JAKARTA - Isu dugaan pelanggaran HAM dan dinasti politik yang dilekatkan kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tidak mempengaruhi elektabilitas keduanya. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, mereka meraih lebih dari 50% suara.
Lantas mengapa Prabowo-Gibran bisa meraup suara begitu besar di tengah terpaan sejumlah isu yang disebut “antidemokrasi”—yang telah mereka bantah dalam berbagai kesempatan dalam Pilpres kali ini?
Pakar sosiologi-politik dan aktivis lembaga swadaya masyarakat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sejumlah persoalan dalam rekam jejak Prabowo-Gibran hanya dibicarakan dan menjadi kegelisahan kelompok kelas menengah berpendidikan yang kritis, kata Mada Sukmajati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) di Universitas Gadjah Mada.
Mada berkata, isu demokrasi seperti hak asasi manusia, konflik kepentingan dan moralitas pejabat negara tidak dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat ekonomi bawah dan kelompok berpendidikan rendah.
Menurutnya, itulah alasan mengapa film dokumenter Dirty Vote yang berkisah tentang dugaan kecurangan pemilu dan pernyataan sikap para guru besar yang mencemaskan situasi demokrasi di Indonesia tidak mampu menjegal perolehan suara Prabowo-Gibran.
“Kegelisahan bahwa demokrasi sedang mundur itu narasi-narasi dari kelompok menengah kritis dan masyarakat elit,” ujar Mada pada media.
Setidaknya tujuh dari setiap 10 orang penduduk Indonesia adalah orang dengan pendapatan menengah ke bawah, menurut Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.
BPS mencatat, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 26 juta orang pada September 2022. Angka itu tidak termasuk orang-orang yang rentan miskin karena berada di sekitar garis kemiskinan.
Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai jenjang sarjana hanya 6,4% pada Juni 2022, menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Persentase itu setara 61 ribu orang.
Penduduk yang menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA hanya 20,8% atau sekitar 57 juta orang.
Menurut Mada, transisi menuju demokrasi yang didambakan Indonesia pasca keruntuhan Orde Baru tidak dibarengi kesejahteraan. Data-data yang merujuk tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia itu, kata Mada, berkaitan erat dengan proses elektoral.
Mada berkata, bagi pemilih dari kelompok ekonomi menengah-bawah, “bisa makan dan punya tempat tinggal layak” adalah persoalan nyata yang mereka hadapi setiap hari. Isu kesejahteraan merupakan basis bagi kelompok warga saat memberikan pilihan politik.
Konsekuensi dari keterkaitan ini, menurut Mada, adalah munculnya calon-calon pemimpin yang menawarkan program populis. Warga dari kelas ekonomi bawah cenderung menyukai kontestan pemilu seperti ini—yang mereka anggap bisa segera menawarkan solusi atas persoalan ekonomi sehari-hari mereka.
“Program makan siang dan susu gratis Prabowo-Gibran itu memang jauh lebih mengena untuk kelompok masyarakat ini, dibandingkan, misalnya program internet gratisnya Ganjar atau bahkan isu keadilan yang lebih abstrak bagi mereka,” kata Mada.
Bantuan berbentuk uang sebesar Rp600 ribu yang dibagikan Presiden Joko Widodo melalui bansos mitigasi risiko pangan jelang pencoblosan memperkuat posisi Prabowo-Gibran sebagai calon pemimpin yang populis.
Mada menilai, bansos inilah yang kemungkinan besar membuat suara Prabowo-Gibran lebih tinggi dari sejumlah survei sebelum hari pencoblosan.
“Dengan kondisi seperti itu, di saat-saat terakhir jelang pencoblosan, kelompok menengah ke bawah yang belum menentukan pilihan pada akhirnya memilih Prabowo-Gibran,” tutur Mada.
Nining, warga DKI Jakarta, memilih Prabowo yang menurutnya ”peduli kepada masyarakat”. Janji Prabowo memberikan makan siang gratis memikat Nining yang tergolong pemilih dari kelompok ekonomi menengah ke bawah ini.
“Hidup sehat, berkecukupan, tidak berkekurangan,” ujar Nining merujuk janji kampanye Prabowo yang menarik perhatiannya.
“Prabowo bisa menyejahterakan masyarakat sehingga tidak ada yang miskin dan menderita lagi,” kata Nining tentang bagaimana dia mempercayai retorika kampanye Prabowo.
Program makan siang gratis juga menjadi alasan dua warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur, yang diprogramkan tentang mengapa mereka memilih Prabowo.
“Daripada dikasih internet gratis, lebih baik dikasih makan siang gratis,“ kata Hendri, warga Desa Bulangan Timur Pegantenan.
Hendri berkata, dia tidak terlalu tertarik dengan strategi kampanye Prabowo di media sosial—yang memakai lagu dan goyang disko. Dia juga tidak menonton film Dirty Vote yang bertutur tentang tuduhan kecurangan di balik kontestasi Prabowo-Gibran.
“Saya tidak mempertimbangkan masalah HAM. Masalahnya saya enggak tahu soal itu,” tuturnya.
Dedi Pramana, warga Kecamatan Palengaan, Pamekasan, memilih Prabowo sejak Pilpres 2014. Program makan siang dan susu gratis semakin memantapkan pilihannya.
“Saya pernah baca berita tentang rekam jejak Prabowo, cuma enggak saya tangggapi, enggak ada urusannya,” ujar Dedi.
“Isu-isu itu tidak penting bagi saya karena kadang orang itu mau fitnah, mau apa gitu,” tuturnya.
Namun kelompok menengah ke bawah bukanlah satu-satunya kantong suara terbesar Prabowo. Dia memenangkan suara di hampir di seluruh kategori masyarakat.
Mayoritas orang berpendidikan tinggi (41,7%) dan mayoritas orang dari kelompok sosial ekonomi atas (45,6%) memberikan suara mereka untuk Prabowo.
Ini adalah data Litbang Kompas dengan rentang kesalahan 1,1%, berbasis wawancara kepada 7.863 pemilik suara di semua provinsi pada 14 Februari lalu.
Firman Noor, profesor ilmu politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, menyebut publik semestinya tidak perlu heran dengan temuan Litbang Kompas.
“Pendukung Hilter dan rezim otoritarian Soeharto pun banyak yang berasal dari kalangan terdidik,” kata Firman.
Menurut Firman, transisi yang dijalani Indonesia usai kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 tidak serta merta melahirkan masyarakat yang memahami dan menganggap penting makna demokrasi.
Transisi demokrasi pada era Reformasi, kata Firman, diselewengkan pimpinan negara yang berkolaborasi dengan elite pengusaha. Konsekuensinya, menurut Firman, Indonesia tidak pernah benar-benar mencapai titik demokrasi yang ideal. Masyarakat Indonesia pun lantas memiliki jarak yang besar dengan nilai-nilai demokrasi.
“Jangan bayangkan transisi demokrasi akan selalu berjalan sukses. Ada peran besar dari pimpinan nasional apakah mereka ingin memelihara proses demokratisasi atau tidak,” kata Firman.
“Harus diingat, ada banyak kelompok yang tidak nyaman dengan demokrasi,“ ujarnya.
Taufik Hidayat, warga Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, memilih Prabowo meski mengetahui isu HAM yang selama ini dituduhkan kepada mantan Danjen Kopassus itu. Namun laki-laki berusia 28 tahun itu menilai, “yang terjadi pada masa lalu biarlah menjadi bagian dari masa lalu“.
“Selama pelanggaran itu tidak ada buktinya, kenapa harus dipersoalkan? Toh itu urusan masa lalu dan saya melihatnya ke depan,“ kata Taufik.
Prabowo tidak pernah diadili di Pengadilan HAM soal tuduhan penculikan aktivis tahun 1997-1998 yang diarahkan kepadanya. Namun putusan Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Panglima ABRI pada 1998 membuat kesimpulan bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan tersebut.
“Saya melihat sosok Prabowo itu gagah sehingga Indonesia nanti bisa disegani oleh negara-negara lain. Itu saja. Lebih keren,“ kata Taufik tentang mengapa dia memilih Prabowo.
Jafar Sodiq, warga Kota Serang, memilih Prabowo meski dia telah menonton film Dirty Vote. Dia juga mengikuti pemberitaan yang membahas dugaan politik kepentingan di balik perubahan syarat calon wakil presiden.
Walau begitu, Jafar tetap menjatuhkan pilihan kepada Prabowo. Dia merasa film Dirty Vote berupaya menggiring opini publik untuk mendiskreditkan Prabowo.
“Film itu kan dibuat oleh beberapa pakar, tapi seperti menghakimi,“ kata Jafar.
Jafar berkata, dia memilih Prabowo karena janji kampanye yang menurutnya realistis: makan siang dan susu gratis. “Yang saya anggap penting programnya. Kalau itu bisa berjalan, Indonesia bisa maju,” ujarnya.
Kritik untuk akademisi dan aktivis demokrasi
Mada Sukmajati, pakar sosiologi politik, menyebut isu demokrasi “masih sangat abstrak“ bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Beragam nilai demokrasi yang diperjuangkan sebelum era Reformasi, kata dia, telah direduksi oleh kelompok elite politik dan menengah atas menjadi sekedar proses memberikan hak pilih saat pemilu.
“Demokrasi tidak dipahami warga sampai pada hal-hal yang lebih substantif, misalnya apakah pemilu berlangsung tanpa politik uang, tidak dengan iming-iming bansos,“ kata Mada.
“Ini menandakan ketidakmampuan aktor-aktor yang dulu mendorong demokrasi, misalnya gerakan masyarakat sipil dan akademisi, untuk membumikan isu demokrasi ini sampai ke tingkat bawah.
“Dan memang negara sendiri juga memang menciptakan situasi yang akhirnya membentuk pemilih-pemilih yang paternalistik,“ ujar Mada.
Kemenangan Prabowo-Gibran dipicu banyak faktor, menurut Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Politik di Indonesia Corruption Watch (ICW).
Selain dugaan kecurangan pemilu dan keberhasilan strategi mendulang suara, Egi menilai Prabowo-Gibran bisa meraih suara terbanyak juga karena isu demokrasi yang elitis.
Egi berkata, kemenangan Prabowo-Gibran menunjukkan persoalan besar dalam demokrasi Indonesia yang belum kunjung tuntas: gerakan masyarakat sipil hanya menyirkulasikan permasalahan demokrasi di kalangan mereka sendiri.
“Isu seperti politik dinasti, korupsi dan sebagainya tak tersampaikan secara meluas, terutama kepada akar rumput sehingga sulit untuk mendorong mereka untuk bersikap berdasarkan isu-isu tersebut,“ kata Egi.
Kemenangan Prabowo-Gibran yang punya catatan buruk mengenai demokrasi menjadi buah dari tidak terselesaikannya permasalahan tersebut, tambah Egi.
“Ini adalah kekalahan telak bagi gerakan sipil yang kesekian kalinya. Lolosnya undang-undang bermasalah seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan sebagainya berkali-kali terjadi selama beberapa tahun terakhir. Gerakan sipil gagal membendungnya."
“Situasi hari ini idealnya mendorong masyarakat sipil untuk segera melakukan autokritik dan mengevaluasi gerakannya,“ lanjut Egi. (*)
Tags : Hak asasi, Politik, Prabowo Subianto, Masyarakat, Kebebasan berekspresi, Pilpres 2024, Hukum, Indonesia, Korupsi, Populisme,