SENI BUDAYA - Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (GWK), nama populernya, kini menjadi destinasi wisata baru di Bali yang kian ikonis. Butuh waktu puluhan tahun bagi penggagasnya, seniman I Nyoman Nuarta, pematung papan atas Indonesia, untuk mewujudkan kawasan wisata yang berada di Bali bagian selatan, tepatnya di Desa Ungasan, Kabupaten Badung, yang memiliki patung berukuran raksasa setinggi 120 meter, berupa Dewa Wisnu yang menunggang Garuda.
I Nyoman Nuarta, sang seniman mewujudkan mimpinya, untuk memberikan karya terbaik bagi negeri tercinta, dalam acara awarding kompetisi EY Entrepreneurial Winning Women menceritakan liku-liku perjalanan pembangunannya. “GWK itu sudah lama sekali saya gagas, 28 tahun yang lalu. Saat itu saya masih muda, bersemangat, dari rambut tebal sampai sekarang sudah hilang, ha… ha… ha…. Tapi, pengalaman hidup saya memang harus begitu,” ujar Nyoman Nuarta, seperti dirilis Femina mengawali kisahnya tentang proyek fenomenal yang kini tak hanya menjadi tujuan wisata wajib kunjung bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, tapi juga pernah menjadi venue festival electronic dance music paling hits saat ini, Djakarta Warehouse Project (DWP), pada perayaan ulang tahun ke-10 mereka tahun lalu.
Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana ini berada di area seluas 60 hektare, yang memiliki fasilitas berupa Wisnu Plaza, Street Theater, Kolam Lotus, Taman Indraloka, Amphitheater, dan Tirta Agung. Dan, yang paling ikonis adalah patung Dewa Wisnu dengan Garuda-nya yang menjulang hingga bisa terlihat dari kejauhan, termasuk dari jalan tol yang menuju arah Bandara Ngurah Rai.
Memakan waktu hampir tiga dekade hingga diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 22 September 2018, tentu banyak cerita yang dibagikan Nyoman Nuarta. “Gagasan membangun GWK itu awalnya karena saat itu saya melihat seniman-seniman kita belum hidup sejahtera. Padahal, mereka orang-orang kreatif. Saat itu, ibaratnya mau membuat leaflet saja susah, tidak ada yang mau membantu membiayai. Karena itu, muncul pemikiran, bagaimana bila mendirikan yayasan. Namun, yayasan harus punya sumber keuangan yang rutin agar bisa hidup dan bisa membantu. Maka, tercetuslah untuk membuat GWK,” kisah Nuarta.
Pada waktu itu, Nuarta mengaku punya uang --yang ia sebut tidak banyak-- untuk membeli tanah, yang sekarang menjadi lokasi GWK. “Dulu tanah itu jelek sekali, bekas tambang kapur yang ditinggal, penuh lubang sana-sini. Rasanya, kalau melihat kondisinya, tidak dibeli pun bisa kali, ya, dikasih gratisan. Saya membeli lahan seluas 23 hektare. Kalau sekarang ada yang komentar, ‘Wah, Pak Nyoman bisa beli tanah seluas itu,’ ya, wajar karena saat ini harga tanah di sana bisa menjadi 4 jutaan per meter-nya. Tapi, dulu lahan itu kan hancur lebur, karena bekas tambang,” ceritanya.
Gagasan idealis sudah ada di kepala, meski bagi banyak orang dianggap ide gila-gilaan. Tanah sudah punya, tapi Nyoman kembali pusing karena ia tidak punya dana. “Saya pusing juga, mau diapakan ini?” katanya, disambung tawa. Akhirnya, Nyoman Nuarta memberanikan diri menghadap Presiden kala itu, Soeharto, dengan bantuan Joop Ave (mantan Menteri Pariwisata), IB Sudjana, dan Gubernur Bali saat itu.
“Sesungguhnya, stres juga saya, kok, sampai Presiden menaruh perhatian,” sambung Nuarta. Saat itu memang tidak mudah bagi Nuarta untuk mendapatkan pendanaan. Menurutnya, tidak ada pihak perbankan yang mau membiayai pembangunan GWK. Kondisi yang hingga sekarang masih ia prihatinkan karena perbankan sulit untuk meminjamkan uang kepada seniman. “Presiden bilang, ‘Sudah, kamu jangan mikirin dana,’” kata Nuarta.
Hati Nuarta pun berbunga-bunga. Mimpi besarnya akan terwujud. Ia dijanjikan akan mendapatkan kucuran dana sebesar Rp24 miliar. “Saat itu, angka itu gede banget. Tapi, saya justru takut, belakangnya nanti kayak apa kalau dikasih begitu saja. Saya pun mengatakan kepada Presiden, ‘Nanti seperti apa pertanggungjawaban saya atas dana yang sangat besar itu? Bagaimana kalau saya pinjam saja, bunga rendah, dan pinjaman jangka panjang,’” kata Nuarta.
Nuarta lantas mendapatkan dana pinjaman dari salah satu BUMN. Sebagai gantinya, pihak BUMN itu ia beri saham 18 persen. Ia juga dijanjikan akan dibantu plat tembaga seberat 4.000 ton, baja, dan semen. “Itu rencana awalnya. Tapi, ketika kami sedang asyik-asyik membangun, datanglah krisis ekonomi. Semua rencana buyar, bahkan tiba-tiba uang yang kami pinjam itu ditagih dengan bunga komersial. Bagaimana saya bisa mengembalikan utang? Negara saja waktu itu tidak bisa mengembalikan utang, apalagi saya?” kata Nuarta.
Akhirnya, seniman yang membuat Monumen Jalesveva Jayamahe (di Surabaya) ini sampai ke ranah hukum. Ia dilaporkan ke polisi hingga sampai hampir di penjara. Namun, sampai di tingkat Mahkamah Agung, ia memenangkan kasus utang-piutang tersebut. “Tapi, karena jengkel, saya mengembalikan semua pinjaman itu. Kami tidak lagi punya uang. Hidup memble, tidak bisa gerak karena tak ada dana. Tapi, ya, tidak apa-apa,” ujarnya.
Minimnya dana membuat Nuarta harus beradaptasi dari rencana besarnya, yaitu dengan membangun GWK Expo, patung berupa kepala Dewa Wisnu dan Garuda yang selesai awal tahun 2000-an. “Itu hasil saya membobol habis semua tabungan. Istri saya saja bilang, ‘Bisa-bisa kita tinggal di tenda biru, nih,’” katanya, terbahak.
Menurut Nuarta, setelah Presiden Soeharto lengser, hampir semua presiden pernah datang ke kawasan GWK. Bahkan, ada yang sampai datang 7 kali, berjanji membantu, tapi tidak juga terjadi. “Sampai saya pernah datang ke Istana untuk menghibahkan seluruh saham miliknya kepada negara, asal dibantu pembuatan patung Garuda Wisnu Kencana. Kawasan itu sekarang seluas 63 hektare,” kata Nuarta. Tapi, jawaban tak kunjung datang.
Saat itu, Nuarta merasa dirinya sudah tua, tidak mungkin lagi meminjam uang. Selain itu, ia memang bercita-cita tidak untuk memiliki GWK. “Saya ingin membuat sesuatu untuk bangsa ini, bukan sekadar untuk sok,” katanya.
Setelah melalui jalan terjal dan berliku, akhirnya Nyoman Nuarta pun bertemu dengan pengusaha The Nin King, pemilik Alam Sutra. “Beliau teman lama saya, dan bersedia. Kini mereka menjadi pengelola GWK. Akhirnya, setelah 28 tahun, impian saya pun terwujud,” ujar Nuarta, tak bisa menyembunyikan rasa bahagia.
Di depan forum diskusi panel yang dihadiri puluhan wanita pebisnis ini, Nyoman Nuarta dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak punya selembar saham pun di GWK. “Banyak yang tidak percaya, ‘Masa, sih, Pak, sama sekali tidak punya?’ Betul, begitu proyek itu selesai, ya, sudah. Mimpi saya sudah tercapai,” ujarnya, yang disambut applaus hadirin.
Menurutnya, kita perlu mencoba dan berpikir berbeda. Dalam hal kepemilikan GWK misalnya, ia mengaku kini usianya sudah 67 tahun. “Mungkin juga usia saya tak mencapai 100 tahun, anak-anak saya juga sudah hidup mandiri. Jadi, kalau kita bisa, berikan sesuatu yang kita miliki untuk negara agar negara ini tidak kesulitan,” katanya.
Ia kini berharap, mudah-mudahan konsepnya tentang GWK ketika ide itu muncul pertama kali di kepalanya bisa berjalan. “Kalau tidak berjalan pun, saya harus punya jalan lain. Kenapa? Anak buah saya itu sekarang ada 200-an orang. Karena itu, studio saya harus tetap bekerja, tidak boleh diam,” katanya.
Nyoman Nuarta juga menekankan, meski alam menyediakan apa pun yang dibutuhkan untuk berkarya, dalam konteks dirinya sebagai seniman, ia tidak bisa bekerja sendirian. Sebagai pematung yang banyak menggunakan logam misalnya, ia harus bekerja dengan bantuan orang lain. Dalam pembuatan patung GWK seberat 3.000 ton misalnya, ia menekankan 3 unsur, yaitu seni, science, dan teknologi. “Saya sadar, walaupun tahu konsepnya, tetap harus dihitung oleh ahlinya,” ujarnya, mengenai keamanan konstruksi GWK yang mendatangkan konsultan dari Kanada.
Foto. Femina
Ia paham, menjadi seniman di Indonesia, yang hidup tanpa ada fasilitas dari negara, memang tidak mudah. Namun, ia bertekad untuk tidak menyengsarakan istri dan kedua anaknya. “Kalau hidup buat saya sendiri, saya tidak peduli, deh. Bahkan dulu, ketika mahasiswa, saya juga jarang tidur di tempat kos dan banyak menggelandang saja,” katanya.
Karena itu, ia memiliki tiga prinsip dalam menjalani hidup sebagai seniman: berkarya, mencari proyek, dan mem-propose proyek. “Mau ke pemerintah atau pengusaha, saya menawarkan hasil karya saya. Entah laku kapan, kita tidak tahu. Karena memang perlu nama besar untuk membuat orang membeli karya seni,” katanya.
Ia pun tak segan membantu anak-anak muda yang tengah mencari karya, untuk –istilahnya-- ‘nebeng’ nama dirinya. Kelak, kalau karya mereka sudah banyak dan diakui, maka mereka bisa hidup mandiri. “Cara hidup kita memang begitu, karena saya sadar, menjadi seniman tidak mudah,” katanya, sambil mengatakan bahwa dalam bekerja, sebisanya kita tidak mengejar materi semata, tapi juga hati. (*)
Editor: Surya Dharma Panjaitan
Tags : Garuda Wisnu Kencana, Mahakarya I Nyoman Nuarta, Seniman Bali,