Sorotan   21-04-2025 22:2 WIB

Investigasi Terungkap PT IP Timbulkan Konflik dengan Suku Pedalaman, Praktisi Hukum: 'HGU nya Perlu Diukur Agar Perluasan Sawit dapat Dihambat'

Investigasi Terungkap PT IP Timbulkan Konflik dengan Suku Pedalaman, Praktisi Hukum: 'HGU nya Perlu Diukur Agar Perluasan Sawit dapat Dihambat'
Lukah, alat tangkap ikan tradisional salah satu aktivitas warga Talang-Mamak.

'Praktisi hukum melihat kisruh warga pedalaman (Talang Mamak) menuntut soal lahan yang dicaplok oleh perusahaan PT Inecda Plantations (Samsung Group) konon untuk demi memperluas lahan sawit'

etika lingkungan masyarakat pedalaman (Talang Mamak) tergerus oleh perusahaan sawit ruang hidup dan kekayaan alam masyarakat adat sub Komunitas Talang Mamak seperti di Danau Sarang Burung, Layang Mandi, Pulai Belayar, Desa Talang Suka Maju dan Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim di Indragiri Hulu, Riau itu ikut jadi terusik.

Sekitar 10.000 hektar wilayah adat Talang Mamak, sudah beralih jadi perkebunan sawit yang masuk pada Hak Guna Usaha (HGU) PT Inecda Plantations (IP).

Menyikapi kericuhan terakhir terjadi ditengah-tengah warga Desa Talang Suka Maju dan Talang Sungai Limau akhir-akhir ini, Praktisi Hukum Alhamran Ariawan SH MH lantas meminta pemerintah setempat untuk dapat mengukur ulang luasan HGU perusahaan itu.

"Pengukuran ulang HGU perusahaan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum. Pengukuran ulang HGU dapat dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan," kata Alhamran Ariawan, tadi ini Senin (21/4).

"Jika terbukti ada manipulasi, maka tindakan hukum harus segera diambil."

"Bisa meminta informasi resmi di BPN tentang batas tanah HGU perusahaan. Jika HGU perusahaan ternyata melebihi batas yang ditetapkan, perusahaan bisa diminta untuk melakukan penyesuaian. 

Menurutnya, HGU adalah salah satu jenis hak atas tanah yang berlaku dan diakui dalam hukum agraria Indonesia. 

HGU merupakan jenis hak yang diberikan kepada perorangan atau badan hukum untuk mengusahakan lahan yang dikuasai oleh negara. 

HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, sebutnya menambahkan, bahwa tanah HGU tidak bisa ditingkatkan menjadi SHM atau Sertifikat Hak Milik. 

'Ruang hidup masyarakat pedalaman makin tergerus' 

Dua danau sudah lama lenyap karena kering oleh parit perusahaan, hutan pun terkapling-kapling. Tersisa, Danau Pulai Belayar.

Menurut kepercayaan lokal, danau satu ini dianggap keramat karena selalu ada rintangan kala alat berat perusahaan hendak membuka lahan di sekitarnya.

Meski begitu, Masyarakat Talang Parit tidak serta merta dapat mengambil manfaat karena terletak di tengah areal perusahaan, masyarakat tak punya akses bebas.

“Konflik kami dengan Inecda lebih 20 tahun. Hutan tak ada lagi. Keramat sudah habis. Yang tak enaknya lagi, kebun karet masyarakat dikelilingi parit perusahaan,” kata Batin Irasan, Ketua Adat Talang Parit.

Malam itu Batin Irasan pakai jaket hitam celana pendek.

Tak sekedar mencari ikan. Masyarakat Adat Talang Parit, maupun Talang Mamak secara umum, juga perlu damar, rotan juga daun rumbai dari hutan buat bedukun dan gawai—pesta adat pernikahan.

Material bangunan tempat tinggal mereka juga dari hutan. Mulai dari tiang penyangga sampai atap.

Ciri khas bangunan seperti ini dapat dilihat pada rumah seorang dukun.

Marusi, Dukun Talang Parit mengatakan, hutan musnah akibat pembangunan kebun sawit menyulitkan cari bahan obat-obatan baik akar, kulit kayu, daun-daunan dan bermacam ranting.

"Isitilah lokal menyebutnya, sembilan melata di bumi, sembilan melata di awang-awang dan sembilan melata di langit."

Lagi pula, katanya, bahan dasar ramuan itu tak sembarang beli di pasar. Harus langsung dari hutan.

“Paling sulit cari bayas (seperti kelapa tapi berduri) untuk obati perut keras, lemah, lesu dan linu. Begitu juga damar buat ritual kelahiran dan kematian,” katanya.

"Dulu ada di hutan yang kini jadi perkebunan sawit. Kalau pohon habis, tak ada lagi dukun di Talang Parit. Banyak terancam adat kami," sebut Marusi.

Prediksi Marusi, tiga keturunan masyarakat Talang Parit atau 25 tahun akan datang, tradisi bedukun tidak akan berjalan.

“Tempat kami berpijak sudah patah. Tempat bergantung sudah putus. Kalau hutan wilayah kami tak ada, macam mana kami mau berpijak?”

Krisis air bersih

Masyarakat Adat Talang Parit, seperti Talang Mamak kebanyakan, dikenal karena sebagai peladang berpindah.

“Masuknya Inecda, sangat menyulitkan masyarakat. Hutan keramat Talang Parit telah ditelanjangi. Bukan mencari hasil hutan saja, dulunya masyarakat pun tinggal di dalam hutan,” kata Irasan.

"Kurang lebih 6.000 hektar hutan ketika kami masih beladang, sekarang sudah habis," tambahnya.

Dampak kehilangan hutan tidak berhenti di situ. Kini, sebagian Masyarakat Adat Talang Parit menghadapi masalah baru.

Mereka mengeluhkan ketersediaan air bersih karena sungai makin keruh dan dangkal. Kata Irasan, sebelum 1980-an, air sungai langsung diminum tanpa dimasak.

Sekarang, kata Irasan lagi, tenaga kesehatan justru tidak merekomendasikan masyarakat minum air sungai lagi.

Senada yang disebutkan Irasan, Sudiman, Kepala Desa Talang Parit, bilang, dua dari empat dusun di wilayahnya tergolong krisis air bersih.

"Dusun I, karena letak di perbukitan tidak dapat membangun sumur bor terlalu dalam," sebut Sudiman.

"Meski sudah mencapai 30 meter, mesin tetap belum berhasil menyedot air layak konsumsi. Pipa air sudah mentok oleh bebatuan di dalam tanah," terangnya.

"Adapun Dusun IV, wilayah rawa dan bergambut. Air merah. Masyarakat di sana pekerja kebun sawit PT Perkebunan Nusantara V," kata Sudiman.

"Pernah dibuat sumur cincin dua titik, tetapi tidak membuahkan hasil."

"Meski kedalaman 15 meter, tetap tidak mendapati air bersih."

Solusinya, Sudiman bangun sumur bor di sebelah kantor desa yang terletak di Dusun II, beberapa bulan setelah dilantik pada 2018.

Dia pakai dana desa. Kini, kolam itu jadi sumber air gratis bagi masyarakat dusun lain yang susah air.

Masyarakat, katanya, angkut air dengan sepeda motor, tiap hari, terutama kala musim kemarau.

“Wilayah Dusun II dan III paling mudah dapatkan air bersih. Sumur bor sedalam 12 sampai 15 meter cukup menyedot air layak konsumsi. Rata-rata masyarakat dua dusun ini punya sumur bor atau sumur cincin mandiri di rumah masing-masing,” katanya.

Belum ada pengakuan

Perselisihan Masyarakat Adat Talang Mamak dengan Inecda mulai mencuat ke permukaan sekitar 1997.

Satu tahun setelah Irasan disumpah secara adat sebagai kepala desa.

Empat Bupati Indragiri Hulu tidak mampu menyelesaikan masalah. Bupati sekarang pun belum menunjukkan tanda-tanda berlaku adil terhadap persoalan masyarakatnya ini.

Tetapi menurut Alhamran Ariawan, penyebab konflik masyarakat Adat Talang Mamak karena perampasan sumber daya alam oleh perusahaan berlarut-larut.

Keberadaan masyarakat termasuk wilayah adatnya, katanya, tak ada pengakuan pemerintah daerah.

"Masalah ini, sejalan dengan penegakan hukum yang tak memihak masyarakat adat."

"Pasca terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, bupati harus membentuk panitia masyarakat hukum adat," saran Alhamran Ariawan.

Menurutnya, di Indragiri Hulu, kabupaten tempat tinggal Masyarakat Adat Talang Mamak, bupati sebenarnya menerbitkan surat keputusan pembentukan panitia itu sejak 22 Januari 2018 lalu.

Struktur ini diketuai sekretaris daerah, seperti mandat Pasal 3 ayat 2, tambahnya.

Gilung, Ketua Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN) Indragiri Hulu, bilang, kinerja Panitia Penetapan Masyarakat Hukum Adat belum ada perkembangan berarti alias mentok, hingga kini.

Padahal, katanya, Masyarakat Adat Talang Mamak dari puluhan kebatinan sudah menyerahkan sejumlah data terkait wilayah, profil, hukum, sistem sosial hingga identitas masyarakat adat.

“Maret 2022 lalu, kami pertemuan dengan wakil bupati. Kami juga serahkan data ke gubernur, Dinas Kehutanan. Setelah itu, kami surati gubernur dan bupati minta perkembangan, tapi tak ada respon,” kata Gilung.

Hendrizal, Sekretaris Daerah Indragiri Hulu juga Ketua Panitia Penetapan Masyarakat Hukum Adat, hanya mengatakan tim sudah bekerja, cari data dan sekarang masih proses di bagian hukum sekretariat daerah.

Namun dia enggan jelaskan lebih jauh.

Roma Doris, Sekretaris Panitia cum Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, menerangkan, tengah mengkaji perubahan surat keputusan beberapa bulan belakangan terutama terkait dinamika tugas yang belum diatur.

Salah satunya, mendetailkan atau penjelasan tugas lebih akurat. Bisa jadi, bentuk tidak lagi berupa surat keputusan tetapi peraturan bupati.

Roma tak menampik sekretariat sudah terima usulan kelompok masyarakat terkait penetapan wilayah-wilayah hukum adat. Namun, katanya, panitia tak memiliki rencana waktu kerja sampai permohonan masyarakat diakui.

Lambatnya proses ini ditengarai karena dua hal, situasi politik pergantian kepemimpinan daerah.

Pengaduan ke RSPO

Kembali disebutkan Irasan, kalau dirinya mengemban jabatan kepala desa hampir 10 tahun.

Dia sempat menghadapi kebuntuan karena tak kunjung berhasil memperjuangkan hak-hak mereka.

Terlebih, dia juga bathin generasi ke 39 dalam Masyarakat Adat Talang Parit. Selama melanglang buana ke daerah hingga pusat, termasuk mendatangi kantor Inecda di Jakarta, dia bisa saja berhenti bersuara dan menerima bermacam tawaran untuk dirinya semata.

“Saya tidak bisa dibeli pakai duit. Saya tetap pegang teguh dan jaga wilayah adat. Sesuai mandat saat dilantik jadi bathin. Walau miskin, saya tidak mau diberi uang, karena sumpah orang tua,” katanya.

Sekitar 2019, Irasan kembali menemui jalan baru untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat Talang Parit.

Alhamran Ariawan

Alhamran Ariawan, kantor hukumnya mendorong kebijakan berkelanjutan, menyejahterakan dan berkeadilan, serta sejumlah tokoh masyarakat adat mengadukan anak perusahaan Samsung itu ke markas Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Kuala Lumpur, Malaysia.

Pengaduan dua tahun lalu itu menyoal tiga pokok, yakni

  • Pertama, Inecda beroperasi di areal Masyarakat Adat Talang Parit tanpa persetujuan.
  • Kedua, Inecda tidak mengembangkan kebun plasma buat masyarakat adat.
  • Ketiga, Inecda tidak memiliki mekanisme pengaduan internal untuk diakses pemangku kepentingan.

“Di Kuala Lumpur kemarin, sebenarnya kita merasa malu perkara Masyarakat Adat Talang Parit sampai ke luar negeri. Sementara puluhan tahun tidak pernah jumpa keadilan di dalam negeri. Padahal, bukan mau mengusir perusahaan. Hanya meminta hak kebun plasma atau bagian masyarakat adat disini,” katanya.

Tetapi Alhamran Ariawan balik menyebutkan, konflik suku pedalaman (Talang Mamak) sudah berlangsung cukup lama.

Banyak proses dilewati dan pendampingan tetapi tidak ada kemajuan atas kasus itu. Inecda itu anggota RSPO.

Masyarakat berinisiatif mengajukan komplain. Berharap ada penanganan tentang praktik perusahaan di wilayah adat Talang Parit.

Tim investigasi independen RSPO bukannya tidak menanggapi pengaduan-pengaduan dari berbagai elemen masyarakat. Mereka turun mencari fakta dari semua pihak, minggu lalu.  

Tim ini akan buat laporan dan mengajukan ke komplain panel RSPO untuk dapatkan putusan. Ia mencakup penyediaan plasma dan wilayah keramat yang tidak dapat diakses dan bahkan telah rusak.

Juga mengenai pemenuhan kewajiban hukum atau keuntungan perusahaan yang dapat diberikan pada masyarakat.

“Nanti komplain panel RSPO akan rapat menyidangkan laporan itu. Lalu akan lahirkan keputusan tentang kasus ini. Rekomendasinya, mencakup semua poin yang dilaporkan. Yang diperiksa juga tiga poin diajukan itu,” kata Andiko, dikontak via telponnya.

Mengenai wilayah keramat Talang Parit, katanya, harus direkonstruski kembali, seperti Danau III, harus restorasi lagi.

Kalau berada dalam areal inti, bisa jadi dikeluarkan dan diberikan akses pada masyarakat sepenuhnya.

“Kalau ada keinginan, ini akan jadi mudah. Berkaca dari kasus-kasus yang pernah ada. Poin penting lain, ada hak plasma perusahaan belum diberikan perusahaan. Hak masyarakat Talang Parit harus ditunaikan oleh perusahaan.”

Joko Dwiyono, Humas Inecda Plantation, tidak menampik laporan Talang Parit ke RSPO ini.

Dia memberi tanggapan namun keberatan dikutip. “No coment saja saya,” katanya, setelah beberapa hari minta waktu buat koordinasi ke legal perusahaan.

Cerita Irasan, manajemen Inecda dan Masyarakat Adat Talang Parit pernah meneken kesepakatan pembangunan 886 hektar kebun plasma.

Lahan sempat dibuka. Belakangan perusahaan menghentikan kegiatan iuni karena alasan seret dana.

Irasan ketiban musibah kebakaran rumah pada 2001 dan turut menghanguskan bukti tertulis itu.

Areal yang dicanangkan buat masyarakat itu pun berbalik jadi kebun inti perusahaan.

“Satu pokok pun kami tidak pernah dikasih. Ganti rugi juga tidak pernah ada,” keluhnya.

Muda peduli

Dampak berkurangnya hutan Talang Parit juga dirasakan generasi muda Talang Parit.

Dita, misal, menggambarkan kondisi itu lewat perhelatan gawai—pernikahan Elni dan Ijusan—yang berlangsung tiga hari tiga malam di rumahnya.

Dalam pesta adat ini, sekitar 70% perkakas dan bahan lain diperoleh dari hutan, seperti rotan dan kulit kayu, sendok tempurung, tengkalang (tempat sirih) dan tapik (kayu berbentuk dayung untuk menepuk pulut setelah dikukus).

Sebagian peralatan itu tidak diproduksi sendiri lagi dari hutan. Kebanyakan dibeli ke pasar atau dari Masyarakat Adat Talang Mamak lain yang wilayah adat masih ada hutan.

Cara lain, tetangga atau kerabat meminjamkan barang-barang itu. Dita bilang, sumber bahan baku dari hutan turut melenyapkan perajin di kalangan Talang Mamak.

“Khusus Talang Parit, sekarang, hampir semua peralatan susah dicari. Pastinya harus beli di luar. Kalau peralatan ini tidak ada, tentu adat kami tidak berjalan,” kata Dita.

"Padahal, orang Talang Mamak benar-benar memegang teguh adat. Bukan hanya untuk nikah atau mati. Tapi mulai dilahirkan sampai habis nafas harus ada adat," sambungnya.

Dia menghitung, kesulitan memperoleh hasil hutan untuk keperluan masyarakat adat, sejak berumur lima tahun.

Sekarang, justru perlu biaya besar untuk selenggarakan pesta adat.

Sebagai Ketua Kelompok Perempuan Talang Parit, Dita berharap hutan tersisa tidak tergerus lagi.  

Dia ingin perempuan Talang Mamak, secara umum, melangkah dan berinteraksi lebih jauh. Termasuk terlibat dalam pengambilan keputusan, seperti dalam mempertahankan wilayah adatnya.

Hairil, pemuda Talang Parit juga berpandangan sama. Sebagai anak laki-laki yang kerap disuruh orang tua cari ikan, dia susah mendapatkan lauk di sungai-sungai terdekat dari rumah.

Kalau pun ada, menunggu pasang tinggi atau musim hujan dan banjir. Kalau tidak, mesti pergi ke pasar atau menunggu penjual keliling menjajakan dagangan dengan sepeda motor.

Masyarakat Adat Talang Parit, cari ikan dengan lukah atau jaring. Lukah merupakan alat tangkap tradisional terbuat dari bilah-bilah bambu dianyam dengan rotan membentuk bulat panjang.

Salah satu ujung agak kuncup. Ia dipasang semalaman di sungai, parit atau rawa.

Selain lukah, ada pula tangkul, tangguk, tajur dan tengkalak. Tiap alat digunakan di tempat-tempat tertentu. Paling terkenal, Sungai Ekok.

Sungai ini melintasi tujuh desa wilayah adat Talang Mamak: Talang Sungai Ekok, Talang Durian Cacar, Selantai, Talang Perigi, Talang Kedabu, Talang Sungai Limau dan Talang Parit yang bermuara ke Sungai Indragiri.

Ikan yang biasa didapat seperti sepat, puyu, puyau dan gabus.

Selain karena sungai mendangkal dan tercemar, masyarakat adat juga menghadapi pencari ikan dengan putas dan setrum.

Kebiasaan dari luar ini jadi melekat dalam lingkup mereka.

Sudiman beberapa kali musyawarah bersama tokoh masyarakat, adat dan agama, melarang tindakan merusak sungai ini.

Sempat ada aturan jeda cari ikan selama dua tahun, atau hanya boleh diambil pada tahun ketiga, tetapi tak ditaati bersama.

Sebagai generasi muda Talang Parit, Hairil, ingin mengenalkan budaya Talang Mamak ke luar. Terlebih lagi agar adat istiadat mereka tidak lekang sampai kapan pun.

Dia mulai merasakan budaya pudar. Waktu kecil, masih sering ikut orang tua ke hutan. Beladang, cari ikan, burung maupun mandi di sungai.

“Sekarang, hutan berkurang jadi kebun sawit. Sungai besar jadi parit karena pengkotakkan lahan. Pohon-pohon besar susah ditemukan. Sejak hutan banyak ditumbang, jarang main dan bersentuhan dengan hutan.”

Pertahankan hutan

Sementara, Larshen Yunus, Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) minta suku pedalaman (Talang Mamak) hendaknya tetap berkukuh mempertahankan hutan adatnya, agar tidak dijadikan kebun kelapa sawit.

"Sagu yang tumbuh liar dan beragam tumbuhan yang hidup di hutan, yang menjadi makanan pokok masyarakat adat kini semakin lambat laun tergusur oleh kebun kelapa sawit," katanya menilai.

"Kalau tergusur dan punah (hutan) bagaimana mengambil ikan, daging, burung, sagu, gratis. Mereka (penduduk) datang kde hutan sudah pasti dengan istri anak senyum, senang-senang makan dengan hasil buruannya," kata Larshen.

"Tidak ada yang keberatan dengan gambaran hidup seperti itu, karena ini di atas tanah adat mereka sendiri," tambahnya.

Hutan di pedalaman (Talang Mamak) tempat mereka tinggal dan merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Lebih dari 60% keragaman hayati di hutan mereka.

Tak jauh dari hutan adat itu, hamparan hutan telah berganti menjadi petak-petak perkebunan kelapa sawit.

Sejauh mata memandang, pohon kelapa sawit berjajar teratur di area konsesi anak usaha perusahaan Samsung (PT Inecda Plantations/IP).

Konglomerasi perusahaan sawit PT IP menguasai lebih banyak lahan di suku pedalaman daripada konglomerasi lainnya.

Perusahaan ini telah membuka hutan di pedalaman (Talang Mamak) puluhan ribu hektar atau hampir seluas Kabupaten Inhu ini.

Keberadaan perusahaan itu, telah menjadi bagian dari operasi anak perusxahaan Samsung.

Mungkin hal itu tak lepas karena perkebunan kelapa sawit dikategorikan sebagai "obyek vital".

Tetapi operasional perkebunan sawit IP dianggap berpotensi melanggar HAM oleh beberapa organisasi dan aktivis, karena ini yang mengadvokasi hak masyarakat adat.

Larshen menjelaskan meskipun adanya "pengamanan areal investasi", namun yang lebih penting adalah "memastikan aparat keamanan betul-betul menjalankan tugasnya".

"Tidak diperalat perusahaan untuk, misalnya, menghalang-halangi masyarakat yang menuntut hak-hak mereka," ujarnya.

"Keberadaan tenaga pengamanan di area perusahaan yang terlalu banyak itu juga bisa berpotensi untuk adanya pelanggaran HAM. Ini bisa kita lihat dari beberapa kejadian terakhir," ujarnya kemudian.

'Sampai 2025 kasus tak selesai'

Seperti belakangan hari ini, ksruh warga dua desa (Talang Mamak) di Inhu masih menuntut hak nya soal lahan yang 'dicaplok' PT Inecda Plantations.

Ratusan warga dari Desa Talang Suka Maju dan Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), menggelar aksi di Kantor Desa Talang Suka Maju pada Selasa 25 Februari 2025 kemarin.

"Warga Desa terus menuntut soal lahan untuk dikembalikan haknya."

“Saya sebagai Kepala Desa (Kades) terus mendampingi masyarakat, tetapi keputusan itu pada akhirnya tetap ada di tangan mereka,” kata Susi Susanti, Kepala Desa (Kades) Talang Suka Maju.

"Saya berharap ada penyelesaian yang adil melalui mediasi di DPRD," kata dia.

Mereka menuntut pemerintah agar menginstruksikan PT Inecda Plantation segera mengembalikan lahan yang mereka klaim sebagai hak masyarakat.

Sementara, Humas PT Inecda Plantations, Joko Dwiyono mengaku belum tahu jalan solusi dalam penyelesaian tuntutan dua warga desa itu.

"Kita masih menunggu hasil keputusan Pemkab dan DPRD Inhu yang telah membahas masalah ini," kata Joko Dwiyono dikonfirmasi lewat teleponya pada Senin (21/4).

Sebelumnya, aksi warga dua desa yang menuntut PT Inecda ini dihadiri oleh Kapolsek Kelayang AKP Zulmaheri, Kepala Desa Talang Suka Maju Susi Susanti, Danposramil Rakit Kulim Serma Suriman, Sekjen PKN Ali Amsyar Siregar, serta Penasehat Forum Talang Mamak Berdaulat, Afdon Y. Benu.

Sejumlah tokoh adat dan masyarakat, seperti H. Abdul Karim, Batin Tiyau, Batin Intangan, serta para ketua kelompok tani, turut serta dalam pertemuan itu.

Tetapi Joko kembali mengakui, lahan yang dituntut warga sudah masuk pada wilayah HGU perusahaan.

"Lahan yang dituntut warga masuk pada wilayah HGU perusahaan, mereka minta untuk masuk dan dibuatkan menjadi program KKPA," katanya.

Joko belum bisa memastikan apakah tuntutan warga dua desa ini bisa dikabulkan, "masih kita tunggu kebijakan perusahaan," kata dia yang tak bisa menjelaskan luasan dan nomor surat HGU versi perusahaan.

Tetapi sebelumnya, Ketua DPRD Inhu dijadwalkan mengundang perwakilan masyarakat dan pihak PT Inecda Plantations pada 3-4 Maret 2025 guna mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak yang juga mengundang perwakilan masyarakat dan perusahaan pada 3-4 Maret 2025 guna mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak.

Kades Talang Suka Maju, Susi Susanti menekankan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan warga.

Masyarakat sepakat menunggu hasil mediasi tersebut.

Mereka menegaskan bahwa jika mediasi tidak membuahkan hasil sesuai harapan, mereka siap mengambil langkah tegas, termasuk turun langsung ke lahan PT Inecda untuk menguasai kembali wilayah yang mereka klaim sebagai hak mereka.

Joko setuju dilakukan kesepakatan dan mediasi di DPRD untuk mencari solusi final yang mengakhiri sengketa lahan yang telah berlangsung lama antara warga dan PT Inecda Plantation, "tidak buru-buru melakukan apapun untuk menyikapi permasalahan ini," harapnya. 

Guna menuntaskan konflik atau persoalan agraria yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan yang beroperasi di wilayahnya, Bupati Indragiri Hulu (Inhu), Agus Ade Hartarto pun juga sudah menggelar audiensi dengan perwakilan masyarakat di ruang kerjanya pada Selasa 15 April 2025 kemarin.

Audiensi juga dihadiri Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Dedi Dianto, Pendiri Forum Pembela Aspirasi Nasional (FPAN) Fadri Hendra, Sekretaris Pimpinan Kota Nasional (PKN) Kabupaten Inhu Ali Amsar Siregar, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Inhu Rudi Walker Purba, Kepala Desa (Kades) Talang Suka Maju Susi Susanti, Kades Talang Sungai Limau Gerno, Kades Sei Babat Jamini, S.Pd, serta tokoh masyarakat Desa Suka Maju H. Abdul Karim Amin dan Legok.

Selain itu, hadir pula Donal selaku Ketua Kelompok Tani (KT) Rukun Kita Bersama dari Desa Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim, Sampingan selaku Ketua KT Jaya Bersama dari Desa Talang Suka Maju, dan Riduan selaku Ketua KT Sido Mukti dari Desa Sei Babat, Kecamatan Seberida.

Dalam pertemuan yang berlangsung hangat tersebut, Ali Amsar Siregar, yang bertindak sebagai juru bicara masyarakat, menyampaikan, "kami mendampingi masyarakat Desa Talang Suka Maju, Desa Talang Sungai Limau, dan Desa Sei Babat yang saat ini tengah berkonflik dengan PT Inecda," katanya.

"Tuntutan utama masyarakat adalah alokasi sebesar 20% dari luas Hak Guna Usaha (HGU) PT. Inecda, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dan regulasi yang berlaku," jelasnya.

Ali Amsar Siregar menambahkan bahwa persoalan ini telah ditembuskan kepada 47 kepala instansi terkait, mulai dari tingkat Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Pusat. 

"Kami sangat berharap agar Bapak Bupati Inhu memberikan atensi khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini," harapnya.

Pada kesempatan yang sama, Fadri Hendra menyampaikan apresiasi kepada Bupati Inhu atas kesediaan menerima audiensi.

"Saya beserta rombongan mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bupati Inhu yang telah meluangkan waktu untuk kami," kata dia.

"Meskipun pertemuan ini bersifat non-formal, bagi kami, Bapak Bupati telah menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat," sebutnya.

"Kami dari FPAN merasa terpanggil untuk membantu masyarakat dalam berbagai hal, termasuk persoalan dengan perusahaan," ucap Fadri Hendra dengan penuh harap.

"Kami sangat berharap agar konflik agraria ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai ketentuan dan harapan semua pihak, tanpa menimbulkan konflik horizontal," tambah Fendri Hendra.

Pada kesempatan yang sama, Fadri Hendra menyampaikan apresiasi kepada Bupati Inhu atas kesediaan menerima audiensi.

"Saya beserta rombongan mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bupati Inhu yang telah meluangkan waktu untuk kami," kata Fadri.

"Meskipun pertemuan ini bersifat non-formal, bagi kami, Bapak Bupati telah menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat," sebut Fadri.

"Kami dari FPAN merasa terpanggil untuk membantu masyarakat dalam berbagai hal, termasuk persoalan dengan perusahaan," ucap Fadri Hendra dengan penuh harap.

"Kami sangat berharap agar konflik agraria ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai ketentuan dan harapan semua pihak, tanpa menimbulkan konflik horizontal," sambungnya.

Sementara itu, Legok, tokoh masyarakat Desa Talang Suka Maju, mengungkapkan, "kami masyarakat Talang Mamak memiliki hutang budi kepada Bapak, apabila Bapak Bupati segera menuntaskan persoalan yang belum menemukan penyelesaian ini," ungkapnya.

"Tolong kami, Pak Bupati. Kepada siapa lagi kami harus meminta pertolongan jika bukan kepada Kepala Daerah yang memimpin Kabupaten Inhu ini?"

"Jangan biarkan masyarakat desa kami berkonfrontasi fisik di lapangan jika masalah ini terus berlarut-larut. Kami juga merupakan salah satu masyarakat tertua di Inhu ini," kata Legok.

Ia juga mohon perhatikan keselamatan, kelangsungan hidup, dan masa depan anak cucunya.

"Saya yakin Bapak Bupati adalah orang yang baik dan mampu menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya," kata Legok.

Menanggapi aspirasi masyarakat tersebut, Bupati Inhu Agus Ade Hartarto menyampaikan dengan penuh keyakinan.

"Kami tetap berdiri di tengah-tengah masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Bupati.

"Saya juga meminta dengan sangat kepada masyarakat yang sedang berkonflik dengan perusahaan untuk mempercayakan hal ini kepada Pemerintah. Dalam waktu dekat, saya akan membentuk tim kecil dan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan ini," tegas Bupati Ade Agus Hartarto, meyakinkan warga.

Sebelumnya, kisruh ini juga telah didengar anggota dewan di daerah setempat.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Inhu, Komisi II menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi sengketa Desa Petala Bumi dengan perkebunan kelapa sawit PT IP.

Sidak ini, merupakan tindak lanjut pasca hearing DPRD ke PT IP di ruangan Komisi II yang melibatkan di lingkup pemkab Inhu dan Desa Petala Bumi Kecamatan Seberida Kabupaten Inhu.

Sidak ini dihadiri, Ketua Komisi II Sugeng Riono SP MSi didampingi Suparman SH menggelar rapat tertutup di kantor PT IP dengan General Meneger perusahaan, Khamdi, Humas dan sejumlah staf perusahaan.

"Sidang tertutup antara DPRD tadi, membicarakan hal yang berkaitan dengan permasalahan Desa Petala bumi dengan perusahaan antara lain, sejauh mana progres atau kesiapan menegemen perusahaan terhadap tututan masyarakat. Juga menanyakan dokumen dan realisasi CSR dan manfaatnya."

Soal izin yang lain, baik timbangan, pabrik, penerangan dan PBB itu komisi II yang bahas. Namun kedatangan kita kemari adalah soal tuntutan Desa Petala bumi dengan perusahaan sesuai hearing kemarin. Yang jelas saat ini kita sudah turun kelokasi dan saya sudah lihat titik kordinatnya," kata Sugeng Riono.

"Pertanyaan yang kita lontarkan ke management PT Inecda, terkait CSR yang telah di realisasikan dan manfaatnya bagi masyarakat seputar khususnya pada ring satu," sebutnya.

"Kami meminta dan berharap kepada management PT Inecda agar masyarakat khususnya di wilayah seputaperusahaan atau khusus di Ring satu mendapat prioritas dan di preriotaskan," kata Sugeng Riono lagi.

"Jika lanjutnya, ada sengketa dengan masyarakat, kalau bisa diselesaikan, alangkah baiknya diselesaikan disini, tidak perlu ke atas," ujarnya.

Sementara General Meneger PT IP, Khamdi mengatakan pertanyaan yang dilontarkan Komisi II sama seperti saat hearing pekan lalu.

Selain penyaluran itu juga menanyakan realisasi penyaluran dana CSR PT Inecda dan melihat dokumentasinya.

Terkait hasil kesimpulan antara perusahaan dan masyarakat Petala Bumi sudah disampaikan ke pada Top management.

"Kita masih menunggu realisasi, kita lakukan perundingan dengan masyarakat Petala Bumi, namun saat ini masih belum waktunya kita sampaikan sebab saat ini masih berproses. Kita tunggu aja, yang pasti sebelum batas waktu tanggal 18 September sebagai mana batas waktu yang ditentukan, kita sudah menyampaikan kepada masyarakat Desa Petala Bumi, (Talang Mamak)," ujarnya.

Humas PT. Inecda, Joko Dwiyono mengatakan pihaknya akan membahas sesuai permintaan pemerintah.  

"Yang kita bahas dengan menegemen, apakah perusahaan bisa mengikuti permintaan pemerintah, itu yang kita coba," tutupnya. (*)

Tags : Hutan, Talang Mamak, Inhu, Riau, Deforestasi, Hak minoritas, Sawit, PT Inecda Plantation, Lingkungan, Alam,