Headline Sorotan   2021/05/15 22:5 WIB

Kebijakan PPKM Disebut Tak Efektif Menahan Laju Penularan, Rumah Sakit 'Nyaris Kolaps'

Kebijakan PPKM Disebut Tak Efektif Menahan Laju Penularan, Rumah Sakit 'Nyaris Kolaps'
Warga negara asing melintas di dekat mural bergambar perempuan menggunakan masker di Badung, Bali, Minggu (24/1/2021). Jumlah kasus positif COVID-19 di Bali meningkat saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

"Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat [PPKM] disebut tak efektif menahan laju penularan Covid-19, sejumlah Rumah Sakit [RS] pun Nyaris hampir kolaps"

emerintah didesak berani mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara nasional untuk menahan laju penularan Covid-19 sekaligus merelaksasi tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit yang kondisinya kini 'nyaris kolaps'.

Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyebut, jika sepekan ke depan angka kasus positif tak kunjung turun maka bisa dipastikan seluruh rumah sakit di Pulau Jawa dan Bali kolaps. Itu artinya tak bisa menerima pasien baru dan melayani dengan optimal.

Tapi pemerintah berkukuh memperpanjang PPKM karena harus menyeimbangkan antara kesehatan masyarakat dan perekonomian. Hingga Minggu (24/01) total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 989.262 kasus. Lonjakan mulai terasa sejak Januari lalu, di mana penambahan kasus positif harian rata-rata di atas 10.000.

Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Lia Gardenia Partakusuma, mengatakan saat ini rumah sakit di Pulau Jawa dan Bali dalam kondisi nyaris kolaps. Itu ditandai dengan 'cukup banyaknya' kasus pasien Covid-19 dengan kondisi sakit sedang dan berat meninggal di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) lantaran tidak bisa dirawat dengan pelayanan yang optimal di kamar ICU.

Kondisi seperti ini, kata Lia, sudah berlangsung satu bulan belakangan. "Di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah itu sulit sekali, kita temui sejumlah rumah sakit sudah 100% hunian untuk ICU dan ruang isolasi. Kalau enggak ditambah belakangan ini, maka sudah penuh," imbuh Lia dirilis BBC News Indonesia, Minggu (24/01).

"Jadi cukup banyak pasien ditempatkan di IGD dengan fasilitas seadanya akhirnya sampai meninggal di IGD. Itu yang kasihan. Kita hanya bisa menampung sementara fasilitas yang dibutuhkan tak ada," sambungnya.

"Itu membuat stres rumah sakit, kami tak bisa memberikan pelayanan terbaik."

Yang ia khawatirkan, jika angka kasus positif Covid-19 tidak kunjung turun dalam sepekan mendatang maka rumah sakit di Indonesia dipastikan kolaps. Itu artinya, rumah sakit tidak dapat menerima pasien baru dan memberikan pelayanan dengan semestinya. Pasalnya okupansi atau tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit di kota-kota besar sudah melampaui standar yakni antara 70%-80%.

Sementara di daerah-daerah mencapai 90%-100%.

"Seperti di Tangerang Selatan itu sudah 100% okupansinya. Beberapa rumah sakit di Jawa Barat juga penuh, di Jawa Tengah juga penuh. Jadi kami terpaksa mengkonversi, yang tadinya buat pasien biasa jadinya untuk isolasi. Banyak rumah sakit yang melakukan itu."

"Ini kan tidak sehat ya, kasihan pasien bukan Covid jadinya mereka dinomorduakan."

Untuk mengakali kenaikan jumlah tempat tidur sejumlah rumah sakit, kata Lia, mendirikan tenda, memakai gedung Sekolah Calon Perwira TNI (Secapa), hingga menggunakan gerbong kereta api sebagai tempat tidur pasien Covid-19.

'Pemerintah harus berani menerapkan PSBB nasional'

Pakar kesehatan masyarakat, Hermawan Saputra, mengatakan pemerintah harus berani mengambil kebijakan luar biasa untuk mengatasi persoalan di rumah sakit yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) nasional.

Sebab berdasarkan pengamatannya, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tahap pertama yang berlaku pada 11 hingga 25 Januari 2021 terbukti tidak efektif menekan penularan virus corona dan juga merelaksasi tingkat keterisian di rumah sakit.

PPKM masih memberi kelonggaran bagi masyarakat untuk berkumpul di ruang-ruang umum sehingga penularan masih terjadi. "PPKM ini kebijakan parsial karena hanya menekankan pada lokus tertentu yang menjadi prioritas. Tapi dalam suasana masif transmition seperti ini, tidak bisa lagi lakukan parsial atau PPKM untuk memutus mata rantai," imbuh Hermawan kepada BBC News Indonesia.

"Andai PSBB dilakukan secara kompak akan potensial menahan dan memutus laju penularan Covid-19. Meski ada risiko ekonomi tapi sekarang Indonesia sudah 11 bulan menangani virus corona dan kerugian ekonomi sudah tidak terukur."

Hal senada diutarakan Sekjen Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Lia Gardenia Partakusuma. Menurutnya jika pemerintah memutuskan melanjutkan kebijakan tersebut harusnya makin memperketat aktivitas masyarakat, bukan sebaliknya.

Melarang orang-orang makan di restoran atau kafe.

"Kalau bisa kebijakan masker dipastikan dipatuhi, jadi di restoran enggak boleh makan di tempat. Semua kesempatan yang buka masker enggak boleh. Jadi jangan mencari celah kemungkinan orang bisa terpapar."

Hermawan Saputra yang juga Dewan Pakar di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) memprediksi jika kasus harian positif virus corona terus melonjak di atas angka 10.000 maka pemerintah harus menyediakan setidaknya 1.500 tempat tidur baru setiap hari.

Jumlah itu setara dengan mendirikan lima Rumah Sakit Kelas C. "Jadi bayangkan bagaimana menciptakan lima Rumah Sakit Kelas C perhari itu? Bukan pekerjaan yang mudah dan cepat sementara kenaikan penularan mencapai puluhan ribu kasus."

"Kalau ada kasus baru dan tidak bisa tertangani, risikonya meningkatnya angka kematian."

Namun demikian ia menilai kondisi 'gawat' tersebut belum menunjukkan Indonesia memasuki puncak Covid-19. "Kita belum melewati puncak kasus, masih di lembah menanjak dan kalau bicara gelombang, ini gelombang pertama. Garis pantai masih jauh dan mudah-mudahan tidak terhempas dan karam."

'Pemerintah harus seimbangkan antara kesehatan dan perekonomian'

Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Raden Pardede, mengaku pemerintah sudah berada di jalan yang benar dengan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat hingga 8 Februari 2021 agar terjadi penurunan angka kasus positif.

Ia mengeklaim, hasil kebijakan PPKM, baru terlihat pekan mendatang. Sebab apa yang terjadi saat ini masih imbas dari liburan Natal dan Tahun Baru. "Target kita akan membuat grafik mendatar atau penurunan tingkat infeksi supaya bisa mengatasi tingkat kematian, kesembuhan bisa dinaikkan dan juga fasilitas kesehatan mampu menangani kalau infeksi naik," ujar Raden Pardede kepada BBC News Indonesia.

Namun demikian, pemerintah tak bisa bertindak jauh dari saat ini apalagi menerapkan PSBB nasional karena mempertimbangkan perekonomian masyarakat. "Kalau ditutup semuanya, kita harus menanggung semuanya. Artinya teman-teman kalangan bawah akan berat sekali, pedagang kaki lima akan dikemanakan itu semua? Kita coba seimbangkan antara kesehatan dan ekonomi."

"Sekarang ini kita sedang injak rem, tapi enggak bisa matikan mesinnya. Kalau mati mesinnya jadi repot semua."

Dalam perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Pulau Jawa dan Bali, ada sedikit perubahan yakni jam buka mal dan restoran diperpanjang hingga pukul 8 malam dari yang sebelumnya pukul 7 malam.

Pelonggaran ini, kata Raden, karena permintaan dari kalangan pengusaha. "Kami diharapkan asosiasi pengusaha mal dan restoran, jadi di sini pemerintah di tengah-tengah. Asosiasi UMKM juga begitu."

Hal lain yang diatur dalam PPKM yakni perkantoran menjalankan 75% kerja dari rumah, belajar secara daring, dan sektor industri 100% beroperasi. Kemudian dine-in atau makan di tempat di restoran maksimal 25%, kapasitas tempat ibadah maksimal sebanyak 50%, fasilitas umum ditutup, dan transportasi diatur pemerintah daerah. (*)

Tags : Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat , PPKM, PPKM Tak Efektif Menahan Laju Penularan, Rumah Sakit Nyaris Kolaps,