PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kekerasan pada wanita dan anak yang merupakan tindakan kejahatan menjadi salah satu gejala sosial yang merugikan serta berdampak buruk kepada korban.
"Isu kekerasan pada wanita dan anak masih kerap terjadi."
"Perbuatan pelanggaran norma hukum yang merugikan dan menjengkelkan itu harus masuk pada norma dan ancaman hukum pidana agar kejahatan itu tidak semakin berkembang," harap Muflih Gusendhi SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Cahaya Keadilan Wanita dan Anak [Cakrawana] Riau dalam bincang-bincangnya belum lama ini.
Menurutnya, kejahatan merupakan tindakan kekerasan menjadi salah satu bentuk perilaku kejahatan yang masih terjadi ditengah masyarakat.
"Kita ketahui bahwa isu-isu kekerasan sudah sering terjadi di tengah publik baik kita dengar dan lihat di berbagai media, tetapi hal tersebut tidak menjamin korban akan mendapatkan keadilan dan proses hukum yang cepat terkait perbuatan yang telah diterimanya," sebutnya.
Begitu pula terhadap predator kekerasan yang tetap berani melakukan perbuatan buruknya walaupun akan sangat berpeluang jika berita cepat tersebar ditengah publik.
Dia menilai tindakan kekerasan bukan hanya terjadi pada kota besar [Pekanbaru] saja melainkan juga terjadi di pedesaan, malah bahkan adat istiadatnya masih terjaga dengan baik.
"Seperti kasus kekerasan misalnya [seksual] bukan terjadi di kehidupan personal saja, namun kini terjadi di dunia pendidikan bahkan institusi keagamaan."
"Korban bisa merasa semakin terdiskriminasi karena usia maupun relasi kuasa antara mahasiswa, murid, dan atau santri dengan dosen atau guru."
"Korban biasanya akan takut untuk melapor karena tidak merasa berkuasa terlebih pelaku yang memiliki otoritas dan wewenang. Memang kekerasan tidak mengenal gender dan umur karena telah terdapat beberapa kasus bahwa orang dewasa, remaja, anak-anak, perempuan, maupun laki-laki pernah mengalami hal itu," sebutnya.
Tetapi pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa perempuan yang menjadi mayoritas korban.
"Fakta tersebut didukung oleh laporan hasil survei analisis WHO di 161 negara pada tahun 2000-2018 yang mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di dunia, atau sekitar 736 juta pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual."
"Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terdapat belasan ribu kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021."
Terdapat kurang lebih dari 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana 15,2% adalah kekerasan seksual dan 45,1% dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak adalah kekerasan seksual."
"Ironisnya, sebagian besar korban kekerasan tidak mendapatkan pemulihan dari dampaknya yang dialami dan terkadang keadilan yang kurang memihak pada korban," kata Muflih Gusendhi.
Jadi menurutnya, hambatan yang sering ditemui korban antara lain terkait peraturan perundang-undangan yang belum cukup melindungi, cara kerja aparat penegak hukum yang kurang responsif, sistem hukum pidana yang tidak menyatu dengan pemulihan korban, bahkan adanya budaya mempersalahkan korban sehingga membuat korban merasa takut dan malu untuk melaporkan.
Tetapi Muflih Gusendhi menilai ada indikasi bahwa isu-isu kekerasan baik [seksual] pada perempuan telah menjadi fenomena gunung es, "ini diperlukan bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani isu kekerasan terutama dalam hal perlindungan hukumnya perlu dipertegas," katanya menambahkan untuk itu Cakrawana Riau siap menampung dan meyelesaikan setiap kasus ini keranah pidana. (*)
Tags : kekerasan, kekerasan pada wanita dan anak, kekerasan rumah tangga, kekerasan masih marak, pekanbaru, pemerintah harus tegas tindak kekerasan pada wanita dan anak,