AGAMA - Tradisi 'salam tempel' saat Lebaran menjadi salah satu hal yang dinanti terutama bagi anak-anak di berbagai wilayah Indonesia. Mereka bertandang ke rumah-rumah warga dengan harapan mendapatkan uang.
Namun, pandemi mengubah tradisi ini ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan untuk menekan kasus Covid-19. Sejumlah orang berupaya menyiasatinya dengan berbagi uang secara digital. Tapi apakah cara ini benar-benar berhasil mengubah tradisi? Sati sedang menghitung jumlah keponakan dan orang-orang terdekat untuk pembagian uang saat Lebaran. Kebiasaan ini dilakukan bersama keluarganya dari tahun ke tahun. Ada kegembiraan tersendiri saat membagikan uang untuk keponakan dan anak-anak tetangga yang datang bersilaturahmi.
"Kebiasaan kalau Lebaran tradisinya ngasih angpao Lebaran. Biasanya ada anak-anak kecil pada datang. Kalau anak-anak kan senang dapat duit. Setahun sekali, momen Lebaran, identik sama angpao," kata Sati dirilis BBC News Indonesia.
Uang elektronik jadi pilihan
Namun tidak semua orang membagi-bagi uang secara langsung saat Idul Fitri seperti yang dilakukan sebelum pandemi. Nurul Oina, misalnya. Dalam dua tahun terakhir kebiasaan warga Semarang, Jawa Tengah, itu berubah. Ibu dua anak tersebut memilih membagi uang kepada sanak saudara melalui rekening bank dan uang elektronik. Pilihan itu dianggap lebih praktis.
"Saya transfer ke keponakan-keponakan lewat ibunya. Tanggapan mereka kemudian disampaikan melalui orang tuanya. Kadang anak juga kirim pesan melalui WA: 'Terima kasih tante, saya dikasih uang'," papar Nurul.
"Beberapa keponakan sudah besar dan punya uang elektronik, saya kirim uang ke aplikasi. Mereka memanfaatkan itu untuk belanja sendiri," tambahnya.
Tatap muka tak tergantikan
Bagaimanapun, menurut sejumlah warga, uang elektronik dan fasilitas perbankan elektronik tidak bisa menggantikan tatap muka. Oma Kalila memilih membagi-bagi uang kepada anak-anak di sekitar rumah saat Idul Fitri, setelah tahun lalu dia menutup pintu karena pandemi. Pembagian uang tersebut dilakukannya dengan menerapkan jaga jarak dan memakai masker.
"Tahun ini ke rumah ibu pakai masker dan tidak salaman sama ibu. Cukup terima uangnya saja, yang penting dapat angpau. Kalau anak SD kelas 6 itu Rp20.000, kelas 4 Rp10.000, anak kecil-kecil Rp5.000," jelasnya.
Pengaruh budaya Arab dan Tionghoa
Pemberian uang kepada anak-anak dan kerabat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri tidak lepas dari pengaruh budaya Arab dan Tionghoa. Pengaruh tersebut, menurut Didi Purnomo selaku dosen Ilmu Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, menghasilkan akulturasi di berbagai wilayah Indonesia. "Makanya di Betawi mengenal istilah 'nanggok', di Surabaya ada tradisi 'galak gampil', di Minang ada 'manambang'," ujar Didi.
Didi memahami bahwa 'salam tempel' saat Idul Fitri memang bisa dilakukan secara digital di tengah pandemi. Namun, Didi menilai transformasi digital itu dapat mengikis ikatan emosional. "Dalam satu pola baru, tentu ada hal yang dikorbankan. Memang dari sisi modernitas ada yang baru, digital dan sebagainya. Tapi di sisi sosial akan berbeda. Tidak bisa bertemu secara langsung, tidak bisa berjabat tangan secara langsung, itu rasanya di hati agak berbeda. Nah itu yang saya pikir akan terkikis," paparnya. (*)
Tags : Idul Fitri, Tradisi Pembagian Uang ke Anak-anak, Tidak Bisa Menggantikan Tatap Muka,