmat utama keuntungan dari tambang ilegal tersebut.
Namun, pada Oktober 2024, gugatan Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI) kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung untuk meminta menetapkan RBS sebagai tersangka kasus timah tidak diterima hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, LSM lingkungan Walhi Bangka Belitung menilai kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah itu lebih besar dari Rp271 triliun karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem di pesisir dan laut.
Siapa RBS dan bagaimana rekam jejaknya?
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut RBS adalah aktor utama dan penikmat uang hasil korupsi yang merugikan perekonomian negara hingga Rp271 triliun.
Sebab klaimnya, RBS merupakan orang yang mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah.
"RBS adalah terduga official benefit (penikmat utama keuntungan dan pemilik sesungguhnya) dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal," ujar Boyamin.
"Sehingga semestinya RBS dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang guna merampas seluruh hartanya."
Boyamin mengaku memiliki dokumen yang bisa membuktikan bahwa RBS merupakan pemilik saham terbesar di PT Refined Bangka Tin, bukan Harvey Moeis seperti yang selama ini digembar-gemborkan.
Kendati, katanya, RBS dan Harvey sesungguhnya sudah menjadi rekan bisnis di perusahaan tambang lainnya di Kalimantan.
"RBS itu bosnya dari bos. Saham dia paling besar. Saya paham RBS orang kayak apa dan sepak terjangnya," sebut Boyamin.
Dalam perkara di Bangka Belitung, Boyamin menyebut Harvey Moeis hanya "kaki tangan" RBS.
Itu mengapa Boyamin mengajukan gugatan praperadilan agar Kejaksaan Agung segera menetapkan RBS sebagai tersangka.
Akan tetapi, pada 30 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan, gugatan praperadilan yang diajukan MAKI melawan Kejaksaan Agung tidak dapat diterima.
Apa peran Harvey Moeis?
Kejaksaan menyebut Harvey Moeis merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin sekitar tahun 2018-2019.
Harvey disebut menghubungi Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias Riza yang sudah menjadi tersangka, dengan maksud mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Dalam beberapa kali komunikasi, keduanya sepakat untuk bekerja sama dalam kegiatan penambangan ilegal yang "disamarkan" lewat sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.
Setelah itu Harvey menghubungi beberapa perusahaan pengolahan timah atau smelter agar ikut serta dalam pemrosesan timah.
"HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP (Venus Inti Perkasa), PT SPS, dan PT TIN (Tinindo Inter Nusa)," jelas Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.
Harvey kemudian diduga meminta sejumlah perusahaan pengelolaan timah untuk menyetorkan sebagian keuntungan dari kegiatan penambangan timah ilegal dengan dalih sebagai pembayaran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Uang itu dikirim lewat PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang dimiliki Helena Lim.
Menurut Kuntadi, Harvey tidak tercantum sebagai pengurus di PT Refined Bangka Tin.
Dia juga tidak merinci mengenai pengurus ataupun pemilik perusahaan tersebut.
Atas perbuatan tersebut, penyidik menjerat Harvey dengan sangkaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Harvey langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Berapa kerugian perekonomian negara dari tambang ilegal?
Kejaksaan Agung menyebut kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah mencapai Rp271 triliun.
Kerugian perekonomian itu terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan di kawasan hutan dan non-hutan.
Termasuk juga kerugian ekonomi lingkungan dan biaya pemulihan lingkungan.
"Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar," ujar Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi.
Gara-gara lubang tambang, 15 orang meninggal
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah.
Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas.
Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.
"Kami mendorong negara juga mengakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut, karena lanskap Bangka Belitung tidak bisa dipisahkan dari daratan dan lautan."
"Ruang hidup masyarakat Babel di wilayah laut dan darat," ujar Ahmad Subhan Hafiz, Senin (01/04).
"Dan Walhi melihat angka Rp271 triliun itu bisa lebih besar karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta meninggalnya belasan orang."
Merujuk pada data Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare.
Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan.
Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan.
Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga.
"Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023," jelasnya.
"Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare."
Gara-gara lubang tambang itu, tercatat ada 21 kasus tenggelam.
Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang itu juga memicu sumber penyakit baru - entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi.
Dan, yang tak kalah mengerikan katanya, menimbulkan bencana kekeringan.
"Pada tahun 2023 kemarin kami mengalami bencana kekeringan. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya."
Akibat tambang, ribuan hektare terumbu karang mati
Ahmad Subhan berkata, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan. Namun merambah ke wilayah pesisir dan laut lantaran "di darat sudah tidak mendukung lagi alias habis".
Padahal di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, harapan masyarakat bertumpu pada lautan di Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6,5 juta hektare.
Akan tetapi, kata dia, kapal-kapal ponton isap produksi atau TI Rajuk yang dipakai untuk penambangan timah ilegal memenuhi pesisir Babel.
"Masalahnya adalah IUP di wilayah laut Babel sangat luas dan ini jadi problem baru karena tata ruang di sini lebih banyak mengakomodir tambang di laut," ungkapnya.
Walhi Bangka Belitung menduga kuat timah yang ditambang dari wilayah pesisir dan laut ditampung oleh perusahaan pengolahan atau smelter ilegal yang kini ditangani Kejaksaan Agung.
Karena mustahil hasil tambang timah ilegal itu diserahkan pada perusahaan smelter berizin.
Atas dasar itulah, dia meminta Kejaksaan Agung turut melacak aliran timah ilegal dari hulu hingga ke hilirnya.
"Harus dilacak kemana aliran timah tadi, apakah PT Timah terlibat menampung timah ilegal dari pesisir?"
Dalam aktivitasnya, kapal-kapal ponton isap produksi ini juga memicu konflik dengan nelayan. Pasalnya hasil tangkapan para nelayan makin menurun akibat pencemaran limbah tambang.
Sebab tak cuma mencemari, penambangan timah yang dilakukan dengan cara menyedot pasir laut membuat terumbu karang hancur dan mati.
"Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut."
Catatan Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare.
Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.
Imbas lain dari tambang timah di pesisir dan laut, juga menambah konflik buaya dengan manusia.
Sepanjang tahun 2021 sampai 2023, klaim Walhi, ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.
Walhi: Pemerintah harus moratorium tambang di Babel
Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang Babel berpotensi mengalami krisis ekologi.
Sebab data tampung dan daya dukung lingkungan di Babel sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, tambang pasir kuarsa, dan perkebunan kelapa sawit.
Dengan begitu, Walhi Babel mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut.
Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
Pengamatannya sejauh ini banyak wilayah adat yang hilang -baik laut dan darat- akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan mengeyampingkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.
"Yang terpenting juga, izin-izin yang sudah ada direview kembali, dievaluasi karena merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat serta memicu konflik". (*)
Tags : Bisnis, Ekonomi, Kejahatan, Hukum, Indonesia, Tambang, Korupsi, Lingkungan, Alam,